[19.01.2016]
Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) Sulawesi Selatan baru saja usai
menggelar Musyawarah Wilayah. Wadah berhimpunnya alumni dan eksponen HMI yang
didirikan pada 17 September 1966 ini memilih pimpinan wilayahnya untuk satu
periode ke depan. Selain sebagai ajang alih kepemimpinan, Musyawarah Wilayah
menjadi ruang silaturahmi dan konsolidasi sumber daya yang dimiliki oleh Kahmi untuk
merumuskan peran mereka sebagai ormas dalam proses pembangunan umat dan bangsa
di daerah.
Tak
ada yang bisa membantah dan meragukan peran strategis serta kontribusi positif
alumni HMI dalam proses pembangunan. Bahkan dengan melihat animo alumni HMI yang
menjadi pejabat publik untuk menjadi pengurus Kahmi, menunjukkan bahwa
organisasi ini punya posisi yang tak bisa dipandang sebelah mata.
Kahmi,
yang menghimpun alumni HMI dengan beragam profesi dan latar keilmuan yang
komplit serta dipandu dengan kesadaran keislaman dan keindonesiaan yang tak
lagi diragukan menjadi jaminan bahwa organisasi ini bisa berperan sebagai
lokomotif perubahan bangsa ke depan. Terutama dalam menghadirkan corak
keberagamaan yang tepat dalam konteks keindonesiaan yang plural dan kaya akan
kebhinnekaan.
Islam
yang moderatis, mengedepankan kesantunan dan kedamaian, serta menebar rahmat
bagi seluruh anak bangsa –atau meminjam
istilah Zuhairi Misrawi sebagai Islam yang Indonesiawi, bisa menjadi
tawaran strategis Kahmi apalagi bila dikaitkan dengan kondisi rajutan keislaman
dan keindonesiaan kita kontemporer yang terkoyak akibat aksi teror dari
sekelompok orang atas nama keyakinan keagamaan. Ledakan bom Sarinah menjadi
bukti, betapa ekstrimisme masih menjadi ancaman bagi bangsa ini.
Tindakan
teror dengan menyasar tempat yang beraroma American
branded merupakan simbol dan mengekspresikan pesan anti-Amerika yang
kental. Namun yang perlu untuk dicermati adalah alasan di balik aksi kekerasan
yang menimbulkan rasa was-was dan menitipkan kegelisahan di tengah umat dan
bangsa.
Anti-Amerika
pada dasarnya adalah ekspresi paling telanjang dari krisis identitas pada
sebagian umat dalam menghadapi titik bifurkasi akibat 'benturan' antara
keislaman versus kemodernan, dan keindonesiaan menjadi ruang sosiologisnya. Ini
bisa diartikan bahwa ekstrimisme bukanlah semata agresivitas buta dalam beragama,
melainkan respon reaktif atas modernitas.
Akar
ekstrimisme perlu dilacak pada akar sosiologisnya, dan bukan hanya pada
fundamen keberagamaannya. Sebab sebagaimana dengan kehadiran pandangan Islam
yang moderat, lahirnya sikap ekstrimis, seperti ungkap Khaled Abou el-Fadl dalam Selamatkan
Islam dari Muslim Puritan, merupakan sebentuk sikap perlawanan terhadap
modernitas.
Mengapa
modernitas didaku menjadi musuh? Sebab modernitas diposisikan sebagai dalang
bagi merebaknya liberalisasi semu, liberalisasi yang alih-alih membebaskan,
malah menyengsarakan umat, padahal pembelaan terhadap mereka yang mustadh'afin
merupakan spirit utama visi pembebasan dalam agama.
Pseudo-liberalisasi
ini memicu lahirnya manusia-manusia 'agentik'. Daniel Goleman dalam Social
Intelligence: Ilmu Baru tentang Hubungan Antar Manusia memaparkan bahwa
cara pandang 'agentik' sebentuk pendekatan dingin pada orang lain, memandang
orang lain semata-mata sebagai instrumen yang harus digunakan untuk mencapai
sasaran.
Lebih
tegas, Goleman mengatakan bahwa saya
adalah agentik ketika saya tidak peduli samasekali tentang perasaan Anda, namun
hanya tentang apa yang saya inginkan dari anda. Maka modernitas melahirkan
modus egosentrik ‘I-It’ (Aku-Sesuatu) dan bukan ‘I-You’ (Aku-Kamu).
Modus
egosentrik ‘Aku-Sesuatu’ menggilas falsafah dasar keindonesiaan: gotong royong,
juga menerabas konsep kejamaahan dalam Islam, hal ini bisa memicu frustrasi
berbangsa dan beragama. Apalagi bila situasi sedemikian bertemu dengan arus
komunikasi dan informasi yang demikian deras menyuguhkan paham keagamaan yang
bernuansa kekerasan, maka sikap ekstrimis akan menjadi muaranya.
Ledakan
bom Sarinah memang masih berskala kecil, namun ekspresi ekstrimis dan aksi
teror tersebut, menyimpan efek yang lebih besar, spiral kekerasan yang berpusar
dari sana, bisa menyeret bangsa ini menjadi kehilangan dunia sosial. Umat pun
seperti mengalami kebutaan moral, sebab orientasi pada kemanusiaan dan
moralitas pada agama, seakan terlucuti.
Kahmi
sebagai wadah bagi alumni HMI, kader-kader bangsa yang dididik dengan trilogi: Keislaman-Keindonesiaan-Kemodernan
ala Cak Nur, menemukan momentum strategis dalam konteks ini. Kahmi bisa menjadi
ruang diseminasi Islam yang Indonesiawi, paham keagamaan yang bernuansa
moderatis, menjunjung tinggi kemanusiaan, dan mempererat soliditas keumatan dan
kebangsaan.
Mengikut
pesan el-Fadl, muslim moderat –termasuk Kahmi, harus melindungi Islam
dari misintrepertasi dan disinformasi kaum puritan yang ekstrimis. Jika kaum
Puritan berbicara lantang disertai dengan kekerasan, maka kaum moderat harus
berbicara dengan lebih lantang diiringi dengan tindakan damai. Tradisi moral
Islam telah dicuri dan dihancurkan oleh minoritas-bersuara-lantang.
Peran
ini bisa djalankan Kahmi dengan dua sisi, sisi internal umat Islam, Kahmi mendorong
tanpa lelah agar kasih sayang dan karakter keagamaan moderat (wasath) sebagai nilai dasar Islam untuk
disemai dan dibiakkan dalam hati umat. Sementara di sisi eksternal, Kahmi
memposisikan diririnya dan umat Islam untuk menjadi sarana perwujudan rahmat
dan kasih sayang Tuhan bagi sesama manusia, terutama bagi sesama anak bangsa. Semoga.
Tulisan
ini dimuat di Harian Tribun Timur, Senin (18/01/2016)
Mantap bung kasman.
BalasHapusterima kasih telah sudi mampir :)
Hapus