[09.07.2015] Ramadan
sudah senja, bilangan puasa pun tinggal sedikit, namun nuansa kebeningannya
sudah hilang entah kemana. Bila Rasulullah yang mulia menganjurkan kita agar
memperbanyak tafakkur, i’tikaf, dan ibadah kepadaNya, sebagian kita malah
memilih berdesak-desakan di pusat perbelanjaan, dan membiarkan rumah-rumah Allah
melompong.
Imaji
tentang layl al qadr, khair min alf syahr,
sebuah malam yang lebih mulia dari seribu bulan tidaklah cukup ampuh untuk
menjadi daya tarik bagi umat untuk kembali memakmurkan masjid. Seruan adzan hanya
dinantikan ketika menjelang maghrib, setelah itu, umat lebih memenuhi panggilan
aneka diskon dan obral dari berbagai pusat perbelanjaan.
Mengapa
aura ramadan sebagai bulan penuh berkah, rahmah dan maghfirah begitu cepat
menguap dari memori umat, malah berlalu sebelum ramadan benar-benar pergi? Lalu
mengapa hanya sedikit bagian dari umat yang merasakan hal ini sebagai masalah?
Apa yang salah? Apakah para muballig yang kurang memberikan pencerahan pada
umat? Atau malah memang umat saja yang demikian bebal?
Tentu
kita tidak boleh gegabah dan langsung menuduh bahwa muballig atau umat yang
bermasalah, karena sesungguhnya ada struktur sosial kultural yang melingkupi
kedua komponen ini. Sebuah struktur sosial kultural yang bekerja diatas prinsip
dan mekanisme yang beraroma materialistik, yang dihadapan serbuannya, puasa
sebagai mekanisme perlawanan terhadapnya terkesan tak berdaya dan harus
bertekuk lutut.
Digitalisasi
Ramadan
Sekilas,
tak ada masalah dengan fenomena ramadan sehari-hari, semua berjalan sudah dalam
koridor yang semestinya. Televisi bertaburan dengan berbagai tayangan sinetron
bernuansa religius, ceramah singkat teman bersantap sahur dan menanti waktu
berbuka. Berbagai pusat perbelanjaan memberikan tawaran diskon untuk memberikan
kemudahan kepada umat yang ingin berbelanja.
Namun
tanpa disadari bersama, di tengah kita sedang berlangsung sebuah proses ‘pencurian’
atas substansi ramadan kita. Berkah ramadan yang mulia ini dikemas dalam
berbagai format digital, kemudian re-distribusikan secara massal kepada umat
melalui berbagai media elektronik dan virtual.
Telah
terjadi proses komodifikasi atas makna ramadan kita oleh kaum pemodal. Dengan
licik, spiritualitas ramadan direngkuh dalam pangkuan modal, kemudian dikemas
ulang pasca dilakukan penyelewengan makna, setelah itu dikembalikan ke
tengah-tengah umat. Tentu dengan makna baru yang lebih jinak dan dikendalikan
oleh mekanisme pasar yang kapitalistik.
Puasa
yang seharusnya mampu memerdekakan kita dari kesenangan material, membuat kita
mandiri dalam mengatur diri dari pola ‘makan’ dan jenis konsumsi, tak lagi
terasa. Puasa yang merupakan upaya pembebasan manusia dari berbagai kungkungan
dan alienasi oleh dunia, ternyata sudah mandul. Ramadan yang merupakan madrasah
untuk mengasah kepedulian pada sesama juga menguap.
Ramadan
dan puasa telah berganti makna menjadi berarti hingar bingar pesta musik
religius, tayangan sinetron yang islami, selebriti yang ramai-ramai memakai
kerudung dan baju koko, pusat perbelanjaan dihias bak di padang pasir, dan
diskon besar-besaran. Keduanya telah kehilangan otentisitas, kita digiring ke
dunia yang mengagungkan kulit, trivial
pursuit.
