[20.03.2016] Beberapa hari yang lewat, tepatnya rabu (16 Maret 2016),
aku memasang tautan sebuah lagu bugis di laman facebook, judulnya Malaweng. Aku
memberinya pengantar ringkas, Samakku'
sedding marenne'[1].
Aku menautkan lagu ini didasari oleh kesukaanku pada musiknya, lagu ini
diiringi dengan instrumen gitar yang dipetik ala stambul[2]
atau musiq losquin bugis[3].
Jujur saja, aku tak memerhatikan syairnya, bahkan aku tak mengerti lagu ini
tentang apa.
Berikut ini aku tampilkan syair lagu Malaweng yang
diciptakan oleh Mursalim, S.Pd., M.Si.[4],
Alla masea-seana tuwo ri lino 2x
Duhai betapa sia-sia hidupnya di dunia
Tanengngi bunga pute lajo unganna 2x
Dia tanam bunga putih[5], putiknya mengering
Alla masea-seana tuwo ri lino 2x
Duhai betapa sia-sia hidupnya di dunia
Tabba paddenring bola nairing anging 2x
Tabba[6] sebagai dinding rumahnya dihempas angin
Sussana nyawamu sussana nyawaku 2x
Gelisah jiwamu, gelisah jiwaku
Sarana atimmu sarana atikku 2x
Galaunya hatimu, galaunya hatiku
Toddo puli ulaweng bali salaka 2x
Kunci mati dengan emas, dikancing dengan
perak[7]
Naiyya to malawengnge sapa tanai 2x
Mereka yang malaweng, wabah bagi negeri
Nariladung na sia alauna Pallette 2x
Dilarung saja di pantai timurnya Pallete
Mendengar lagu ini, aku seperti dibawa ke sebuah suasana
yang demikian pedih, seakan ada luka hasil irisan[8]
sembilu, irisku[9]
basah oleh airmata. Perhatianku pada kata-kata di lagu tersebut, dipicu oleh
seorang kawan, Maelo toa sedding marenne'
kak, nekia maega de'kuissengngi kasi'na aga massu'na[10].
Celoteh itu menyentak, akupun demikian, lagu itu tak kutahu tentang apa.
Sebagai jawaban atas rasa penasaran yang mendera, aku
bertanya ke beberapa orang dan mencoba mencari melalui mesin pencari dengan
kata kunci: malaweng. Setelah
beberapa informasi kuserap, kuberanikan diri menulis catatan ini sebagai
sebentuk upaya mengikat pemahaman dan ikhtiar berbagi kesadaran dengan harapan,
semoga terjadi dialektika yang memperluas cakupan spiral pemahaman kita akan
konsep ini.
Rupanya, malaweng
adalah kosa kata yang digunakan untuk mewakili konsep orang Bugis tentang
tindakan yang berlebihan, tidak terpuji, memalukan dan berimplikasi
tercorengnya siri' seseorang. Mereka
yang melakukan tindakan malaweng, digelari to
malaweng, sebuah label sosial berkonotasi negatif, dan tak jarang
berimplikasi secara hukum adat.
Secara sederhana, tindakan malaweng dapat dikategorikan ke dalam tiga tingkatan:
a
Malaweng tingkat pertama adalah malaweng pakkita. Malaweng jenis ini berwujud tindakan tidak
terpuji dengan mata sebagai sarananya. Malaweng pakkita, misalnya: menatap
sinis pada orang lain, menatap penuh birahi pada yang bukan muhrim;
b
Malaweng tingkat kedua adalah malaweng ada-ada. Malaweng pada level ini termanifestasi melalui
kata-kata negatif, seperti: berkata sombong dan angkuh, mencaci maki, berbicara
jorok, dan mengumbar aib; dan
c
Malaweng tingkat ketiga adalah malaweng kedo-kedo. Malaweng tingkat ketiga ini terejawantah lewat
perbuatan, seperti: mencuri, membunuh serampangan, silariang, dan berhubungan
intim dengan saudara atau orang tua (inses).
Dari seluruh jenis malaweng, inses merupakan malaweng
yang paling berat hukumannya. Bahkan dalam berbagai literatur, label to
malaweng dilekatkan secara khusus kepada para pelaku inses, dan tidak kepada
pelaku malaweng jenis lain. Bagi orang bugis, inses adalah perbuatan yang nateai dewata seuwae, naposiri tau maegae[11].
Masyarakat bugis juga meyakini bahwa to malaweng adalah sapa tana[12],
yang akan papolei abala ri wanuae[13].
Sebagai wabah, to malaweng akan berimplikasi: tepparanru raung kaju[14],
teppalorongngi welareng[15],
mabelai gare' bosie[16],
teppatuwo taneng-taneng[17],
dan teppajaji nawa-nawa[18].
Saking mengerikannya efek kejadian malaweng jenis inses
di dalam sebuah negeri, maka hukum adat tak memberi toleransi bagi para to
malaweng. Sebuah idiom yang digunakan
dalam lagu dimaksud untuk menggambarkan ketegasan penegakan hukum bagi to
malaweng adalah, toddo’ puli ulaweng bali
salaka[19].
Para pelaku inses diganjar dengan hukuman riladung ri tasi'[20].
Di Bone, kawasan yang disiapkan untuk melarung to malaweng adalah tanjung
Pallette. Tepatnya, sekira tiga kilometer ke arah timur dari garis pantai. Bahkan,
dalam hikayat disebutkan bahwa pernah ada seorang ana’ pattola[21]
yang riladung ri alauna Pallette[22].
Hari ini, masih adakah orang tua to ugi yang menasehatkan anaknya agar menghindari perbuatan malaweng? Jangankan memahami maknanya,
mendengar kata malaweng-pun mungkin
sudah jarang bagi generasi bugis kontemporer. Maka tulisan ini semoga bisa menjadi
pengingat bagiku agar tak lalai dari mengingatkan anak-anakku, agar menjauhi malaweng. Aja’ mumalaweng, Ana’. Nasaba
iyatu malawengnge sapa tanai, nateai
dewata seuwae, naposiri tau maegae.
nb: foto dicomot dari http://diskusi-lepas.blogspot.co.id
[1] aku seperti
tumbang (karena sedih)
[2] http://reviewmusik.com/mengenal-musik-stambul/
[3] https://id.wikipedia.org/wiki/Keroncong
[4] aktivis
Lembaga Kebudayaan Teluk Bone
[5] melati
[6] dinding
dari anyaman kulit pelepah daun sagu atau bambu
[7] idiom
yang menunjukkan ketatnya hukum adat soal malaweng, terutama inses
[8] iris: penggal kecil; kerat; potong
[9] iris: selaput bola mata yg ada di belakang kornea mata,
membentuk batas pupil yg memberikan warna khusus; selaput pelangi
[10] saya
juga seperti hampir tumbang (karena sedih), kak. Tapi banyak yang tak saya
mengerti maksudnya
[11] sangat dibenci oleh Tuhan, sangat memalukan
bagi seorang manusia
[12] wabah bagi tanah air
[13] mengundang bala bagi negeri
[14] pepohonan meranggas
[15] Welareng tak menjalar
[16] hujan menjauh
[17] tanaman tak tumbuh
[18] asa tak tercapai
[19] kunci mati dengan emas, dikancing dengan
perak
[20] dilarung di laut
[21] putra mahkota
[22] dilarung di timurnya PallettE
Tags:
Budaya