3 Alasan yang Membuatku Malas Salat Jumat

[06.08.2016] Aku masih memegang petuah agama bahwa meninggalkan salat jumat selama empat kali berurutan, maka itu sama dengan murtad. Aku juga belum sepakat dengan sebagian kaum muslim yang tak menjadikan salat jumat sebagai wajib sebelum Imam Mahdi kembali berkuasa. 

Aku masih pergi salat jumat hingga saat ini, meski tak bisa dikatakan rajin, sebab aku selalu saja terlambat datang. Maka tulisan ini hadir untuk menceritakan pada siapapun yang penasaran hendak mengetahui mengapa aku berlaku demikian. 


Setidaknya ada tiga hal yang membuatku terganggu dengan salat jumat, hanya tiga. Memang ada banyak hal lain di luar ketiga soal yang kukemukakan, namun ketiga pasal inilah yang jadi hulu bagi beragam gangguan yang lain. 


Pertama, aku merasa masjid sekarang terlalu bising, karena riuh itulah maka aku merasa berat melangkahkan kaki dan memilih terlambat untuk ke masjid. Coba tengok masjid-masjid sekarang bila jumat bertandang, tak ubahnya pasar dengan pengunjung yang meriung. 


Celakanya, kerumunan umat yang berjualbeli, bahkan setelah azan dikumandangkan, adalah atas restu pengurus masjid juga. Memang tujuannya mungkin baik, tapi mereka tak punya perangkat yang memadai untuk mencegah proses transaksi tetap berlangsung setelah azan. 


Artinya, secara tak langsung, menguapnya keheningan menjelang ibadah, dan lenyapnya kebeningan menyambut salat jumat pun difasilitasi oleh para penjaga kekhusyukan ibadah: pengurus masjid. Padahal, sudah tegas Allah mewanti-wanti: 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ 
"Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan salat pada hari Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui." (QS. Al-Jumu'ah: 9). 

Bila dihadapkan dengan ibadah, tegas Allah memerintahkan untuk meninggalkan jual beli --yang sering disebut-sebut sebagai 9 dari 10 pintu rezeki. Namun celakanya, di beberapa masjid --sadar atau tidak, malah pengurus masjid yang memfasilitasinya. 


Kedua, bau kurang sedap yang menguar di udara dalam masjid. Aroma yang lumayan mengganggu penciuman selama mendengar khotbah itu, berasal dari mulut jamaah yang silih berganti menguap. Aku kadang berpikir, apakah mereka tak sikat gigi sebelum ke masjid? Apakah cara mereka bersuci sudah bisa diterima? Lalu mengapa mulutnya masih menyebarkan aroma tak sedap? 


Bermacam-macam bau bercampur dengan pengharus masjid yang juga menyengat. Oksigen yang harus dibagi bersama jamaah, telah dicemari. Ini menjadi pemicu munculnya nyut-nyut pada sisi kepala sebelah kiri: migrain. Lalu siapa yang bisa salat dengan khusyuk kepala yang berat sebelah? Alangkah perlunya disampaikan larangan masuk ke masjid bagi mereka yang mulutnya berbau. 


Bukankah ini lebih sesuai syariah, yang didukung oleh hadis nabi. 

حَدَّثَنِي يَحْيَى عَنْ مَالِك عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ أَكَلَ مِنْ هَذِهِ الشَّجَرَةِ فَلَا يَقْرُبْ مَسَاجِدَنَا يُؤْذِينَا بِرِيحِ الثُّومِ 
Telah menceritakan kepadaku Yahya dari Malik dari 
[Ibnu Syihab] dari [Sa'id bin Musayyab] Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa makan pohon ini (bawang), janganlah mendekati masjid kami, karena baunya dapat mengganggu kami." 

Larangan masuk ke masjid bagi yang mulutnya bau, demikian tegas diserukan Rasulullah dalam hadisnya. Tapi pernahkah kita menemukan larangan itu ditempel di dinding-dinding masjid? Tidak ada kan? 


Itulah anehnya pengurus masjid hari ini, hal yang nyata-nyata dilarang Rasulullah, tidak dilarang juga. Tapi tidur di masjid yang dibolehkan Rasulullah sangat tidak disukai oleh pengurus masjid. Lalu berdasar sunah siapa masjid-masjid kita dikelola? 


Ketiga, khotbah jumat yang mengalami involusi. Sejak aku memiliki kesadaran mengenai salat jumat, hingga kini aku sudah punya anak, tema khotbah jumat tak pernah berubah. Celakanya lagi, itu disampaikan dengan retorika seadanya dengan durasi waktu yang panjang. 


Selayaknya khotbah diisi dengan petunjuk bagi jamaah untuk tetap menjaga kebersihan tauhid, serta meningkatkan ketakwaan, dalam kaitannya dengan masalah hidup yang timbul dalam keseharian jamaah. Namun faktanya, sebagian besar khatib malah menyeret jamaah memikirkan perkara yang mengawang-awang. 


Hal ini karena sebagian besar khatib yang diundang khotbah pada sebuah masjid, diundang bukan karena pemahamannya yang baik terhadap masalah nyata yang dihadapi jamaah melainkan dipengaruhi oleh ketenaran si khatib. Ini lagi-lagi bukan demi kualitas khotbah, melainkan demi prestise masjid. 


Terkadang di sebuah masjid, jamaah didominasi oleh petani, lagi sibuk memikirkan panen yang tak berhasil, eh diajak untuk menunjukkan keimanan san ketakwaan dengan besarnya sedekah yang bisa mereka serahkan. Boro-boro sedekah, untuk makan saja mereka sulit. Tapi kondisi ini bukan hal penting bagi si khatib. 


Kemudian, soal pendek panjangnya khotbah, Rasulullah sudah menjelaskan dengan jelas dalam sabdanya. 

إِنَّ طُولَ صَلاَةِ الرَّجُلِ وَقِصَرَ خُطْبَتِهِ مَئِنَّةٌ مِنْ فِقْهِهِ. 
“Sesungguhnya panjangnya shalat dan pendeknya khotbah merupakan ciri dari kefaqihan seseorang.” 

Pada hadis ini, Rasulullah menyebutkan bahwa dalam salat jumat, selayaknya khotbah dipendekkan dan salat yang dipanjangkan. Namun pada kebiasaan saat ini, seringkali khotbah --dengan tema yang membosankan-- disampaikan dengan panjang, lalu disusul dengan salat yang panjang pula. Dilaksanakan pada masjid yang riuh oleh jual beli dengan udara dalam masjid yang pengap oleh aroma mulut jamaah. 


Masihkah anda rajin mengikuti salat jumat dengan tertib dalam kondisi sedemikian? Bila iya, anda patut dapat jempol sebagai umat yang imannya sudah kuat. Dan sayang sekali, saya belum masuk dalam kategori itu. Astaghfirullah...

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama