[30.03.2016] Subuh ini, salat-ku terasa lebih damai.
Sebabnya sederhana, hanya karena langgam bacaan imam-nya terasa akrab di
telinga. Bila subuh-subuh sebelumnya, yang jadi imam adalah anak muda yang
mungkin usianya lebih muda dariku, maka pada subuh kali ini, yang jadi imam
adalah seorang lelaki paruh baya dengan badan yang tambun.
Bila yang jadi imam adalah yang anak
muda, meskipun berganti orang –ada
beberapa anak muda yang tinggal di masjid, maka bias dipastikan langgam
bacaan salat-nya tak jauh beda dengan langgam yang digunakan imam Masjid
al-Haram di tanah suci Makkah.
Tapi subuh tadi berbeda, langgamnya
menggunakan gaya para imam kampung yang sering aku dengar semasa kecil hingga
remaja. Dengan cengkok yang dipengaruhi oleh logat berbahasa bugis, justru
membuat aku lebih damai menjalani salat subuhku.
Padahal dari segi fiqh, seharusnya aku
merasa damai bila anak muda yang jadi imam, karena bacaannya jauh dari keliru,
ayat-ayat yang dibaca lumayan panjang dengan panjang pendek yang pas. Bila imam
gaya kampong, makhrajal hurufnya belepotan, bacaannya pun seperti kumur-kumur.
Secara fisiologis, tubuhku bereaksi
negatif mendengar bacaan yang sangat fasih, mungkin ini efek pembelaan diri
atas ketidakmampuan melagukan al-Quran seperti itu pula. Ragaku lebih santai bila langgamnya ala
kampung Bugis, merasa berada di habitat yang lebih karib.
Dan sepertinya, apa yang aku alami juga
dialami oleh beberapa jamaah yang lain, meski dari dimensi yang berbeda.
Beberapa waktu yang lalu, ketika iqamat sudah dikumandangkan, imam sudah siap
takbir, tiba-tiba seorang jamaah yang sudah beruban, meninggalkan barisan dan
bergumam, “Imam kok tidak pakai songkok...”. Untung saja dia tidak mendirikan
jamaah sendiri, cuma pindah ke ujung shaf.
Begitu salat magrib usai ditunaikan,
imam yang tidak pakai songkok tadi, berdiri untuk membacakan beberapa hadis
nabi tentang ahlak, anak muda itu menekankan soal kesahihan hadis yang
dibacanya. Beberapa jamaah seperti cacing kepanasan, gelisah entah kenapa.
Rupanya, keresahan atas tingkah para
imam muda itu menggumpal. Begitu jamaah bubar satu persatu, seorang jamaah
senior memanggil sang imam lalu menengur, “Kalau mau baca hadis, tunggu sampai
jamaah selesai berdoa! Terus itu lagi, kalau jadi imam, ya pakai songkok dong!”
Si Imam hanya terdiam.
Besoknya, tampilan si imam sudah lengkap dengan songkok, dan dia tak lagi
baca hadis seusai salam. Namun seusai doa-pun tak lagi ada pembacaan hadis,
apakah dia ngambek? Entahlah. Semoga saja tidak. Tadi subuh, bukan hanya tak
baca hadis, tapi dia memilih jadi makmum.
Kembali ke soal rasa damaiku karena mendengar bacaan imam yang langgamnya
akrab dengan masa kecilku, ini seperti sebentuk kerinduan pada masalalu, pada
asal, pada akar, seperti kerinduang seruling cinta Jalaluddin Rumi dalam
Matsnawi[1],
pada pohon pangkal semula.
Dengar
lagu seruling bambu menyampaikan kisah pilu perpisahan
Tuturnya,
“Sejak daku tercerai dari indukku rumpun bambu,
Ratapku
membuat lelaki dan wanita mengaduh.
Kuingin
sebuah dada koyak disebabkan perpisahan
Dengan
itu dapat kupaparkan kepiluan berahi cinta.
Setiap
orang yang berada jauh dari tempat asalnya
Akan
rindu untuk kembali dan bersatu semula dengan asalnya.
Ah sudahlah, tulisan apa pula ini yang melantur sedemikian lindur? Beranjak
dari soal bacaan imam di salat subuh dan berakhir di penggalan puisi Rumi? Ah, pikiran
kalut kian sengkarut, mengurai masai yang berburai.
Sumber ilustrasi: Rumah Sedekah
[1]
Terjemahan Abdul Hadi W. M.
Terjemahan ini didasarkan pada naskah tertua yang
diterbitkan oleh R. A. Nicholson beserta terjemahannya dalam bahasa Inggris.