[21.02.2016] “Jangan ditebang rumpun pisang itu!” Pinta Ibu dengan
suara tegas. Pohon lain boleh ditebang, tanaman boleh berganti, tapi tak ada
kompromi untuk rumpun pisang di sudut kiri halaman belakang. Telah berkali-kali
induknya ditebang karena buahnya sudah matang, tapi anaknya harus dijaga dengan
baik. Rumpun itu harus berlanjut, bagaimanapun caranya.
Ibu yang sudah kurang bertenaga karena usia yang kian senja,
menjadi begitu bergairah saat memegangi batang-batang pisang di rumpun itu.
Usia ibu sudah melewati 70an. Saat kesehatan sudah tak memberinya izin untuk
berlama-lama merawat rumpun itu, Ibu mewanti-wanti agar kami, maksudnya aku dan
istriku, Batari, memberi perhatian khusus. Kami sampai berpikir, Ibu tak
sekedar merawat, tapi bahkan meruwat.
Suatu kali, Ibu kami temukan menangis tergugu, suara isaknya
tertahan, nampak demikian sedih. Pasalnya sederhana saja, saat itu, tanpa
sepengetahuan kami, Panrita, anak kami yang berusia 5 tahun, memenggal
setangkai daun pisang muda untuk dijadikannya sebagai alas bermain di bawah
pohon mangga di halaman belakang.
Aku, Singkeru, anak tunggal Ibu dengan Ayah yang sudah almarhum.
Ayah meninggalkan aku dan Ibu ketika umurku belum sampai tiga tahun. Ayah
meninggal begitu tiba-tiba, tak pernah ada penjelasan yang memadai soal itu.
Yang pasti, sejak itu, Ibu menjadi begitu perhatian terhadap rumpun pohon
pisang di sudut kiri halaman belakang.
Pernah ketika usianya menginjak 50an tahun, Ibu sakit. Selama
sakitnya, Ibu berkeras tak hendak mengunjungi Puskesmas, namun begitu
bersemangat menjenguk halaman belakang. Bahkan dia memintaku menyiapkan kursi
di dekat rumpun pohon pisang itu. Setelahnya, saban pagi, Ibu akan berlama-lama
di sana. Seperti bercengkrama dan bertukar kenangan dengan sahabat lama,
mukanya berbinar.
Untuk mengatasi sakitnya, kami mendatangkan dokter Puskesmas ke
rumah. Menurutnya, Ibu hanya kelelahan, dan sebuah resep berisi daftar vitamin
disiapkan. Dokter itu malah beranggapan, kebiasaan ibu duduk berlama-lama di
halaman belakang, positif untuk mempercepat pemulihan dirinya. Tak ada yang
perlu dikhawatirkan, begitu nasihatnya.
Komentar berbeda, datang dari seorang ustadz muda, lulusan
pesantren modern di kota. Dia mencurigai adanya jin jahat yang mungkin saja
sedang mempermainkan jiwa Ibu yang labil.
“Lihat saja, Ibu anda seperti terobsesi pada sesuatu yang gaib di
rumpun pisang itu.” Pendapat Ustadz al-Asyari, demikian dia menamai dirinya,
didukung penuh oleh dukun kampung tetangga kami, Wak Limpo.
Aku dan istri keheranan, baru kali ini seorang ustadz yang
berkostum celana cingkrang bisa akur dengan dukun kampung yang tentu saja masuk
kategori ahlul bid'ah wal
munkarat. Leher Wak Limpo penuh dengan jimat aneka bentuk, lengannya pun
disesaki beragam gelang bermacam model dan warna.
“Ibumu kesambet penunggu rumpun pisang itu, Singkeru.” Jelas Wak
Limpo sambil mengunyah sirih yang tak pernah lepas dari mulutnya.
Tapi solusi yang mereka tawarkan, jelas berbeda.
“Ibu anda perlu di rukyah, Pak Singkeru. Ini pengobatan paling
tepat ala nabi untuk mengusir pengaruh roh sesat dan jin jahat”, saran Ustadz
al-Asyari.
“Ibumu bisa diselamatkan kalau dia menyembelih seekor kambing
jantan berusia 6 bulan, dan darahnya dikucurkan di pokok rumpun pisang itu.
