[22.06.2016] Tersebutlah dua orang Nasrani yang
terdampar di sebuah gurun. Yang satu bernama George, yang satunya lagi dikenal
sebagai Michael. Keduanya berjalan tertatih membawa diri, tanpa bekal dan tanpa
arah. Ibarat kata, seperti pelita yang minyaknya tinggal setitik.
Mereka
telah berjalan sepenggal hari, terpanggang di bawah terik yang menyengat.
Kelaparan tak segan menghantar mereka ke tepi maut. Tak ada sesiapa tempat menambat
harap dan menautkan asa.
Di
ujung optimisme yang tersisa, tiba-tiba, mereka melihat ada mata air dan ada
sebuah masjid di tengahnya. Bukan
halusinasi, pun bukan impian hampa, ini nyata.
George
yang lebih dahulu melihat itu, berteriak kegirangan.
"Puji
Tuhan, kasihMu sungguh tak terperi..."
"Tapi,
tidakkah kau lihat? Itu milik orang islam!" Timpal Michael, membuat George
terpekur.
"Hei,
aku punya ide, bagaimana kalau kita berpura-pura menjadi seorang muslim?"
Usul Michael.
"Kenapa
harus begitu?"
"Bukankah
hubungan kita dengan mereka kurang harmonis? Bisa-bisa, mereka akan mengusir
kita." Analisis Michael tak mendapat respons dari George.
"Begini
saja, saya akan mengganti nama saya jadi Muhammad, bagaimana denganmu?"
Michael kembali melontar ide. Namun George punya pemikiran lain, dia tidak mau
mengganti namanya dan enggan berpura-pura menjadi Muslim.
"Nama
saya George, dan saya tidak mau berpura-pura jadi orang lain. Saya tetap George!"
Tegasnya.
Ketika
tiba di pelataran masjid, seorang lelaki tua dengan pandangan teduh, menyambut
mereka dengan hangat. Lelaki tua itu adalah sang imam masjid. Mereka disambut
dengan baik, penuh keramahan dan rasa
persaudaraan.
"Kalau
boleh tahu, siapakah nama ananda berdua?" Tanya sang imam, lembut.
"Saya
Muhammad, ya syekh." Michael mengenalkan diri dengan nama palsunya.
"Kalau
saya, George, Bapa." Seru George mantap.
"Beristirahatlah
di tempat ini, nampaknya ananda berdua, dalam perjalanan jauh." Kata sang
imam.
Tak
lama, sang imam memanggil seorang anak muda yang melintas di dekat mereka.
Nampaknya anak muda itu adalah marbut masjid.
"Nak,
tolong bawakan makanan dan minuman untuk George ya, sepertinya dia haus dan
lapar."
Mendengar
itu, mata Michael berbinar. Tapi ternyata, namanya tak kunjung disebut, hanya
George.
Hingga
anak muda itu datang membawa nampan berisi makanan dan minuman bagi George, tak
ada tanda-tanda bahwa Michael juga akan diperlakukan sama. Maka dia melemparkan
tatapan penuh tandatanya kepada sang imam.
Dengan
senyum termanisnya, sang imam berseru lembut.
"Ananda
Muhammad, mudah-mudahan engkau masih ingat, kalau sekarang lagi bulan ramadan."
Michael
mengangguk lemas, lalu menekuk muka dengan senyum terkecut yang bisa dia
lakukan. Sementara itu, George mulai menikmati makanannya dengan gembira.
"Maafkan,
saya tak bermaksud mengganggu puasa Bapa dan saudaraku Muhammad." George
melirik Michael dengan senyum kemenangan.
* * *
Saudaraku,
dalam hidup ini, terkadang kita dihadapkan pada soal yang ditemui oleh Michael
dan George. Langkah kita terbentur pada sebuah ganjalan, kita berhadapan pada
dilema, dan tak ada jalan ketiga, kita harus memilih salah satu kemungkinan yang
ada.
Kita
memilih tak mengungkap kebenaran dengan harapan bisa melompati ganjalan dengan
aman, ataukah kita menjadi sedikit naif, konsisten menunjukkan kepolosan dengan
tulus, disertai asa bahwa keajaiban akan selalu menemukan jalan untuk memainkan
perannya dengan cara yang seringkali tak terduga.
Kita
melihat, Michael memilih cara pertama, sementara George memilih untuk berbeda. Meskipun
demikian, kita tak melulu harus menjadi Michael,
ataupun menjadi George. Sebab keberuntungan bukanlah hasil akhir dari sebuah
upaya linear, terkadang, dia hadir dari anomali.
Pilihan
ini bukan soal benar - salah yang seringkali disederhanakan menjadi pilihan
hitam atau putih, sekali lagi bukan. Pun bukan perkara etis dan tidak etis,
atau bermoral dengan amoral, lagi-lagi bukan. Ini perkara yang sedikit pelik,
namun sederhana sekaligus.
Ini
perkara kemampuan mengikuti nurani, kemampuan kita mendekap sunyi dan menangkap
geletar halus kata hati. Anda memilih
menjadi Michael, ataukah berperan sebagai George, bukan soal, sepanjang kita
ikhlas menerima apapun hasil dari pilihan yang kita buat.
Tags:
Refleksi