Ramadan
dan puasa telah menjadi realitas lain, yang dibahasakan oleh Jean Baudrillard
sebagai hyper-reality –bangunan model-model realitas yang tidak
memiliki asal-usul. Inilah hasil digitalisasi yang kapitalistik itu, umat
merasa bahwa mereka memasuki sebuah ruang realitas yang dirasa nyata dan lebih
baik, padahal sesungguhnya ruang realitas itu hanyalah citra dan khayalan semu
semata.
Umat
terjebak di dalam sebuah dunia parody, dunia tanpa asal usul, dunia yang tidak
lagi mementingkan orisinalitas dan keaslian. Lihatlah berbagai realitas semu
itu, ummat berjubel belanja di mall, meskipun mungkin baju yang dimilikinya
sudah bertumpuk, mereka tetap belanja entah untuk apa, sekedar memuaskan nafsu
belanja.
Atau
yang lagi mendapatkan sorotan adalah sahur
on the road, yang pada awalnya dilakukan dengan niatan tulus untuk membantu
mereka yang hendak bersahur, namun karena berbagai kendala tidak mendapatkan
makanan untuk itu. Sekarang ini, sahur on
the road sekedar menjadi ajang sosialisasi diri bagi para politisi atau
mereka yang krisis kepercayaan diri.
Kapitalisasi
Islam
Salah
satu unsur yang sangat berperan dalam proses komodifikasi ini adalah media
massa, baik cetak, elektronik atau media online. Mereka berlomba-lomba dalam
melakukan diseminasi sosial makna puasa yang telah disabotase, dijinakkan!
Menurut Yasraf Amir Piliang, proses diseminasi sosial merupakan proses
pelipatgandaan dan penyebaran secara sosial, tanda, citra, informasi dan
tanda-tanda komoditas yang berkembangbiak secara seketika (instanta neousness), mengikuti model pertumbuhan kode genetika (genetic code).
Puasa
terjebak dalam dunia simulakra, dunia yang terbangun dalam simulasi diseminasi
sosial (social dissemination). Dunia
dimana terjadi penjungkirbalikan dan pendangkalan makna. Puasa menjadi sekedar
kulit tanpa daging legit, ritual tanpa spirit, dan tradisi tanpa isi. Ramadan
begitu eksis di jejaring sosial, komunitas maya, pusat perbelanjaan dan
rumah-rumah makan, tapi gagal hadir di langgar, mushalla, masjid-masjid, bahkan
hati kita.
Di
dua pertiga terakhir ramadan, umat menjadi lebih ingat dan dengan khusyu’
melaksanakan ritual ‘zakat (di) mall’
daripada mempersiapkan pelunasan zakat mal yang mereka miliki. Umat terjebak
pada belukar belanja, belanja, dan belanja. Mereka beraksi menumpuk-numpuk
harta hanya untuk memenuhi keinginan dan bukan kebutuhan.
Masyarakat
seperti ini menurut Sigmund Freud, adalah masyarakat yang sakit, masyarakat
yang tidak berkembang secara sempurna, masyarakat yang gagal menjadi dewasa,
masayarakat yang berhenti pada fase perkembangan oral yang mendapatkan kepuasan
dengan mengkonsumsi, atau paling banter fase anal yang akan merasa gembira bila
menumpuk-numpuk harta lalu memamerkannya.
Celakanya,
umat Islam bermetamorfosis menjadi umat yang sakit dan umat yang gagal menjadi
dewasa justru pada bulan ramadan, bulan yang pada hakekatnya bertolakbelakang
dengan semua itu. Bulan yang bukannya mendorong pemanjaan konsumsi dan
penumpukan harta, melainkan bulan yang mendorong proses pendisiplinan dan
pengontrolan diri dari konsumsi dan hasrat yang berlebih.
Tulisan
ini adalah daur ulang dari postingan Ramadan Yang Kesepian