[15.03.2015] Baiklah,
untuk menjawab rasa penasaranmu, akan aku tuturkan[1] padamu Nak, mengapa diriku
begitu suka mendendangkan lagu ini, saat mencoba menidurkanmu di bahuku, atau sementara mengayunmu. Aku rasa,
ini adalah saat yang tepat untuk bertutur, tepat ketika air tercurah menjadi
tuturan[2] di pagi hari, dan tak ada
alasan bagiku untuk keluar rumah.
Entah siapa
yang menciptakan lagu ini, serta siapa yang menyanyikannya pertamakali. Tak ada
yang tahu, akupun begitu. Lagu yang kemudian diberi nama Ongkona Bone ini,
dikira dinyanyikan sejak tahun 1905, tepatnya ketika terjadi peristiwa Rumpa’na
Bone, akhir Juli 1905.
Kau
tahu, Nak? Akhir Juli 1905 menjadi pembuktian bahwa orang Bone bukanlah manusia
bernyali kecut[5].
Kolonel Van Loenen, Panglima Tentara Ekspedisi Hindia Belanda itu mengultimatum
Batara Tungke’na Bone, La Pawawoi Karaeng Sigeri, Bone tak menyerah, Nak. Bukannya
menyerah, di bawah kepemimpinan Petta PonggawaE, Andi Abdul Hamid Baso
Pagilingi, rakyat Bone berjuang hingga akhir.
Kala
itu, Petta PonggawaE mengucapkan osong
pakkanna[6]
yang terkenal menginspirasi wija to Bone hingga hari ini:
Itawa
mai ponratu allingereng mangkau’ku, tellui sia kutoddo’ puli tellara’: ata
memengnga’ ri Bone; tajajiangnga’ ri peri-nyamenna Bone; ta alasikka’ mangkau’
ri tengnga padang, mewai sipobali lapute mata Balandae, patokkongngi sorong
pessinna Bone. Rekko napasoroka’ lapute mata balandae ri alauna lona, inang
kupasang-manenni sampu’ pute mallonjo’ku kupaddengngi-i sunge’ku mattekka ri
pammassareng.
Pandanglah kemari, hai
junjunganku, tiga peganganku yang takkan goyah: aku adalah abdi Tanah Bone; aku
dilahirkan dalam suka-dukanya Bone; aku diangkat menjadi panglima perang
menghadapi Si Putih Mata, Belanda, menegakkan kehormatan Bone. Apabila aku
dipukul mundur oleh Si Putih Mata, Belanda, sudah kulilitkan kafanku sejak
semula, kusiapkan sukmaku menyeberang ke alam baka.
Saksikanlah
Nak. Semangat sedemikian itulah yang membaluri segenap kata yang saling berkait
dan berkelindan dalam ‘Ongkona Bone’. Seumpama akar Kait-kait[7] mencengkeram bumi,
begitulah lagu ini menyulam semangat perlawanan orang Bone terhadap musuh
kemanusiaan: kolonialisme.
Lebih
menarik lagi, waima[8]
belum ada penelitian yang secara serius mengungkap hal ini, namun masyarakat
Bone meyakini bahwa lagu ini dinyanyikan oleh para wanita, ya para wanita. Kenapa
para wanita? Seperti kata M. Aan Mansyur dalam novel anyar[9]-nya, Lelaki Terakhir yang
Menangis di Bumi (Gagas Media, Jakarta
Selatan: 2015, hal. 3), masa depan terbaik bagi orang Bugis, adalah rahim
ibu mereka. Fungsi menjaga asa dan mewariskan semangat sumange’ tea lara’[10], diamanahkan kepada kaum
wanita.
Maka ketika
para lelaki Bone berjibaku[11] menahan gempuran pasukan
Belanda di sepanjang pantai timur Bone, seperti yang aku ceritakan padamu dalam
cerpenku ‘Bara di Ujung Pattiro’, dan lebih sengit lagi di BajoE, para wanita
menjaga garis belakang pertahanan sambil mendendangkan lagu ini, bukan sebagai
lagu, tetapi sebagai mantra penghalau rasa takut.