Kepalanya bungkus sarung sutera dan antar ke rumahku. Dagingnya bagikan ke
tetangga”, pendapat Wak Limpo.
Sebagai orang yang lahir dan besar dalam tradisi kampung, saran
Wak Limpo terasa lebih familiar. Tapi saran Ustadz al-Asyari menohok jantung
keimanan kami.
“Ini sunnah Pak Singkeru, sesuai syariah. Anda beragama Islam,
kan?” Ustadz al-Asyari meyakinkan.
“Kalau anda menyembelih kambing, bukan karena Allah, itu haram
hukumnya. Dan bukannya pergi, roh jahat itu malah akan kian membuat ulah,
karena merasa dilayani.” Sambungnya.
Wak Limpo tak mau kalah
“Cuma seekor kambing, kau begitu kikir untuk kesembuhan ibumu.”
Kilahnya.
“Kambingnya juga tetap disembelih atas nama Allah, dan dagingnya
menjadi sedekah. Bukankah itu bisa jadi pintu kesembuhan ibumu, Singkeru?”
Lanjutnya dengan argumen yang juga meyakinkan.
Mendengar itu, Ibu tersenyum dan tak memilih keduanya. Setelah
beberapa hari sakitnya mereda, Ibu kembali menjalani rutinitas merawat rumpun
pohon pisang itu. Pada hari ketujuh sehatnya, Ibu bersedekah seekor kambing
berusia 4 bulan dan meminta Ustadz al-Asyari menyembelihnya. Wak Limpo turut
hadir menikmati gulai kambing muda yang dihidangkan bagi jamaah pengajian
kampung yang dikomandani Tuan Imam. Tak ada riuh soal tahyul dan bid'ah, semua
menyantap gulai dengan lahap.
* * *
Sepekan sejak kepergian ibu untuk selamanya, kami masih menikmati
kehilangan, beberapa kerabat pun masih tinggal untuk menghibur. Aku berdiri di
teras belakang, memandang sayu ke arah rumpun pisang ibu. Sampai berpulang,
kami tak juga tahu mengapa ibu begitu peduli dengannya. Terlintas ingatan
tentang Ibu denganya.
“Singkeru, ini album foto peninggalan ibumu, Nak. Maaf, baru bisa
saya berikan sekarang.” Tante Sanatang, adik almarhum Ibu yang sudah puluhan
tahun merantau ke Aceh, beranjak menjauh setelah menyerahkan album foto mungil
yang berisi 20an foto ukuran 3R.
Album kubuka perlahan. Foto pertama, ibu bersama ayah di sisi
jalan yang berhujan, berpayung setangkai daun pisang. Foto kedua, ibu dan ayah
menanam sebatang pohon pisang yang masih mungil. Foto ketiga, ayah lagi
menebang induk pohon pisang yang buahnya sudah mengkal. Foto keempat, ibu
tersenyum ceria, menikmati buah pisang yang telah matang. Foto kelima, sebuah
surat nikah, kepunyaan ibu dan ayah. Pada kolom mahar, tertera: 84 real dan
sebatang pohon pisang, dibayar tunai.
Setelah foto kelima, aku berhenti. Mataku menatap nanar ke arah
rumpun pohon pisang di sudut kiri halaman belakang, pohon pisang ibu.
Cerpen ini dimuat di Harian LombokPost,
21 Februari 2016
Tags:
Cerita Pendek
Ceritanya mengharukan....keren penceritaannya.:)
BalasHapusPadahal saya malu-malu kirim cerpen lagi sejak Isabella Dari Damme' dimuat di Harian Amanah.
HapusIni semua berkat kompa-kompana Kak Muhary, hahahaha...
Keren memang
BalasHapusDaeng Pasang, kapan lagi nongol puisi di media? Jangan beri jeda, bisa habis layu itu semangat
HapusWah keren kak...mengharukan ceritanya dan terselip pula pesan damainya antara Wak Limpo dan Ustadz al-Asyari. Smg almarhum dan almarhumah damai pula disisiNya, amin. .
BalasHapusterima kasih ya sudah mau berkunjung, hehehehe...
Hapus