[25.06.2016] Tak
ada yang meragukan kapasitas Tjokroaminoto sebagai seorang tokoh pergerakan
nasional, bahkan tokoh sekaliber Soekarno dan Hamka menempatkan Tjokroaminoto
sebagai guru dan panutan mereka dalam pemikiran dan pergerakan.
Selain
aktivis, Tjokroaminoto juga dikenal sebagai wartawan dan penulis yang kritis.
Tak kurang dari puluhan terbitan pernah dia dirikan, pimpin dan kelola.
Tjokroaminoto juga menerbitkan beberapa karya tulis dalam bentuk buku yang
masih menjadi pegangan para aktivis hingga hari ini.
Sebutlah
misalnya Islam dan Sosialisme (1924), Program Asas dan Program Tandhim Partai
Sarekat Islam Indonesia (1930), Tarich Agama Islam, Riwayat dan Pemandangan
atas Kehidupan dan Perjalanan Nabi Muhammad (1931), dan Reglemen Umum Bagi
Ummat Islam (1934).
Namun
di antara sekian banyak karya tulis dalam bentuk buku dan artikel, karya
Tjokroaminoto yang memuat secara lugas –meski
singkat– pandangannya terhadap kita suci umat Islam, al Quran, adalah Program
Asas dan Program Tandhim Partai Sarekat Islam Indonesia.
Dalam
risalah tersebut, Tjokroaminoto menempatkan sebuah bab tambahan di awal risalah
di bawah tajuk, Peringatan Umum. Bab ini berisi tiga sub bagian: Tentang Quran,
Kecukupan Quran Suci, dan Isi Quran Suci.
Menurut
Tjokroaminoto, Allah menurunkan al Quran sebagai kitab suci yang penghabisan, tersebab
ketidaksucian kitab-kitab sebelumnya. “Ia diturunkan pada ketika di dunia tidak
ada lagi Kitab Suci yang tetap di dalam kesuciannya yang semula.”
Dalam
analisanya, setidaknya ada dua hal yang menyebabkan kitab-kitab suci terdahulu
diganti oleh Allah dengan al Quran. Pertama, karena ada kitab suci yang
setengahnya sudah lenyap sama sekali; Kedua, ada kitab suci yang menjadi kotor
karena perubahan-perubahan bikinan manusia.
Kedua
hal ini, selain menjadi latar turunnya al Quran, pun menjadi sebab mengapa umat
terdahulu dan pemeluk-pemeluk agama lainnya muncul berbagai fiqrah (sekte) yang
berselisih bukan hanya pada urusan cabang agama, melainkan sampai pada soalan
pokok.
Islam,
menurut Tjokroaminoto, meskipun tetap ada perselisihan akibat jumlah umat Islam
yang besar, namun itu hanya pada level furu’ (cabang). “Sekalian kaum Muslimin
yang beratus juta orang banyaknya tersiar di seluruh muka bumi, itu semuanya
berpegang kepada aqidah yang serupa saja.” Tulisnya.
Hal
ini merupakan buah dari al Quran yang mengajarkan aqidah yang satu: Laa ilaaha illaa Allah. Kalimat ini
pulalah yang menginspirasi Tjokroaminoto menempatkan sebersih-bersih tauhid
sebagai salahsatu sandaran gerak perlawanannya.
Tulis
Tjokroaminoto, “Quran suci itu sudah cukup meliputi segala sesuatu yang menjadi
keperluan dan kebutuhan manusia.” Artinya, tauhid yang bersih, dan kehidupan
yang lurus akan bisa terjaga bila umat Islam membangun keyakinannya hanya
dengan berbasis al Quran.
Quran
itu, ‘sudah cukup menjadi asas-asasnya mengatur segala keperluan dan menjadi
pedoman untuk memenuhi kebutuhan lahir batin kita.... tidak perlu diganti
ataupun ditambah dengan segala sesuatu kitab suci yang lainnnya, dan dengan hal
yang demikian itu nabi Muhammad saw tetaplah nabi penutup jua adanya.”
Adapun
pusat perkara atau pembicaraan utama dalam al Quran bagi Tjokroaminoto adalah
soal keesaan Allah atau tauhid. Dari situlah diturunkan rupa-rupa qanun atau
sunnat thabi’at (hukum alam) yang meskipun bisa dijangkau oleh akal manusia,
namun ianya tetap sebagai manifestasi kemauan Allah semata.
Sebagai
kitab suci yang benar berasal dari Allah, al Quran “Haruslah memberi penerangan
kepada manusia tentang jalan-jalannya Allah dan harus memberi pengertian
tentang tanda-tanda kemauanNya.” Terang Tjokroaminoto pula.
Sebagai
upayanya mendorong umat Islam kian memahami al Quran sebagai pedoman hidup yang
sempurna, Tjokroaminoto melakukan penerjemahan terhadap tafsir Quran karya
Maulana Muhammad Ali, The Holy Quran: Arabic Text, Translation and Commutary ke
dalam bahasa Melayu.
Terjemahan
Tafsir Quran tulisan Tjokroaminoto yang dikerjakan sejak 1926 itu telah siap
cetak jilid I sampai dengan III yang berisi Juz ‘Amma saat Kongres SI tahun
1927. Namun karena Maulana Muhammad Ali adalah seorang Ahmadiyah, terjemahan
ini tidak berhasil terbit.
Penentangan
yang dilakukan oleh kubu Muhammadiyah –terutama
oleh Haji Rasul ayah dari Hamka– cukup keras, padahal K.H.Fachruddin dan
K.H. Mas Manyur –dua tokoh Muhammadiyah,
mendukung penerjemahan Tjokroaminoto dan Muhammadiyah aktif menyokong pendirian
Ahmadiyah di Yogyakarta 1925.
Mengatasi
soalan itu, Tjokroaminoto mendorong SI membentuk Majelis Ulama dalam kongresnya
di Kediri pada 27-30 September 1928. Majelis –tanpa kehadiran unsur Muhammadiah yang menolak bergabung,
membolehkan penerjemahan diteruskan dengan pengawasan Majelis.
Berkat
kegigihan Tjokrominoto, dan dukungan K.H. Agoes Salim yang mengatakan bahwa
tafsir inilah yang paling baik memberi kepuasan kepada pemuda-pemuda Indonesia
terpelajar, jilid I sampai III berhasil terbit tahun itu dengan judul Qoer’an Soetji, disertai Salinan dan
Keterangan dalam Bahasa Melajoe.
Fakta
ini mengajarkan setidaknya dua hal: pertama,
Tjokroaminoto membangun ideologi gerakannya yang bersandar pada sebersih-bersih
tauhid yang bersumber dari Quran yang suci; kedua,
Tjokroaminoto adalah tokoh umat yang progresif-revolusioner, namun juga
pluralis dan moderat, sikap yang langka pada pemimpin umat hari ini.
Tulisan ini dimuat di EDUNEWS.ID