Telah menjadi hal yang lumrah,
seseorang membunuh dengan alasan kehormatan, dan telah banyak korban di sekitar
kita, nyawa melayang demi harga diri. Perkara harga diri dan kehormatan ini
menjadi salahsatu isu yang menghiasi wacana sosial kebudayaan di seluruh dunia.
Setiap tradisi dan lokalitas memiliki konsepsi dan persepsi yang beragam soal
ini, tak terkecuali bagi manusia Bugis.
Novel ‘Kota Palopo yang Terbakar’, dengan
konteks masa pergolakan DI/TII tahun 1956 di Kota Palopo[3]
mencoba menjawab soalan, seperti apa orang Bugis memandang kehormatan. Novel anggitan
Musytari Yusuf –dengan nama pena Mohayus
Abukomar– ini, merupakan salahsatu karya lama yang berkualitas dari
seorang sastrawan yang tidak terlalu dikenal, bahkan di kampung halamannya
sendiri.
Menjelang penghujung novel ini, sebuah
pernyataan singkat dari Patiwiri –tokoh
utama–, mengisyaratkan bahwa perkara kehormatan bagi orang Bugis, merupakan
hal yang menarik untuk diulas. Ketika Patiwiri harus berhadapan dengan
pengadilan pemerintah DI/TII di tengah hutan karena membunuh Andi Rajab,
seorang penghianat republik dan memilih mengabdi pada KNIL, dan belakangan menjelma
menjadi sosok bernama Guntur, komandan pasukan elit DI/TII. Guntur mengomandoi
Momok Hitam[4],
kesatuan paling disegani sepanjang sejarah DI/TII di Sulawesi.
Ketika Ketua Hakim menyoal sikap
Patiwiri yang seakan mengabaikan hukum dan bertindak main hakim sendiri, dengan
tenang, Patiwiri berkilah, “Saya terlalu Bugis untuk ke pengadilan dalam
soal-soal kehormatan” (hal. 252). Jawaban Patiwiri mengantar kita pada
kesimpulan bahwa kehormatan tak cukup ditegakkan melalui hukum dengan kadar
keadilan resmi. Harga diri dan kehormatan, seperti punya hukum dan keadilannya
sendiri.
Muasal Keberanian
Syahdan ketika Benteng Batu Putih[5] –berada di wilayah Kolaka, Sulawesi Tenggara
sekarang– jatuh, dan Datu Luwu tertawan oleh KNIL, Andi Tenriajeng selaku
pimpinan pasukan Pembela Keamanan Rakyat (PKR) mendapat pesan: Kalau kau masih sayang kepada Datu,
letakkanlah senjatamu (hal. 2). Segera setelah itu, Andi Tenriajeng memilih
meletakkan senjata dan memerintahkan pasukannya menyerah.
Pasukan di mana Patiwiri bergabung –merupakan bagian dari PKR, di bawah pimpinan seorang bangsawan bernama Andi Pasewang, ikut menyerah dan tertawan. Namun Patiwiri memilih menolak tunduk, waima
istrinya –Herani Daeng Caya, yang
baru dinikahinya kurang dari sebulan, menjadi tahanan kota di Palopo.
Meskipun kemudian Patiwiri menjadi
anti bangsawan –terutama andi Pasewang,
juga Andi Rajab yang tak bisa dia maafkan, namun Patiwiri menetapkan hati
bahwa tak ada yang lebih patut disalahkan kecuali, “Ketakutan menghadapi
kematian...” (hal. 8). Maka dia yang mantan anggota Heiho, memilih meninggalkan
Sulawesi daripada tertawan.
Perihal ketakutan, Patiwiri punya
rumusannya sendiri, “...rasa takut itu adalah siksaan yang terbesar bagi
manusia... Orang penakut itu, mati berkali-kali sebelum ia mati yang
sebenarnya” (hal. 76). Dan ketika Ibrahim –sahabat
Hamida, adiknya– melontar tanya, “Dari manakah sebenarnya datangnya raaa
takut itu Daeng?” Dengan tegas Patiwiri menjelaskan perspektifnya, “Semakin
besar cinta seseorang kepada hidup, semakin besar pula takutnya” (hal. 77)
Begitu usai menjelaskan perihal
sumber rasa takut, Patiwiri mewejangkan ihwal menghalaunya, bilangnya, “Kalau
kita percaya kepada Tuhan, bukan saja kita harus sembahyang, mengaji, dan
puasa, tetapi juga kita harus yakin bahwa manusia itu tidak akan mati kecuali
kalau sudah sampai ajalnya” (hal. 78). Lalu dia menegaskannya dengan sebuah
syari dalam bahasa Bugis.
Bahkan untuk membangkitkan semangat
Ibrahim agar siap menyusup ke wilayah DI/TII, Patawari melontar rentetan tanya
yang ibarat peluru, “Untuk masuk ke hutan mengapa ragu-ragu lagi,
menyeberanglah! Belum tentu ada yang lihat. Kalau ada yang lihat, belum tentu
ia tentara atau mata-mata, belum tentu mereka menembak. Kalau mereka menembak
belum tentu engkau dikena. Kalau kena belum tentu parah. Kalau parah belum
tentu menyebabkan kematianmu. Dan kalau mati juga, berarti kau mati dalam
keyakinanmu” (hal. 76).
Hakikat Kehormatan
Patiwiri yang memilih hengkang
daripada ditawan KNIL, sembunyi di hutan-hutan sulawesi Tenggara bersama empat
orang bekas pasukan Jepang yang sempat melatih PKR. Namun ketika kawan
seperjalanannya satu persatu meninggal, Patiwiri menyamar menjadi kelasi dan
berlayar ke Surabaya. Di kota inilah Patiwiri mendapat kabar bahwa istrinya
meninggal karena sakit, dan membuat dia mempunyai alasan kuat untuk melupakan
Palopo.
Patiwiri kemudian memilih bekerja di kapal
besar yang mengelilingi dunia. Langkah kakinya terhenti saat di Pelabuhan Zues,
seorang kawan seperjuangannya dulu di PKR, Haji Abdul Wahab mengabarkan bahwa
istrinya, Daeng Caya meninggal karena dia memilih mengakhiri hidupnya sendiri, setelah
mengetahui kehormatannya direnggut oleh komandan KNIL atas jebakan Andi Rajab.
Maka perjalanan pulang Patiwiri untuk
menunaikan kewajibannya menegakkan kehormatan diri, dimulai. “Akan kukejar
sampai ke ujung langit!” (hal. 4). Kalimat itu yang mengiringi langkah
pertamanya berbalik arah menuju tanah kelahiran. Bahkan ketika dirinya kemudian
berjumpa dengan Andi Pasewang, Patiwiri berkeras, “Untuk kehormatan inilah saya
hidup, dan karena kehormatan itulah nanti saya mati” (hal. 72).
Patiwiri memang keras dalam hal
kehormatan, seperti nasihatnya kepada Ibrahim, “Dalam kehidupan ini
kadang-kadang manusia itu menghadapi suatu keadaan di mana ia terpaksa memilih
antara hidup dan kehormatannya. Pada saat itu ia teruji apakah harga yang
diletakkan untuk hidupnya lebih besar dari harga yang diletakkan untuk
kehormatannya. Nenek moyang kita lebih mudah kehilangan jiwanya daripada
kehilangan kehormatannya” (hal. 77-78).
Demikian halnya dengan Patiwiri, waima
mengetahui bahwa Andi Rajab alias Guntur telah menjadi komandan dari pasukan
pilih tanding dengan desas-desus penguat bahwa dirinya kebal, namun tekad
Patiwiri tak goyah. Ayahnya sendiri mengingatkan, “...Saya beritahukan nak,
bahwa orang harus kau cari itu sudah mempunyai kedudukan. Apa kau gentar nak?”
Dengan tegas Patiwiri menimpali, “Sekali-kali tidak ayah....” (hal. 157).
Ihwal keberanian menjaga kehormatan,
sudah ditanamkan oleh kedua orang tuanya sejak Patiwiri masih kecil. Pernah di
masa kecilnya dia berlalu karena takut berkelahi dengan anak yang lebih besar,
ayahnya murka dan berkata, “Memalukan, seorang laki-laki memberi punggung pada
lawannya. Turunlah dan lawan dia!” Ibunya tak kalah sengit, “Saya lebih senang
menerima mayatmu berlumur darah diusung orang ke rumah daripada menerimamu
dengan kehormatan tercemar” (hal. 158).
Bahkan sesaat setelah menyerahkan
keris warisan kepada Patiwiri –sebuah
keris berbahan besi Luwu, tempahan Ussu’ dan digunakan dalam perang Bone
melawan Belanda pada tahun 1905, ayahnya masih menegaskan, “Lelaki itu sama
saja nak... Sekalipun berlain-lainan kedudukannya. Kalau ada yang membedakan,
hanyalah kekerasan hati dan ketiadaan gentar belaka. Tetapi laki-laki yang
berdiri di pihak yang benar, lebih kuat daripada yang berdiri di pihak yang
salah” (hal. 157)
Maka ketika dia berdiri berhadapan
dengan Andi Rajab, tanpa ragu Patiwiri langsung membenamkan keris bertuahnya ke
perut komandan Momok Hitam. Tak ada kebal di sana, perut Andi Rajab langsung
robek. Permintaan Andi Rajab agar dia ditikam sekali lagi, dijawabnya cergas,
“Cukup, keris ini hanya menikam sekali” (hal. 241), setelahnya, dia membuang
keris itu jauh-jauh dan berlalu. Kewajibannya usai, saatnya mencari nasi, makanan
yang dia harapkan mengisi perutnya sejak pembalasan pada Andi Rajab sudah
dipatrikan di hati, dulu.
Hikayat Novel
Novel ‘Kota Palopo yang Terbakar’
adalah bacan bacaan dengan kualitas yang tak diragukan. Predikat sebagai
pemenang pertama pada Sayembara Mengarang UNESCO-IKAPI pada tahun 1968 adalah
jaminan, belum lagi pengantar yang disampaikan oleh Buya Hamka, mengukuhkan
citra bahwa novel yang ditulis dengan bahasa Indonesia yang lemah lembut ini –sebagaimana lemah lembutnya bahasa orang
Bugis-Makassar setiap hari, memang berkualitas.
Sisi lain yang menarik dari novel yang
terbit pertamakali pada tahun 1979 ini adalah kisah cinta antara Letnan Ahmad –seorang tentara dan bersahabat dengan
Patiwiri– dengan Nona Hamida. Kisah cinta yang membuat pilu membelasah
hati, cemas menyebat jiwa, dan kecewa yang menyesah nurani. Patutlah novel yang
mengingatkan kita pada roman Siti Nubaya gubahan Marah Rusli dinobatkan sebagai
Roman sejarah sebagaimana klaim toACCAe
Publishing selaku penerbit.
Dalam novel yang cetakan pertamanya diterbitkan
oleh Pustaka Jaya Jakarta ini, juga memaparkan realitas masa pergolakan tahun
1956 ketika DI/TII pimpinan Kahar Muzakkar menguasai beberapa wilayah di
Sulawesi. Mohayus Abukomar, sebagaimana klaim Buya Hamka –penulis roman Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck– bahwa yang menarik
hari dalam ceritanya adalah ketika diceritakan penggabungan antara paham
separatisme dengan dendam pribadi, laksana ombak kecil di atas gelombang besar.
Apa yang diungkap oleh Buya Hamka soal
berkelindannya patriotisme dan perjuangan pribadi, sepertinya diakui sendiri
oleh penulis melalui pernyataan Patiwiri selaku tokoh utama. Ketika Andi
Pasewang menggugat perihal dendam pribadi yang melandasi niat Patiwiri memburu
Andi Rajab, “Dan kehormatanmu lebih di atas dari perjuanganmu untuk tanah air?”
Patiwiri berkilah, “Kali ini akan kubela kehormatanku dan sekaligus berjasa
pada negaraku” (hal. 72).
Akhirnya, begitu Ketua Pengadilan
Medan B.S. Baranti dengan M. Kamaruddin yang Kepala Staf Umum Divisi TII bertindak
selaku Penuntut Umum memutuskan, “Hukuman mati dengan tembakan 12 peluru untuk
Patiwiri”, sang terdakwa Patiwiri menyambut tanpa sesal kematiannya. Seperti
yang pernah dia ungkap pada Ibrahim, “Dan kalau mati itu sudah pasti waktunya,
dan ketakutan tidak kuasa menggesernya, maka sikap kita ialah lebih baik mati
seperti seekor singa daripada mati seperti seekor tikus” (hal. 78).
Sebab bagi Patiwiri dan laki-laki
Bugis manapun di dunia ini, apabila mereka telah kehilangan malu, harga diri
dan kehormatan, maka petuah leluhur dalam bentuk galigo ini:
tak lebih dari syairnya orang-orang
pengecut!
Dimuat di EDUNEWS.ID, edisi 04 September 2016
[1] Disampaikan
pada diskusi novel Komunitas Sayang Novel Takalar, 03 September 2016 di
Takalar.
[2] Teng
labu essoE ri tengnga bittaraE (tidak
akan tenggelam matahari di tengah siang). Syair ini bermakna bahwa tidak
akan meninggal seseorang bila ajalnya belum tiba, lalu buat apa memelihara
ketakutan.
[3] Kota Palopo sendiri terbakar oleh serbuan pasukan KNIL yang
mendompleng pada pasukan Sekutu di awal tahun 1946, pemilihan judul Kota Palopo
yang terbakar sepertinya karena konflik yang terjadi antara tokoh dalam novel
ini berakar pada peristiwa yang melingkupi terbakarnya Kota Palopo sampai
jatuhnya Benteng Batu Putih.
[4] Momok
hitam adalah salah satu dari empat Momok (Hitam, Putih, Merah dan Hijau)
bentukan Kahar Muzakkar, pemimpin DI/TII kala itu. Momok sendiri berasal dari
istilah militer Momoc (Mobiele Moment Operation Comando)
[5] Tentang
Benteng Batu Putih, lebih banyak diulas oleh Musytari Yusuf dalam novelnya yang
berjudul Jatuhnya Benteng Batu Putih, toACCAe Publishing, Makassar, Januari
2007.
[6] rEkkuwa mapata matE mua, malebbini sia mate massola-solaE,
nattaro sEngereng. Syair ini bermakna bahwa apabila yang penakut juga mati,
maka mending mati dalam keberanian, tetapi meninggalkan kebanggan.
[7] matE
mua mapataE, matEfi dua tellu, massola-solaE. Syair ini
bermakna bahwa memang akan mati juga yang penakut, namun itu baru terjadi
setelah dua tiga orang berani lebih dahulu mati
Tags:
Resensi