Dengan
semangat itu pulalah, setiap kali kantuk menghampirimu ketika kau kugendong
atau kuayun, aku mengurapi[12] jiwamu dengan mantra yang
sama. Agar kau menyadari, lelapmu khusyuk[13] memeluk kenangan dalam
dekap rahim ibu. Di pagi berhujan ini, mari Nak, kita rapal-lafalkan bersama
mantra suci ini.
O… Mate
colli, mate colli’ni warue
O...
Mati pucuk, mati pucuk si pohon waru[14]
Ritoto
baja-baja, alla, ritoto baja-baja
Dipangkas
dibersihkan, duhai, dipangkas dibersihkan
Nariala
kembongeng
Diambil,
dijadikan kembongeng[15]
O…
Macilaka, macilakani kembongeng
O...
Celaka, celaka si kembongen
Nappai
ribala-bala, alla, nappai ribala-bala
Barusaja
diraut-dibentuk, duhai, barusaja diraut-dibentuk
Namate
puangna
(sudah)
meninggal tuannya
O…
Taroni mate, taroni mate puangna
O...
Biarlah meninggal, biarlah meninggal tuannya
Iyapa
upettu rennu, alla, iyapa upettu rennu
Barulah
aku berputus harapan, duhai, Barulah aku berputus harapan
Kusapupi
mesana
Bila
(telah) kuelus nisannya
Nak,
jangan mengira bahwa ketika aku mengabarkan padamu tentang cerita masalalu, aku
mengajakmu untuk meratapi kenangan, tidak, sama sekali tidak! Sesungguhnya, dengan
itu, aku membawamu menjangkau masadepan. Kau tahu, Nak? M. Aan Mansyur melalui novelnya juga mengingatkanku, “Jika melihat
orang Bugis sering membicarakan masalalu mereka. Sesungguhnya, mereka tidak
sedang mengenang. Mereka sedang membayang-bayangkan masadepan mereka.”
Mengapa
demikian? Sebab orang Bugis itu manusia yang unik, Nak. Mereka menggunakan kata
yang sama untuk menggambarkan masalalu (dimensi waktu) dan di depan (dimensi
ruang): ri-olo. Begitupun dengan kata
ri-munri yang bermakna di belakang (dimensi
ruang) dan masadepan (dimensi waktu) sekaligus.
Maka,
ketika kita terpukau mengenangkan masalalu (ri-olo
dalam dimensi waktu), maka sesungguhnya kita sedang berikhtiar untuk menjadi
yang terdepan (ri-olo dalam dimensi
ruang). Begitupun saat kita terpikat mendaras soal ketertinggalan (ri-munri dalam dimensi ruang), sejatinya
kita lagi menggagas pasal masadepan (ri-munri
dalam dimensi waktu).
Tapi
sudahlah Nak, nampaknya ini percakapan yang masih pelik buatmu, mending kita menikmati
lagu ini, tentu dengan vokal yang lebih merdu dari suaraku, bisa kau dengar
langsung atau unduh di tautan ini: Ongkona Bone. Namun bila kau memiliki selera
musik instrumentalia, juga sudah bisa diunduh di tautan yang ini: Ongkona Bone Instrumentalia.
[1] ucapkan;
lafalkan; sebutkan
[2] cucuran atap
[3] mendidih dan
melimpah
[4] tiada
terbilang (banyak sekali)
[5] takut; merasa ngeri; gentar; berdebar-debar hatinya
[6] ikrar
pejuang
[7] tumbuhan (akar-akaran)
merambat yg batangnya berduri
[8] walaupun
[9] baru
[10] Keyakinan
yang kukuh
[11] bertindak nekad
[12] mengolesi; melumasi
[13] penuh penyerahan dan kebulatan hati; sungguh-sungguh; penuh kerendahan hati
[14] waru:
Kubba (bhs. Bugis)
[15] kembongeng:
penggulung rambut dari kulit pohon waru