#15 Juli 1905
Malam mulai
meremang, magrib pun sudah menjelang ketika utusan Dulung Pajalele menemui I
Mattappa di rumahnya.
“Petta Dulung
menunggu kedatanganmu seusai magrib di rumahnya. Penting.”
Pesannya
singkat, tak ada penjelasan tambahan. Utusan yang merupakan orang kepercayaan
Dulung itu berlalu dengan tombak di tangan kanan dan obor penerang di tangan
kiri.
Seusai berwudu
di gumbang, tempayan dekat kaki
tangga depan rumahnya, I Mattappa menapaki satu persatu anak tangga dengan
pikiran bercabang. Ada apa gerangan Dulung Pajalele yang juga masih sahabat
almarhum bapaknya, memanggilnya begitu mendadak? Jangan-jangan hubungannya
dengan I Patimasang, puteri Dulung Pajalele sudah ketahuan? Seusai salat, dia menuju
rumah Dulung Pajalele, memenuhi panggilan mendesak yang entah karena apa.
“Tentu kau
kaget kupanggil mendadak, Nak.” Dulung Pajalele membuka pembicaraan.
“Iyye', ada
apa gerangan saya dipanggil oleh Petta, Puang.” Jawabnya sambil membetulkan
duduknya. Mereka bersila berhadapan di atas tikar pandan.
“Keadaan Kerajaan lagi genting, Nak.”
I Mattappa
hanya terdiam, Dulung Pajalele melanjutkan tuturnya.
“Kemarin,
Batara Tungke'na Bone menerima surat dari Kolonel Van Loenen, Panglima Tentara
Ekspedisi Hindia Belanda.”
“Apa isi
suratnya, Puang?” Di bawah cahaya pelita yang meliuk-liuk, muka I Mattappa
terlihat menegang mendengar Hindia Belanda disebut.
“Ultimatum,
Nak. Bila Bone tidak memberi mereka kekuasaan penuh di BajoE, mereka akan
menyerang dalam 15 hari...”
“Kurang ajar!”
Seru I Mattappa, tinjunya menghantam lantai rumah. Ota-otang, peralatan sirih-pinang Dulung Pajalele sampai
terpelanting.
“Tenangkan
dirimu, Mattappa!”
“Maafkan saya
Petta, Puang. Tapi saya tak bisa terima kita dipermalukan begini.” I Mattappa
merendahkan muka, menyadari keberadaannya.
“Kita semua
tentu tak terima penghinaan ini, tapi jangan terburu emosi. Sekarang pulanglah,
besok kau temani aku menghadap ke Petta PonggawaE untuk memastikan langkah
selanjutnya.”
“Iyye',
Puang.”
#12 Juli 1905
Seusai
mengantar makan siang untuk para pekerja di sawahnya, I Patimasang beranjak
pulang. Namun di sebuah dangau yang tepat berdiri pada batas persawahan dan
hutan kecil di ujung kampung, perjalanannya terhenti. Dia dicegat oleh I
Mattappa, sahabatnya sejak kecil.
“Daeng, kenapa
mencegat saya di sini?” Seru I Patimasang kaget, namun sejurus kemudian dia
tersipu, tertunduk malu. Tangannya mempermainkan jalinan bunga melati di simpolong-nya.
“Tak bolehkah
saya sekedar ingin berjumpa denganmu dan tak perlu alasan?” Jawab I Mattappa
sekenanya.
“Bukan begitu,
Daeng. Tapi bukankah ini melanggar pangadereng? Adat yang kita pegang teguh?”
Suara I Patimasang terdengar cemas.
“Apa I Saleha
sudah menyampaikan paseng na selleng uddanikku? Pesan dan salam rinduku?”
Sambil menggaruk-garuk kepalanya.
I Patimasang
tak bersuara, hanya mukanya yang kian ditekuk dan bersemu merah.
“Kenapa tak
menjawab, Andi’. Aku membutuhkan jawabanmu sekarang.” Sambil mempersilahkan I
Patimasang duduk. Siang yang hening, angin berhenti berkesiur.
“Ataukah dirimu sudah bunga ri palla’? Sudah dalam pinangan?” I Mattappa menatap tajam ke
arah I Patimasang. Yang ditatap cuma mampu memalingkan wajah. Mukanya
tersenyum, hatinya ikut tersenyum. Tapi dia tak mampu menjawab tanya I
Mattappa.
“Andi’, jangan
membuatku sajang rennu, saya tak
sanggup patah hati.” I Mattapa terus mendesak.
“Saya ingin
menjadikanmu tau ri tangke’na atikku,
ratu di singgasana hatiku.”
Mata I
Patimasang membelalak, seakan tak percaya kata-kata I Mattappa yang demikian
berani.
“Patimasang, Ikau tau ri tangke pulana-ku. Kita
ditakdirkan bersama. Kau mau kan?” Lanjut I Mattappa. Mendengar itu, I Patimasang
berdiri dari duduknya, manatap manja ke arah I Mattappa dan mengangguk halus. Lalu
disingsingkannya ujung sarungnya dan berlari pulang menyusur pematang sawah.
Sepeninggal I
Patimasang, I Mattappa menutup mata, menengadahkan kepala, dan menarik nafas
panjang. Dia mencoba menenangkan diri dari gairah rindu yang membuncah, cinta
yang berbalas cinta.
Dia keluarkan
badik yang selalu tersampir di pinggangnya. Dengan ujungnya yang runcing, dia
mengukir bait pujian pada I Patimasang di lantai papan dangau.
Macole adanna / Makanja kedona / Malebbi
ampena
Ikau tau sukku / Ikau tau
ripojikku / Ikau tau ri tangke’ pulanaku
#17 Juli 1905
“Poleni temmakkuae, kita tak ada pilihan.”
Dulung Pajalele membuka pertemuan sambil memukul-mukulkan tinjunya ke lantai
papan rumah, kepalanya senantiasa menggeleng. Semua yang hadir nampak terdiam
menunggu penjelasan selanjutnya dari Dulung Pajalele. Nampak hadir para tokoh
Pattiro, seperti Senrima Pattawe, Senrima Rilompengeng, dan Kapitang Lette Tana
Laiwa. Juga nampak serta Daeng Mallongi sebagai tokoh masyarakat Calo, dan Daeng
Masege dari BelawaE.
“Kita harus
menghadapi sendiri balanda kafere’,
bila Belanda kafir itu berani menginjakkan kakinya di Cappa’ Ujung. Menghadapi
mereka kali ini, Petta PonggawaE memutuskan untuk mengonsentrasikan pasukan
kerajaan di BajoE dan di Lalengbata.” Lanjut Dulung Pajalele.
“Kalau memang
demikian adanya, kita harus bersiap Petta, Puang!” Usul Senrima Rilompengeng
sambil memelintir kumisnya.
“Kita buktikan
pada koroneli betta’ede, kolonial
jahat itu kalau Bone tak bisa dipandang rendah. Biar mereka tahu betapa
tajamnya badik orang Bone!” Senrima Pattawe tak mau kalau, tangan kanannya
sudah mengelus-elus hulu badiknya.
“Baiklah kalau
begitu, kita harus kumpulkan pasukan dan siapapun rakyat yang ingin serta, kita
ikutkan! Mattappa, segera kau siapkan bila-bila,
pengumuman harus segera disebar. Dua hari dari sekarang, kita gelar pasukan dan
bergerak ke Cappa’ Ujung!”
“Elona
Petta, Puang. Jika demikian perintahnya, kita bergerak.” Seru peserta pertemuan
serentak sambil menundukan sedikit kepala dan tangan kanan memegang hulu badik
masing-masing.
#19 Juli 1905
Sedari pagi,
pasukan berkumpul di kampung Benteng, nampak di bagian depan Dulung Pajalele di
atas kudanya sambil mengibar-ngibarkan duplikat Sampa’rajaE, selembar kain ungu dengan gambar jangkar di tengahnya.
“Seluruh
rakyat Bone, camkan dalam diri kalian semua bahwa kita ini tau metedde'na Mangkau’E ri Bone, kitalah pasukan kebanggaan Raja
Bone! Itai Batara Tungke’na Bone,
saksikanlahlah wahai Junjungan Tunggal Tana Bone!” Teriak Dulung Pajalele
memberi semangat pasukannya.
Begitu
matahari sudah meninggi, pasukan bergerak ke arah timur. Derap kaki pasukan,
ditingkahi lengking pui-pui dan
denting lirih beccing, lamat-lamat
nyanyian para bissu ikut meningkahi.
No’ko ri toddang toja /
Enre’ko ri botting langi
#20 Juli 1905
Kolonel Van
Loenen memerintahkan dua kapal dari eskader Belanda berlabuh di Ujung Pattiro.
Pasukan dari kapal perang H.M. Serdang pimpinan Kapten De Greve didaratkan
dengan beberapa sekoci. Pasukan belanda disambut dengan perlawanan sengit
pasukan kecil namun gagah berani pimpinan Dulung Pajale. Sampai beberapa hari
kemudian, perlawanan rakyat Bone bisa diredam dengan bantuan pasukan Marsose.
Sedikitnya, 25
orang pejuang Bone dinyatakan gugur, di antaranya Dulung Pajale, Senrima
Pattawe, Senrima Rilompengeng, dan Kapitang Lette Tana Laiwa. Juga nampak serta
Daeng Mallongi sebagai tokoh masyarakat Calo, dan Daeng Masege dari BelawaE.
Juga turut gugur Daeng Mattengnga, Daengg Mallipu, Uwak Cabulu, Ipaggalung, Daeng
Mananrang, Laoni, Ibadulla, Manakku, Itiwajo, Daeng Pagiling, Daeng Patombong dan Imalegga.
Dari pihak
Belanda, berhasil digugurkan Letnan Posthast serta seorang penembak ulung.
Selain itu, ada 24 orang pasukan yang terluka.
#25 Juli 1905
Dengan goresan
bayonet di lengan, I Mattappa menemui I Patimasang subuh hari ketika dirinya
baru tiba dari Cappa’ Ujung pasca kekalahan pasukannya.
“Andi’,
maafkan diriku yang tak mampu membawa pulang Puangku, Dulung Pajalele
kembali....” Belum selesai kalimat I Mattappa, I Patimasang sudah menghambur ke
pelukan lelaki itu, air matanya tertumpah.
“Sabbara’ki, andi’. Sabarlah, ini semua
cobaan dari PatotoE.” I Mattappa mencoba menenangkan. I Patimasang melepaskan
dekapannya, isak lirih masih terdengar dari bibirnya.
“Saya tak bisa
lama, pesan Petta Dulung harus segera sampai ke tangan Petta PonggawaE di
Lalengbata. Belanda akan menyerang BajoE, dua hari ke depan. Jaga dirimu,
Andi’.”
“Jangan lupa
kembali Daeng, hanya engkau satu-satunya harapanku sekarang.”
“Teaki’ pettu paddennuang, andi’. Jangan
patah semangat.” Sebelum beranjak menuju pintu, I Mattappa mengecup kening I
Patimasang.
Mengiringi
derap kaki kuda I Mattappa yang kian menjauh, I Patimasang menatap punggunnya
dengan tatapan nanar, mulutnya bersenandung lirih.
“Ooooooo mate colli’, mate colli’ni waruE....”
Cerpen ini dimuat di Harian Fajar, Ahad (06 Maret 2016)
Tags:
Cerita Pendek