[31.03.2016] Tak ada yang memungkiri
bahwa pemuda merupakan aset besar bagi umat dan bangsa. Mengapa demikian? Karena
di pundak pemudalah masa depan itu dititipkan. Rusak dan cemerlangnya masa
depan, tergantung seperti apa persiapan para pemuda untuk menyongsongnya.
Bila pemudanya
loyo, dijamin masa depan akan kedodoran. Namun bila pemuda bermodalkan
progresivitas dan kreativitas, maka itu menjadi garansi bagi masa depan yang
lebih baik. Olehnya itu, proses pembinaan dan pencerahan terhadap para pemuda
tentu patut dilakukan dengan serius.
Dalam al-Quran,
Allah mengenalkan para pemuda Kahfi sebagai salah satu kelompok pemuda ideal menurutNya.
Bahkan, nama mereka diabadikan menjadi salah satu satu nama surah di dalam al-Quran,
surah ke-18.
Pemuda Kahfi
setidaknya memiliki tiga kualitas yang membuatnya menjadi idealitas bagi para
pemuda yang dicintai Allah, yaitu: (1) beriman kepada Allah; (2) ditambahkan
petunjuk Allah atasnya; dan (3) diteguhkan hatinya oleh Allah. Hal ini
diceritakan dalam surah al-Kahfi ayat 13 dan 14.
Salah satu
kunci untuk mencapai kualitas pemuda Kahfi adalah senantiasa berdoa kepada
Allah. Adapun doa pemuda Kahfi yang masyhur itu adalah, “rabbanaa atinaa
minladunka rahmatan wa hayyi’lanaa min amrinaa rasyadaa (Wahai Tuhan kami, berikanlah
rahmat kepada kami dari sisiMu, dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang
lurus dalam urusan kami)” (Q.S. 18:10).
Mereka
senantiasa bermohon untuk diberi rahmat dan diberi petunjuk, bukan malah
menunjukkan kesombongan atas banyaknya bacaan dan luasnya wawasan yang
dikuasai. Sebab, apalah guna pengetahuan yang tepermanai, namun tak bisa
menjadi petunjuk yang lurus.
Dalam
konteks ini, ada satu penyakit yang perlu mendapat perhatian khusus dalam
proses pemberdayaan pemuda, yaitu penyakit ummiyah.
Kata ini mengacu kepada salahsatu ayat dalam al-Quran, “Dan di antara mereka
ada yang ummiyun, tidak mengenal al-Kitab, kecuali dongengan belaka dan mereka
hanya menduga-duga” (Q.S. 2:78).
Ummiyah
dapat diartikan tidak mampu baca tulis atau buta huruf, pun bermakna bodoh,
jahil, dan penh prasangka. Ibnu Abbas menafsirkkan ummiyun dari ayat di atas sebagai “tindakan membaca tetapi tidak
memahami.” Termasuk dalam konteks mencapai kualitas pemuda ideal menurut Allah,
kita terkadang lalai meneladani para pemuda Kahfi.
Kisahnya
didedah, namun sebatas suara yang beranjak keluar dari tenggorokan dan mampir
sekejap di telinga, lalu terlupa. Kita adalah generasi yang mengidap ummiyah, membaca tetapi tidak memahami,
mendengar tetapi tidak menghayati, mengerti namun tak mengamalkan.
Mengapa
demikian? Karena mereka yang ummiyun hanya
menganggap kabar dan informasi dalam Kitab yang diturunkan Allah, tak lebih
dari sekedar dongeng, dan mereka hanya memahaminya melalui dugaan. Karena itu
tak melampaui angan-angan, maka pemuda hari ini gagal mengambil pelajaran.
Allah
lagi-lagi mengingatkan, “Dan apabila dibacakan pada mereka ayat-ayat kami,
mereka berkata: Sesungguhnya kami telah mendengar (ayat-ayat yang seperti ini),
kalau kami menghendaki niscaya kami dapat membacakan yang seperti ini,
(al-Quran) ini tidak lain hanyalah dongeng-dongen orang terdahulu” (Q.S. 8:31).
Dalam
tafsir Ibnu Katsir, dikisahkan tentang seorang intelektual Arab yang menjadi
asbab turunnya ayat di atas, Nadzar bin Haris namanya. Sebelum masa kenabian, Nadzar
telah berangkat ke Persia untuk mempelajari kesusastraan, sistem pemerintahan
dan administrasi Persia. Ketika Nadzar kembali ke Makkah, Muhammad saw telah
diangkat menjadi rasul.
Nadzar
rajin mengikuti majelis Rasul, namun setiap Rasul selesai membaca dan menjelaskan
ayat al-Quran, Nadzar akan berkomentar sinis, “Kami mengetahui hal yang seperti
itu, karena hal itu tidak lebih dari sekedar legenda.” Setelah itu Nadzar akan
menceritakan pelajarannya selama di Persia dengan bangga, lalu bertanya, “Siapa
yang lebih ilmiah analisis dan uraiannya, aku atau Muhammad?”
Sayhdan,
dalam perang Badr Kubra, Nadzar bin Haris tertawan oleh pasukan Miqdad bin
Aswat. Meskipun ketika di masa damai, nabi seakan tak acuh terhadap perilaku
Nadzar, namun di dalam perang, nabi dengan tegas memerintahkan agar Nadzar
bin Haris tak diberi ampun, dibunuh.
Saudaraku,
mari kita meneladani pemuda Kahfi, hindari sifat ummiyah, jauhkan diri dari karakter Nadzar bin Haris. Bekali diri
dengan pemahaman yang utuh tentang Kitab yang diwahyukan Allah, dan jangan lupa
untuk senantiasa berdoa, “rabbanaa atinaa minladunka rahmatan wa hayyi’lanaa
min amrinaa rasyadaa...”
* Tulisan ini berutang informasi pada Abdul
Razakdalam artikelnya yang berjudul Kondisi Umat Islam Kontemporer, dimuat pada
Majalah Media Dakwah Nomor 229, Muharram 1414 / Juli 1993.
** sumber ilustrasi: dakwatuna.com