Aku Cemas, Maka Aku Ada

[02.09.2013] Memasuki bulan September, aku memasuki aktivitas baru, kuliah lagi. Sebagian besar kawan, baik kawan di kantor maupun kawan ngerumpi di warung kopi memberiku ucapan selamat. Tapi selamat untuk apa? Batinku. Aku merasa, kuliah bukan aktivitas yang menggembirakan sehingga pantas mendapatkan ucapan selamat.

Berangkat ke kampus, mendengarkan para dosen --dengan gelar akademiknya yang beriring seperti gerbong kereta api-- berceloteh, sesekali bertanya untuk mengkonfirmasi dan meminta penjelasan tambahan –tapi lebih sering karena supaya dikenal dosen atau sekedar mengusir ngantuk, sore hari beranjak pulang, mandi, makan, dan malamnya mengejakan tugas sebelum tidur. Besok pagi semua rangkaian kegiatan itu berulang.

Apakah rangkaian kegiatan itu menggembirakan? Sama sekali tidak. Malah sebaliknya, rentetan aktivitas itu menerungku kita dalam rutinitas, serangkaian aktivitas yang menurut Heidegger --seorang Filsuf Jerman, Sang Penyaksi dari Messkirch-- sebagai bukti nyata ketakutan pada kebebasan. Aktivitas kuliah membekap kebebasan menjalani hidup dalam rutinitas yang tanpa perasaan.

Bila tak hati-hati, kita hanya akan terjebak pada sebuah rasa takut (furcht). Sebentuk rasa gentar untuk mengambil kendali penuh atas hidup kita sendiri, sehingga kita menyerah dan bertekuk lutut pada rutinitas, pada jadwal kuliah, pada serentetan waktu kronometris tanpa kita sadari. Kita membiarkan eksistensi –atau ‘ada’ (da sein) dalam bahasa Heidegger-- terjerat dan terjebak dalam waktu (zeit).

Menghadapi situasi ini, Heidegger menyabdakan agar kita bisa bergerak lebih jauh dari sekedar takut (furcht), Heidegger mengajak kita mencumbu kecemasan (angst). Bila rasa takut mempunyai objek yang jelas yaitu suatu entitas yang menakutkan seperti takut terlambat kuliah, takut terlambat mengumpulkan tugas, dan takut mendapatkan nilai jelek, maka kecemasan melangkah lebih jauh dari itu.

Kecemasan bagi Heidegger tidak lagi sekedar ketakutan pada berbagai hal di keseharian yang remeh-temeh, Heidegger membawa kita menukik masuk ke dalam ada (da sein), inilah kecemasan itu. Cemas karena kita telah berjarak, renggang, tak mampu menggapai, bahkan kehilangan ‘ada’ (da sein).

Ajakan Heidegger untuk segera meninggalkan ketakutan menuju kecemasan, memang ajakan yang penuh risiko dan membuat banyak orang memilih untuk bersembunyi pada belukar rutinitas.

Banyak orang yang terjebak dalam golongan mereka yang menghindar dari tanggungjawab eksistensial, kelompok manusia yang lari dari kebebasan. Mereka lebih rela tercerabut dan bercerai dari eksistensi dan adanya, demi sebuah kenyamanan semu yang ditawarkan rutinitas.

Namun aku memilih menyahuti seruan Heidegger dan menyambut uluran tangannya untuk melangkah bersama dalam kecemasan. Bukan berarti bahwa dengan memilih kecemasan maka aku harus meninggalkan rentetan aktivitas harian yang aku jalani selama kuliah, sama sekali bukan.

Menyelami kecemasan berarti menjalani rentetan aktivitas harian dengan cara yang tak biasa. Untaian kegiatan yang terjadi berulang dari hari ke hari itu dinikmati sebagai fenomena yang senantiasa baru, unik dan berbeda dari fenomena yang lain. Hal ini membuat setiap fenomena menjadi ajang untuk menjenguk, menjangkau, bangkan bercumbu dengan ada.

Dalam perspektif yang sedemikian ini, maka aku ada bukan lagi karena aku berfikir, melainkan aku ada kerena aku cemas. Mari menjemput kecemasan!

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama