Puasa, Hajjaj, dan Seduksi

[12/07/2015] Pernah mendengar nama Al-Hajjaj? Lengkapnya Hajjaj bin Yusuf bin Matar Al-Hasib (diperkirakan hidup pada tahun 661 – 714 M). Hajjaj diriwayatkan pernah menjadi Gubernur Baghdad pada masa Khalifah Bani Umayyah, ‘Abdul Malik bin Marwan –yang terkenal dengan kedzaliman, banyak membunuh, dan kefasiqannya.

Bahkan Umar bin Abdul Aziz, salah seorang khalifah Bani Umayyah sampai membuat permisalan yang menggambarkan betapa jahat si Hajjaj ini. Sebagaimana dikutip oleh Ibnu Katsir dalam Al Bidayah wa An Nihayah (6/267 dan 9/158) Umar bin abdul Aziz pernah berkata, “Kalau sekiranya setiap umat datang dengan para penjahatanya manakala kita pula datang dengan membawa Al Hajjaj, niscaya kita akan mengalahkan semua penjahat tersebut.”

Syahdan, di suatu siang bulan ramadan, Al-Hajjaj memerintahkan pengawalnya untuk ‘mengundang’ seorang penggembala dari pegunungan untuk menemaninya bersantap siang. Begitu si penggembala duduk di hadapannya, Al-Hajjaj langsung mengajaknya makan, “Hai Fulan, temani aku makan siang, mari kita makan bersama!” Dengan muka teduh si gembala menjawab tenang, “Maaf tuan, saya telah diundang oleh yang lebih mulia dari tuan, dan saya lebih memilih memenuhi undangannya.”

Mendengar itu, Al-Hajjaj berujar, “Katakan padaku, siapa yang telah mengundangmu itu?” Gembala itu berkata, “Saya telah diundang oleh Tuhan seru sekalian alam, untuk berpuasa hari ini.” “Kau berpuasa? Tidakkah kau merasa bahwa siang ini begitu terik?” Al-Hajjaj mencoba menggoyahkan keyakinan si gembala. “Saya malah sering berpuasa di hari yang lebih terik dari ini, Tuan.” Jawab si gembala.

“Berbukalah hari ini, temani aku makan siang, engkau kan bisa berpuasa lagi esok hari?” Goda Al-Hajjaj.  “Kalau saya berbuka hari ini, apakah Tuan bisa menjamin bahwa saya masih hidup di esok hari agar saya bisa berpuasa?” Si gembala tersenyum simpul. “Tentu saja tidak!” Kilah Hajjaj. Dengan tenang si gembala berujar, “Kalau begitu, kenapa tuan berani memerintahkan saya untuk berbuka hari ini dan menggantinya di esok hari, sementara hari esok bukan dalam kekuasaan tuan?” Mendengar jawaban si gembala, Al-Hajjaj terdiam sejenak, setelah itu, kembali melancarkan godaannya.“Ayolah, tidakkah kau melihat betapa lezatnya makanan ini?”

Sambil berdiri dan beranjak pergi, si gembala menggeleng keras dan berujar, “Demi Allah, yang melezatkan makanan bukanlah juru masaknya, bukan pula jenis makanannya.” Al-Hajjaj terdiam, si gembala melanjutkan, “Sebuah makanan menjadi lezat karena afiat (kesehatan jasmani dan ruhani) sebagai anugrah dari Allah.”

Dalam dialog di atas, si gembala memperlihatkan bagaimana puasa menjadi kendali diri yang kukuh untuk menghindari godaan konsumeris yang direpresentasikan oleh makanan lezat yang disajikan oleh Al-Hajjaj. Puasa benar-benar fungsional dalam meredam tarikan libido dan hasrat mengkonsumsi.

Namun hari ini, fungsi tersebut hilang entah kemana. Ketika Muhammad saw, nabi mulia tersebut mencontohkan ummatnya untuk lebih banyak tafakkur dan i’tikaf, berdiam diri di masjid-masjid dan memperbanyak ibadah kepadaNya, sebagian besar ummat malah membiarkan rumah-rumah Allah melompong dan memilih untuk berdesak-desakan, berjejal-jejal, berimpitan di mall-mall, supermarket, trade center, dan plaza.

Iming-iming akan adanya sebuah malam yang lebih mulia dari seribu bulan –layl al qadr, khair min alf syahr, tidaklah cukup ampuh menjadi daya tarik bagi umat untuk kembali memakmurkan masjid. Mereka lebih memilih memenuhi seruan big sale, midnight sale, great sale, aneka diskon dan obral dari berbagai pusat perbelanjaan. Seruan adzan menjadi sekedar formalitas yang dikumandangkan dari menara-menara mesjid yang kian kesepian.

Jean Baudrillard dalam Seduction (1990) mengatakan bahwa seduksi adalah rayuan, permainan kebenaran, tantangan, duel, strategi penampakan, untuk meyakinkan bahwa yang fiktif itu ‘nyata’. Kekuatan seduksi (seduction) yang dibabarkan pada iklan di berbagai saluran media, membuat umat tak berdaya untuk melepaskan diri dari pusaran besar konsumerisme, bahkan dalam keadaan berpuasa sekalipun.

Bujuk rayu reklame telah memperdaya umat dengan kesadaran palsu tentang iman dan ketakwaan, tak mampu lagi melihat secara jernih standar-standar keimanan dan ketakwaan yang dituntunkan. Umat terjebak dalam citraan-citraan palsu yang ditawarkan para pelaku pasar, seumpama Al-Hajjaj menggoda si gembala agar membatalkan puasanya.

Yasraf Amir Piliang dalam Hipersemiotika (2003) bilang bahwa dalam kondisi masyarakat sekarang ini, di mana imaji-imaji lebih meyakinkan dari pada kenyataan itu sendiri, pola konsumsi personal maupun masyarakat tidak lagi didasari oleh logika kebutuhan, melainkan oleh logika hasrat.

Puasa sebagai ajang untuk melatih penengendalian diri, lebur dalam logika hasrat. Inilah kenapa jumlah konsumsi mayarakat selama bulan ramadan bukannya berkurang, malah meningkat. Sebab, hasrat menurut Gilles Deleuze dan Felix Guattari (Capitalism and Schizophrenia, 1977) tidak akan pernah terpenuhi, oleh karena ia selalu direproduksi dalam bentuk yang lebih tinggi oleh mesin hasrat.

Mengacu ke bahasa agama, mesin hasrat sebagai mesin yang mereproduksi perasaan kekurangan di dalam diri manusia secara terus menerus, indentik dengan hawa nafsu. Unsur manusiawi yang sejatinya harus mengalami pengendalian maksimal dengan puasa, justru beresonansi dan kian kuat dalam ramadan.

Iman dan ketakwaan dikomodifikasi menjadi produk yang dikemas dan dijajakan di pusat-pusat perbelanjaan. Kualitas iman dan ketakwaan ditentukan pada artefak mode macam apa yang mereka gunakan, dan bukan ditentukan pada seberapa besar daya tahan mereka terhadap godaan dan tarikan pusaran kehidupan yang materialistik.

Ramadan yang pada hakikatnya akan syahdu bila dijalani secara komunal, malah kemudian dibalikkan menjadi ajang membina semangat indivisualisme umat. Umat menjadi lebih peduli pada merek baju koko atau jilbab yang mereka siapkan untuk momentum ied al fitr dari pada peduli pada tetangganya yang tak memiliki makanan sekalipun sekedar untuk berbuka sebentar malam dan bersantap sahur esoknya.

Kita menjalani ramadan yang maknanya sudah diselewengkan dan melaksanakan puasa yang sudah kehilangan daya revolusionernya. Kita telah termakan oleh goda dan rayuan para Hajjaj modern untuk membatalkan puasa secara hakiki dan berpaling dari undangan perjamuan suci dari Tuhan yang Maha Suci.


Tulisan ini merupakan dari ulang dari Puasa Kita Dibantai Hajjaj Modern

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama