Path dan Dia yang Datang dari Masa Laluku


[23.08.2016] Ponselku bergetar halus, sebuah simbol huruf P putih dalam lingkaran merah, muncul di sudut kiri atas layar. Sebuah pemberitahuan bahwa ada sesuatu dengan akun path-ku, entah apa. Lekas jemari telunjuk kiriku meraba bagian belakang ponsel, kutempel tepat di permukaan pemindai sidikjari.

Kunci layar ponsel terbuka, kutekan pelan simbol P itu, lalu kuseret ke bawah. Akun path-ku terpampang, memajang foto sebidang dada lelaki, di atas puting susu kanannya yang bercahaya terang, terpatri tato berupa ukiran huruf SE. Keduanya bertaut dalam jalinan huruf jenis Kunsrler Script. Foto itu dikirim dari akun berinisial SE pula, disertai keterangan: Menerangi harimu, Menemani hatimu, Selamanya juwita bersama Daremma. Itu nama akunku di path.

Pesan itu kuterima saat istirahat siang di kantor hampir usai. Aku melanjutkan kerja dengan perasaan biasa saja, meski aku mulai mereka-reka siapa SE ini, permintaan pertemanan darinya belum pula aku terima. Ketika sirine jam pulang kantor menyalak, foto yang sama lagi-lagi masuk ke akunku, kali ini dengan keterangan yang berbeda: Sejernih matamu yang jelita, sinarnya begitu memesona. Lagi-lagi aku ditandai di postingan itu.

Aku menempuh jalan pulang dengan tumpukan pertanyaan pada setiap jarak yang kujangkau. Siapa lagi dia yang sepertinya begitu dekat denganku, sampai pesan-pesannya bersifat personal. Pengirimnya berlagak punya pertautan yang dekat denganku, kita seperti pernah berbagi pengalaman di suatu masa dan situasi yang sama, seseorang yang menyeruak hadit dari masa lalu. Ah, pesan ini membelitku pada gelisah, aku curiga ini terkait dengan nama akunku.

Daremma, nama itu kupakai pada semua akunku di dunia maya, mulai dari akun surel yang terintegrasi ke blog pribadi dan hangout, juga di facebook, twitter, instagram, whatsapp, line, wechat, telegram, snaptu, soundcloud, linkedin, dan bbm. Aku menggunakan nama yang sama, selain alasan kepraktisan agar mudah diingat, nama itu juga mengaitkanku dengan masa lalu, nama itu merupakan nama panggilanku di kampung, dulu.

Daremma adalah perubahan dari Darma, nama pemberian pamanku yang tinggal di Jakarta tempo itu. Namaku secara resmi adalah Dara Matasia yang dalam bahasa bugis bermakna gadis cantik nan jelita. Karena pamanku merasa nama itu terlalu berbau kampung, maka dia menyingkatnya menjadi Darma. Orang tuaku tidak menyoalnya, meski mereka tak terbiasa menyebut Darma, melainkan Daremma, maka jadilah aku disapa demikian, di kampung.

Darma tetap menjadi sapaanku sampai sekarang, oleh suami, tetangga di Makassar, pun di tempat kerja. Tak ada yang menyapaku sebagai Daremma, kecuali di media sosial, dan di sana, tak ada yang bertanya kenapa aku menggunakan nama itu. Maka ketika SE menandaiku pada postingan fotonya di path dengan keterangan yang demikian karib, aku jadi bertanya-tanya, siapa gerangan dia?

Semua keluarga dekat, begitu pula kawan yang akrab, sudah menjadi temanku di sana. Lalu, siapa pengguna akun berinisial SE ini? Kucoba menelisik berbagai kemungkinan soal pengguna akun itu, belum juga ada petunjuk. Apa tak mungkin dia berasal dari masalaluku di kampung? Bisa saja. Memang tak banyak lagi aku mengetahui dinamika di sana semenjak aku kuliah dan memutuskan tak lagi menjadi warga desa itu.

Malamnya, aku makan bersama suami dan anak. Tak kunampakkan gelisah di hati pada ekspresiku di meja makan. Seperti malam sebelumnya, kami menikmati setiap suapan dengan selingan canda, terutama banyolan suamiku yang memang humoris, selalu membuat tawa kami pecah.

Selepas makan, suamiku memilih duduk di depan teve, menanti siaran kompetisi stand up comedy yang yang tayang di salah satu stasiun, itu acara kesukaannya. Kedua anak gadisku masuk ke kamar masing-masing yang tua sibuk mengerjakan tugas sekolah, yang satunya lagi asyik mengutak-atik desain busana muslimah di komputer, dia memang sekolah di SMK jurusan tatabusana.

Aku yang tak bisa meninggalkan kebiasaan menulisku sejak semester awal di kampus, memilih melanjutkan catatan soal parenting yang saban hati aku posting ke blog pribadi. Ketika tulisanku memasuki paragraf kelima, ponselku kembali memberi tanda, lagi-lagi di path. Foto itu lagi, pesannya: Usir gelapmu dengan cahayaku, halau galaumu dengan terangku bersama Daremma.

Ah, siapa SE ini? Seseorang dari dunia kenanganku? Lantas siapa teman dekatku, atau yang pernah dekat denganku dan memiliki tato demikian di atas puting susu kanannya? Untung saja itu bukan bagian dari aurat seorang lelaki, sebab sudah tiga kali dalam sehari ini, aku melihat foto yang sama.

Aku teringat dengan teman lelaki di Madrasah Aliah dulu, namanya bisa diinisialkan dengan SE, Saparudding Empong. Kami memang pernah dekat dan saling memendam rindu di hati masing-masing. Dia menyukaiku, aku pun demikian. Rasa suka kami rajut dalam diam, kami terlalu takut untuk berbalas kata, kami cuma berani berbalas pandangan mata.

Hubungan kami menjadi kisah cinta paling misterius di kalangan teman sekolah, kalau di kampung tentu menjadi sangat rahasia. Bahkan ketua kelas kami yang menjadi mak comblang, menggelari hubungan kami dengan istilah 'pacaran ala nabi'. Ya, mungkin tak salah, sebab kami hanya bergandengan jiwa dan berangkulan hati, tak pernah dia menggandeng tanganku, aku pun tiada mau merangkul dan bersandar di bahunya. Meski kami ingin.

Sependek ingatku, dia tak pernah menyatakan langsung perasaannya padaku, Sapa' –begitu dia disapa, hanya sekali dia memberiku catatan harian dengan kertas warna-warni yang dia titip pada Hera, teman sebangkuku. Pada halaman pertama buku itu, Sapa' mengguriskan catatan ringkas, "Pada hati di mana aku menambatkan rindu," dengan inisial SE persis seperti pada foto di path itu. Selebihnya, dia hanya menyapa lewat sorot mata.

Tapi lelaki yang kini sudah menikah dan menjadi ustaz di kampung kami, setahuku tak memiliki tato demikian. Semasa sekolah aku masih sering melihatnya bertelanjang dada, itu hal biasa di kampung. Saat sore ketika dia menggiring kerbaunya ke kandang, dia akan bertelanjang dada, hanya sarung yang melilit tubuhnya, dia juga baru usai mandi di sungai. Entah kalau dia pernah membuat tato itu selepas sekolah.

Pagi, selepas aku mengisi absensi pindai sidikjari, SE kembali menandaiku foto yang sama di path. Pesannya, 'Rawat kenanganmu dengan cahayaku'. Coba kukunjungi akun path-nya yang mengajukan pertemanan padaku, rupanya tergembok, tak ada informasi apapun. Aku kembali menyigi kenangan, menelisik ingatan pada Sapa', lelaki pemalu yang mencintaiku dengan cara paling lugu dalam sejarah mencintai.

Tunggu, aku ingat sekarang. Suatu pagi Sapa' pernah memberiku setangkai melati yang dia petik di pinggir jalan depan rumahnya. Bunga itu dia bungkus dengan kantung kresek hitam. Kantung itu dia sampirkan di sandaran bangku tempat dudukku, tanpa mengucap sepatah kata. Aku tak paham maksudnya, kantung itu langsung kumasukkan ke tas dan baru kubuka saat di rumah.

Ajaibnya, bunga melati itu tak layu, dia cuma keringatan dalam kantung kresek yang pengap. Di tangkai batangnya, ada seutas pita berwarna kuning, ditulisi kalimat dengan spidol bertinta warna biru. Pesan yang sudah mulai memudar, sepertinya spidol itu bertinta bukan permanen, terbaca, "Abadi kau juwita, jelita seumpama melati." Di ujungnya juga tertera inisial SE persis seperti pada foto di path itu.

Aku teringat dengan lampu di ruanganku yang tak menyala sejak kemarin sore. Kusimpan ponselku lalu kupanggil bujang kantor,
     "Jamal, bohlam lampu di ruanganku sudah diganti? Kemarin siang putus loh."
     Tanpa suara, Jamal menekan saklar lampu, menyerahkan padaku dus bohlam baru, lalu pergi. Rupanya dia sudah menggantinya, entah kemarin ketika aku sudah pulang, atau tadi pagi sebelum aku tiba. Dia memang begitu, sedikit bicara, namun kerjaannya beres.


Aku duduk dengan dus bohlam di tangan, sesaat sebelum kuletakkan untuk menjangkau ponsel, mataku tertuju pada kotak kertas yang didominasi oleh warna hijau muda tersebut. Pada sisi atas, terlihat simbol SE bertaut dalam huruf jenis Kunsrler Script, di bawahnya, tertera tulisan Sinar Energi, Bohlam Seterang Mentari. Aku teringat dengan akun path-ku, tiba-tiba duniaku terasa benderang.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama