Tjokroaminoto dan Masa Depan Islam Indonesia


Beberapa hari lalu, kita mengenang sebuah peristiwa bersejarah 100 tahun lewat. Kisah yang menempatkan Tjokroaminoto sebagai tokoh utamanya. Bandung, 17 Juni 1916, di depan peserta National Congress Centraal Sarekat Islam (Natico CSI) I, Tjokroaminoto berteriak lantang, “Zelfbestuur harus ada di Hindia!”

Zelfbestuur (pemerintahan sendiri) yang diidamkan Hoofdbestuur Sarekat Islam (SI) itu adalah pemerintahan yang berbasis Islam, namun tetap mengutamakan persatuan. “Seluruh lapisan masyarakat akan menuju ke arah dan bersama-sama memelihara kepentingan kita bersama, dengan tidak pandang bulu, bahasa, bangsa maupun agama.” Demikian pidatonya hari itu.

Tjokroaminoto, di tengah warga bangsa yang masih terlelap, dengan berani mengemukakan gagasan revolusioner berbasis ajaran Islam. Gagasan itu menurut Kapitsa & Maletin (2009 : 21), “...untuk membentuk masyarakat tanpa penghisapan oleh pihak asing, tanpa pajak ataupun kewajiban-kewajiban kerja paksa.”

Bahkan ketika keretakan dalam SI pada tahun 1921 dan SI Merah menjadi Partai Komunis Hindia, Tjokroaminoto tetap berupaya menjaga agar SI Putih tak kehilangan gagasan revolusionernya, dia menerbitkan Islam dan Sosialisme sebagai ideologi gerakannya pada tahun 1924.

Islam diinterpretasi sebagai sebentuk argumen kukuh untuk menelanjangi segala ketimpangan sosial yang diakibatkan oleh sistem politik kolonial. Islam tak hanya menjadi pedoman ritual, melainkan ditransformasi menjadi spirit pembangkangan dan inspirasi perlawanan mewujudkan kesetaraan dan kesejahteraan bersama.

Menariknya –menurut Nasihin (2012 : 149), meskipun menggunakan model pergerakan Sosialisme, namun sebagai sebagai organ bumiputera yang mengusung dasar kebangsaan di bawah panji-panji Islam, SI merumuskan sosialismenya dari ajaran Islam, bukan berbasis Marxisme.

Bagi Tjokroaminoto, perjuangan nilai-nilai kemanusiaan untuk keberlangsungan hidup sebagai sesama mahluk sosial di dunia, merupakan muara yang mempertemukan Islam dan sosialisme. Tersebab itulah, sosialisme bukan hal yang harus disingkirkan, sepanjang sosialisme itu berbasis pada Islam, agama anutan mayoritas bumiputera.

Menurut Kapitsa & Maletin (2009 : 21), Tjokroaminoto memahami betul bahwa bagi bangsa Indonesia, Islam merupakan suatu identitas nasional yang tidak bisa direbut oleh Belanda, Islam menjadi simbol kemerdekaan dan identitas pemersatu bagi rakyat yang 90% adalah Islam. Maka pilihan pada sosialisme Islam adalah strategi yang tepat.

Untuk mewujudkan gagasan islam revolusionernya, selain memperkenalkan konsepsi Sosialisme Islam, Tjokroaminoto juga mendorong SI menjadi organisasi yang lebih progresif. Seperti diungkap dengan gamblang oleh Nasihin (2012), SI yang awalnya dibentuk oleh para pedagang, menjadi organisasi kaum kromo: petani, dan terutama buruh.

Propagandis SI –seperti Abdoel Moeis dan Suryopranoto, menjadi penggerak utama pemogokan buruh dan pemberontakan kaum tani di berbagai tempat. Bahkan tak urung, Tjokroaminoto harus mendekam di penjara kolonial pada tahun 1921 dengan tuduhan menghasut pemberontakan kaum tani di Banten dan Tolitoli.

Sebagai organisasi sosialis yang islami, progresivitas gerakan SI tetap dipandu oleh ahlak islami. Tjokroaminoto –dalam Amelz (1952:126)– menegaskan, “Sarekat Islam tidak memusuhi manusia yang manapun juga, tetapi yang harus dibongkar ke akar-akarnya ialah paham imprealisme dan kapitalisme.”

Hari ini, di saat imprealisme hadir dengan wajah baru, dan kapitalisme menyapa melalui muka ramah dan murah senyum, umat Islam Indonesia yang masih menjadi bagian terbesar bangsa ini, seakan tak bisa berbuat banyak, tetap saja menjadi korban dan tak berdaya.

Bahkan, ketiadaan gagasan Islam revolusioner serupa sosialisme Islam-nya Tjokroaminoto, serta alpanya organisasi Islam progresif semacam Sarekat Islam, membuat generasi muda umat islam dengan mudah terjerat pada wacana islam konservatif dan terseret dalam arus gerakan radikal.

Maka, momentum peringatan 100 tahun zelfbestuur Tjokroaminoto, bisa menjadi medium refleksi untuk menemukan jawaban atas realitas gerakan Islam Indonesia kontemporer. Akankah gerakan Islam yang ada tetap jalan sendiri-sendiri, sibuk saling menyalahkan, atau mulai memikirkan upaya membangun gerakan Islam yang lebih progresif revolusioner.

Saatnya merumuskan model gerakan Islam Indonesia masa depan, dengan sesekali menengok ke belakang, mengambil pelajaran dari apa yang telah dirintis oleh Tjokroaminoto. Sebagaimana Soekarno, sang proklamator hebat itu dengan jujur mengakui, “Cerminku adalah Tjokroaminoto!”


Tulisan ini dimuat di EDUNEWS.ID, 02 Juni 2016

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama