[13.07.2014] Makin hari, aku makin
merasa bahwa Laila kekasihku bukanlah perempuan biasa. Dia adalah penjelmaan
malam, bukankah malam merupakan kekasih abadi yang akan menyelimuti siapapun
yang masuk dalam peraduan bersamanya?
Lihat bulu mata Lailaku yang
lentik, lesung pipinya yang menarik, serta bibirnya yang terukir indah adalah
anugerah alam yang membuatku menjadi demikian tenang berada dalam peluknya.
Bersama perempuan Laila, aku berani
untuk mengakui bahwa lelaki tidaklah haram berairmata. Dalam remang dan temaram
senyumnya, dia mampu menyamarkan sedihku yang berkarat. Dalam gelap rambutnya
yang pekat dia mampu menyimpan wajah senduku dengan rapat.
Lailaku, sebagaimana malam,
memiliki hati seluas alam dan jiwa sehamparan semesta. Dia mampu mendengar
dengan tabah luapan keluh dan limpah ruah kesahku.
Tentu kalian meragu dengan begitu
istimewanya Laila di mataku, tapi bukankah seorang kekasih memang begitu
berarti bagi seorang pecinta? Begitupun aku memperlakukan Lailaku, aku merasa
Tuhan telah begitu sempurna menciptakan Laila, bahkan mengangkatnya menjadi
ciptaan kesayangan. Siapapun yang ingin dekat dengan Tuhan, haruslah merapat ke
dada Laila, dada kekasihku.
Memang pernah juga tebersit lintas
ragu dalam hatiku yang rawan terhadapnya, tapi dia menjawab keraguanku dengan
gumamnya, “Keraguan yang mendera
hatimu memang hal yang lumrah hai pencari, tapi seharusnya was-was seperti ini
tidaklah pantas muncul dalam sanubari mereka yang mencintai kalam Tuhan.”
Aku terperangah mendengar tuturnya
dengan suara yang bergetar, “Wahyu
suci, bahkan diturunkan oleh Allah melalui rahim Laila yang mulia, kekasihmu
ini.” Lanjutnya.
“Jangan mengada-ada seperti itu kekasihku. Cukup! Aku percaya padamu,
tapi jangan sampai kau berdusta atas nama Tuhan untuk meyakinkanku.”
Raguku menggantung di udara.
“Tidak!!” Seru Lailaku, “Kebenaran
ini harus kau ketahui, aku adalah Laila Al Qadry. Kau pernah
mendengarnya? Gelar yang disematkan oleh Tuhan di dada perempuan mulia
kekasihmu ini, seumpama malam yang lebih mulia dari seluruh malam.”
Laila
Al Qadry perempuanku, ya demikianlah aku
memanggilnya kini, bukan hanya menjadi ibu bagi kalam suci, tapi dia juga
menjadi ibu bagi kelahiran para malaikat di bumi ini. Inilah yang membuat aku
menjadikannya begitu istimewa, sekaligus khawatir dengan kecemburuan yang
menggunung.
Pecinta mana yang tak cemburu jika
kekasihnya senantiasa dinanti dan dipuja oleh lelaki lain? Tuhanpun senantiasa
melafadzkan
nama Laila kekasihku dengan begitu mesra.
Bahkan Laila selalu disebutnya lebih
baik dari Nahar saudaranya, “Bukankah Laila
senantiasa mendahului Nahar?”
Ungkap Tuhan padaku di suatu malam pada
bulan ramadhan.
Membuatku nelangsa.
“Jangan bersedih begitu kekasihku, tidak cukupkah anugerah Tuhan dengan
kerelaannya untuk berbagi kebahagiaan denganmu?” Rayu Lailaku dengan
suara yang mendayu, selembut angin malam yang mendesir pelan di rimbun pokok
bambu.
“Kebahagiaan apa!? Ini adalah siksa, Dia membakarku dengan api cemburu!
Apa Dia tidak faham betapa dalam cintaku padamu!?” Jiwaku menggelora.
“Sssttttt….. jangan berisik cintaku, kau akan merusak kesunyian dan
mengoyak kesenyapan yang menjadi hakekatku…”
“Tapi aku tidak bisa menerima perlakuan ini!” Sanggahku.
“Fahamilah, aku bukan kekasihmu abadi, aku bukanlah seorang pecinta, aku
hanya hadir untuk membuktikan cinta Tuhan padamu.”
“Apa!!? Tuhan mencintaiku? Lalu kenapa ingin merampas dirimu dariku
kekasihku?” Aku makin tidak mengerti.
Laila terdiam dalam.
Hanya desah nafasnya yang terdengar
samar.
“Sadarlah, Laila kekasihmu ini hadir dengan kesunyian yang senyap hanya
untuk menujukkan bahwa Tuhan tidak penah meninggalkan dan membencimu.”
Aku hanya terdiam mendengar Laila
Al Qadry berceloteh, “Laila hanyalah
washilah, kekasihmu ini cuma teman seperjalanan, bukan tempat berhenti, pun
bukan tempat istirah dan lena. Hadirku yang demikian anggun dengan selimut
gelap kelam ini adalah satu ayat bagimu agar kau mampu mencandra bahwa Tuhan
adalah cahaya yang demikian benderang dan cerlang.”
Aku kian tergugu menyimak tuturnya.
“Hai jangan terdiam begitu dong…” Laila menguncang-guncangkan
bahuku.
“Kau mau menegakkan shalat bersamaku malam ini kan? Ayo, kau harus
bersuci, tak pantas seorang pecinta menemui kekasihnya dalam keadaan kotor.”
Laila menuntunku berdiri, aku
berjalan terseok menuju pancuran di belakang rumah, langit cerah, bintang
berkelip indah, namun gerimis menitis menerpa wajah.
Aku berwudhu perlahan, lamat-lamat
aku mendengar suara daras kalam suci melantunkan ayat terakhir ath thur, “wa mina llaili fasabbihhu wa idbaara nnujuum… Dan bertasbihlah
kepadaNya pada beberapa saat di malam hari dan di waktu terbenam
bintang-bintang.”
Kupungkas
wudhu dalam gemetar, rasa bergetar,
jiwa terasa lempang dan lapang, aku tersungkur bersujud. Tak sadar bibirku
melafadz terbata, “Subhana lladzii asraa
bi’abdihii laila…..”
Tags:
Cerita Pendek
malam seribu bulan..
BalasHapus