[20.06.2016] Tersebutlah kisah sepasang pengantin baru yang mencoba hidup mandiri.
Mereka memilih pindah ke sebuah rumah baru, yang mereka sewa pada perumahan
baru di pinggiran kota yang juga baru.
Pada senin pagi di hari pertama, mereka
sarapan kopi dan roti bakar yang mereka siapkan bersama. Sambil menyesap kopi,
mata si istri mengerling ke tetangga sebelah melalui jendela.
“Daeng, coba lihat tetangga sebelah,
kayaknya dia tidak pengalaman mencuci, kok cuciannya tetap kotor begitu?”
Komentar si istri.
“Atau jangan-jangan sabunnya yang tidak
bagus ya?” Lanjutnya.
Mendengar celoteh istrinya, si suami
hanya tersenyum sambil mengikuti arah pandangan istrinya. Tak ada komentar yang
keluar dari mulutnya, hanya senyum yang terukir di sela kunyahan. Dia terlihat
menikmati roti bakarnya yang sedikit gosong.
Sampai berangkat kerja, suaminya tak
berkomentar apa-apa soal cucian tetangga. Sambil membereskan bekas sarapan, si
istri masih sempat mengerling sekali lagi ke cucian tetangga. Setelah itu, dia
menyusul naik ke boncengan suaminya untuk ke kantor.
Kejadian serupa berulang sampai jumat
pagi. Bahkan di hari itu, si istri menambah komentarnya.
“Besok, saya mau kunjungi deh, sekalian silaturrahim.”
“Bagus itu Ndi’, apalagi kita orang baru
di sini, perlu memang silaturrahim.” Timpal suaminya.
“Sekalian siapa tahu saya bisa berbagi
cara mencuci, atau bertukar informasi soal merek sabun cuci.” Lanjut si istri.
“Mmmm…” Gumam suaminya.
Sabtu pagi, ketika mereka sarapan,
istrinya kaget ketika mengerling ke arah jemuran tetangga.
“Wah, cuciannya sudah bersih, Daeng.”
Serunya.
“Oh ya?” Komentar suaminya tak acuh.
“Iya, coba perhatikan. Sepertinya dia sudah
belajar mencuci, atau dia mengganti merek sabun cucinya?” Lanjut istrinya.
“Atau bagaimana menurut Daeng?” Sambil
menepuk lengan suaminya yang sepertinya kurang peduli.
Melihat reaksi istrinya yang seperti
agak jengkel merasa dicueki, si suami menandaskan kopinya, tersenyum, lalu
berseru pelan.
“Sebenarnya Ndi’, tetangga kita tidak
melakukan apa-apa, seperti memperbaiki caranya mencuci, atau mengganti merek
sabun cucinya.” Terang suaminya.
“Lalu kenapa bisa tiba-tiba hari ini
cuciannya berbeda? Atau jangan-jangan rumah itu berganti penghuni?” Istrinya
mencecar.
Dengan tenang, suaminya menjelaskan.
“Andi’, tidak begitu. Sebenarnya, selama
beberapa hari kita melihat cucian tetangga itu kotor, karena kaca jendela kitalah yang kotor. Nah, tadi setelah salat subuh, saya membersihkan jendela itu. Maka
sekarang, kita bisa melihat cucian tetangga kita melalui kaca jendela yang
bersih.”
Mendengar itu, istrinya diam terpekur.
* *
*
Kaca jendela yang kotor sebagaimana dalam kisah di atas,
merupakan ibarat bagi hati yang kotor.
Terkadang kita meresa dizolimi, diperlakukan tidak adil, bukan
karena kita memang dizolimi dan diperlakukan tidak adil, tapi karena hati kita
sedang berdebu. Seringkali timbul iri hati, dengki jiwa dan semacamnya, itu
bukan karena orang itu pantas didengki, tapi hati kita yang tersaput pekat.
Hati adalah pintu bagi cahaya ilmu. Allah menegaskan dalam Al
Quran surah An Nahl (16) ayat 78, “Dan
Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui
sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu
bersyukur.”
Hatilah yang menuntun kita untuk bisa melihat tebaran rahmat
di sekeliling kita. Hatilah yang menjadi pemantik cahaya ilmu. Dengannya kita menyadari
segenap kebaikan Allah, melaluinya kita bersyukur.
Mereka yang membiarkan hatinya tertutup debu, dan membimbing
hatinya dalam kekufuran, akan kehilangan kejernihan pandangan dan kesulitan
mencandra kesunyatan. Mereka tak layak disebut manusia.
Allah menegaskan dalam Al Quran surah Al A’raf (07) ayat 179,
“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi
neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi
tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah)…... Mereka itu sebagai
binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang
lalai.”
Maka mari bersihkan hati.