Berani, Jujur, Hebat!

[07.10.2013] Beberapa hari terakhir, kita dikagetkan dengan informasi tentang Ketua Mahkamah Konstitusi, Akil Mochtar tertangkap tangan sedang melakukan transaksi kasus bersama seorang legislator DPR RI, anggota Partai Golkar, Chairunnisa.

Bila apa yang dituduhkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi itu benar, maka ini merupakan guncangan besar bagi sendi kehidupan berbangsa dan bernegara kita yang mengklaim diri sebagai negara hukum, sekaligus sebagai negara yang berketuhanan.

Akil Mochtar, seorang yang begitu paham dengan segala hal yang terkait hukum. Chairunnisa, selain legislator, dia juga bendahara di organisasi para ulama, Majelis Ulama Indonesia. Tapi nyatanya, kedua orang ini juga tetap melibatkan diri dalam tindak pidana korupsi.

Ini menunjukkan kepada kita bahwa pemahaman mendalam terhadap hukum, posisi terhormat secara sosial, bahkan pemahaman keagamaan yang lebih baik, tidak menjadi jaminan seseorang untuk melakukan korupsi, mencuri, atau pelanggaran hukum lainnya.

Tapi kita juga tidak bisa mengatakan bahwa mereka yang korupsi, mencuri, atau melakukan pelanggaran hukum lain menjadi mendapatkan permakluman. Begitupun dengan mereka yang korupsi atau mencuri dengan jumlah nominal kecil, tak bisa menjadi alasan permakluman.

Korupsi itu bukan soal jumlah berapa banyak kerugian negara yang ditimbulkan, mencuri itu bukan soal apa dan berapa banyak yang dia curi, melanggar hukum itu bukan soal besar dan kecil pelanggarannya.

Korupsi, mencuri, dan melanggar hukum, adalah soal moralitas tingkah laku, soal apakah tindakan itu dilakukan atau tidak. Sekali dilakukan, maka pelakunya termasuk pelanggar moral. Tidak soal berapa banyak yang dia curi atau korupsi.

Kejadian tertangkap tangannya Akil Mochtar dan Chairunnisa menjadi bukti nyata bahwa kesadaran kita untuk taat hukum pada tataran personal, sangat lemah. Memang, kita sudah berusaha untuk membuat hukum untuk semua sisi kehidupan kita, tapi kita alpa untuk taat pada hukum kita sendiri.

Semua aktivitas kita, berusaha kita hiasi dengan beragam aturan hukum. Namun dengan sengaja kita juga melanggarnya sendiri tanpa rasa malu. Kita memoles hipokrisi dengan cantik, menarik, dan tanpa cacat. Kita menjelma menjadi mahluk munafik yang maha munafik.

Maka satu-satunya jalan untuk menjaga kewarasan di tengah kumpulan manusia hipokrit hanyalah dengan jujur pada diri sendiri, berusaha untuk taat hukum bukan karena kepentingan publikasi dan pencitraan.


Kita taat hukum karena hukum hadir memang untuk ditaati, dan tak perlu ada alasan untuk itu. Kita taat hukum sebagai manifestasi kejujuran pada diri sendiri, sebab seperti slogan Komisi Pemberantasan Korupsi, “Berani Jujur, Hebat!”

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama