[01.02.2016] Pembangunan
merupakan salah satu tema pelik dalam perbincangan ilmu sosial. Sampai hari
ini, telah berkembang demikian banyak pemikiran tentang ini. Kita mengenal
perspektif sosiologi klasik (Durkheim,
Weber, dan Marx), para Neo-Marxis, Kaum modernis penganut Rostow, Kaum
Strukturalis, sampai pada pendekatan yang paling baru, pembangunan
berkelanjutan.
Pembangunan
merupakan kata kunci –yang mengemuka
sejak pasca perang dunia kedua, dalam proses memajukan kehidupan masyarakat,
baik aspek material maupun aspek spiritual. Pembangunan menjadi mantra
pamungkas bagi sebuah negara, maupun wilayah dan daerah yang mendambakan
kemajuan peradaban.
Menurut
Nugraha & Dahuri (2012 : 10), pembangunan dapat diartikan sebagai suatu upaya
terkoordinasi untuk menciptakan alternatif yang lebih banyak secara sah kepada
setiap warga negara untuk memenuhi dan mencapai aspirasinya yang paling
manusiawi. Dari defenisi ini, setidaknya ada tiga hal pokok yang menggambarkan
proses pembangunan: koordinasi, terciptanya alternatif yang banyak secara sah,
dan aspirasi yang paling manusiawi.
Pembangunan
sebagai sarana koordinasi mengindikasikan bahwa pembangunan memerlukan sebuah
kegiatan perencanaan. Soal koordinasi pembangunan juga terkait dengan partisipasi
penduduk dalam pembangunan. Mengenai ini, UNDP dalam Human Development Report (1992 : 21) mendefenisikannya sebagai
keterlibatan penduduk dalam proses pembangunan baik ekonomi, sosial, dan
budaya.
Pembangunan
sebagai sarana bagi terciptanya alternatif yang banyak secara sah berarti bahwa
pembangunan hendaknya berorientasi kepada keberagaman dalam seluruh aspek
kehidupan. Adapun mekanismenya, menurut Nugraha & Dahuri (2012 : 10),
menuntut terciptanya kelembagaan dan hukum yang terpercaya (credible) yang mampu berperan secara
efisien, transparan dan adil.
Sementara
pembangunan sebagai sarana untuk menyalurkan aspirasi yang paling manusiawi,
bermakna bahwa pembangunan haruslah berorientasi kepada pemecahan masalah dan
pembinaan nilai-nilai moral dan etika umat. Berarti, proses pembangunan yang
akan dijalankan tidak melulu memperhatikan aspek ekonomis semata, melainkan
juga aspek sosial budaya.
Dengan
berangkat dari defenisi pembangunan yang mencakup aspek koordinasi, terciptanya
alternatif yang banyak secara sah, dan aspirasi yang paling manusiawi, maka
pembangunan menurut Michael E. Porter (1998), membutuhkan pemerintahan kuat dan
masyarakat kuat.
Penerapan
otonomi daerah sebagai sebuah sistem kepemerintahan yang tidak lagi bercorak
sentralistik-birokratis, melainkan desentralistik partisipatoris, merupakan
alternatif sistem yang memungkinkan penguatan aktor pembangunan pada dua sisi:
pemerintah dan masyarakat.
Dengan
desentralisasi kewenangan pemerintah kepada daerah, maka daya kreativitas dan keberanian
mengambil prakarsa pembangunan akan terpacu, sehingga daerah akan memiliki
kapabilitas yang kuat dalam mengatasi berbagai masalah domestik yang mereka
hadapi. Di samping itu, partisipasi masyarakat akan lebih dimungkinkan dengan
adanya pengakuan terhadap komunitas lokal sebagai entitas politik.
Ini
berarti masyarakat bisa mengambil peran sebagai aktor utama pembangunan,
sementara pemerintah melakukan penguatan peran sebagai fasilitator, regulator,
serta motivator dalam ketersediaan prasarana publik. Seperti kata Azikin
Solthan (2009 : ix), semua proses perumusan kebijakan, pelaksanaan dan
pengawasan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah harus melibatkan
partisipasi masyarakat.
Atau
seperti ungkap B.C. Field (1994 : 482), hakikat otonomi daerah, selain
'kewenangan' mengatur dan mengurus daerah adalah mementingkan pemecahan masalah
di antara pelaku-pelaku ekonomi yang terlibat dalam alokasi sumber-sumberdaya
di daerah.
Dalam
konteks otonomi daerah yang mengedepankan partisipasi masyarakat inilah,
dibutuhkan pendekatan perencanaan pembangunan yang berbasis pada aspek
kewilayahan. Wilayah (region) di
sini, diartikan sebagai suatu area geografis yang memiliki ciri tertentu dan
merupakan media bagi segala sesuatu untuk berlokasi dan berinteraksi.
Wilayah
secara kompleks, menurut Rustiadi, dkk. (2011 : 31) dapat dibagi atas wilayah
sebagai (1) sistem ekologi (ekosistem), (2) sistem sosial, (3) sistem ekonomi,
ata gabungan atas dua atau lebih sistem. Ini menunjukkan bahwa cara pandang
kewilayahan mencakup aspek ekonomi, sosial dan lingkungan.
Perencanaan
pembangunan wilayah menurut Nugraha & Dahuri (2012 : 12), merupakan suatu
upaya merumuskan dan mengaplikasikan kerangka teori ke dalam kebijakan ekonomi
dan program pembangunan yang didalamnya mempertimbangkan aspek wilayah dengan
mengintegrasikan aspek sosial dan lingkungan menuju tercapainya kesejahteraan
yang optimal dan berkelanjutan.
Ini
juga bermakna bahwa masyarakat selayaknya mampu merumuskan kegiatan pembangunan
apa yang cocok utuk wilayahnya, melalui lembaga multi stakeholder (forum lintas pelaku setempat). Tentu
dengan memperhatikan aspek ekonomi, sosial dan lingkungan di mana masyarakat
itu berlokasi dan berinteraksi.
Mengapa
demikian? Karena masyarakatlah yang paling mengetahui potensi yang ada di
wilayahnya, mereka pula yang memahami salah yang dihadapi dan bagaimana cara
mengatasi masalah yang timbul. Sehingga proses pembangunan yang dijalankan,
bukanlah suatu yang seakan dipaksakan dari atas.
Dalam
otonomi daerah, secara teknis, proses pembangunan tidak lagi boleh bersifat top down ataupun bottom up, atau dalam bahasa Gamawan Fauzi (2014 : vii), terkadang
kepala daerah yang dipilih langsung merasa bisa melakukan apa saja bak
“raja-raja” kecil. Bagi Wallis J. dan B. Dollery (2001 : 245 - 263),
pembangunan seperti ini merupakan gejala state
incapacity.
Dengan
memanfaatkan otonomi daerah yang desentralistik-partisipatorik, serta
memperhatikan aspek kewilayahan (ekonomi, sosial dan lingkungan) dalam proses
perencanaan yang partisipatif, maka substansi kesejahteraan masyarakat di suatu
wilayah akan dapat diwujudkan.
Kesejahteraan
yang dimaksud adalah seperti yang ungkap Rustiadi dkk. (2011 : 448), bahwa tingkat
kesejahteraan masyarakat di suatu wilayah tidak hanya cukup dimaknai dengan tingkat
pertumbuhan dan produktivitas ekonomi serta kemajuan-kemajuan di bidang fisik
saja, tetapi juga harus mempertimbangkan kinerja sosial budaya masyarakatnya.