Resensi: Kerajaan Bone Selayang Pandang

Siapa yang tak kenal dengan Bone, daerah asal Jusuf Kalla (JK), tokoh nasional yang malang melintang dalam berbagai jabatan publik di negeri ini, pun sebagai salahsatu pengusaha besar di Indonesia. Namun, jauh sebelum JK mengenalkan Bone ke panggung politik nasional, Bone sudah dikenal sebagai kerajaan dengan berbagai kontroversinya.

Kontroversi sikap Bone terhadap Islam. Hari ini Bone identik dengan Islam. Namun berbilang tahun yang lampau, kerajaan Bone pernah dengan gigih menghalangi islamisasi di jazirah selatan Sulawesi. Saat itu, Bone di bawah kepemimpinan Arumpone ke-10, We Tenri Patappu (1602 - 1611). Bersama dengan persekutuan TellumpoccoE (beranggotakan Bone, Soppeng dan Wajo), mereka menghalau Raja Gowa beserta pasukannya yang hendak mengislamkan TellumpoccoE (hal 62 - 63).

Ketika kemudian Wajo dan Soppeng berhasil diislamkan, menyusul Arumpone ke-12 memeluk Islam di hadapan Sombayya Ri Gowa Sultan Alauddin dan menggunakan gelar kehormatan Sultan Adam. Namun tak lama, Dewan Adat Bone (Ade' PituE) memilih memakzulkan Arumpone ke-12, La Tenri Ruwa Arung Palakka karena keislamannya (hal. 69). Arumpone yang juga bergelar Arung Pattiro ini hanya berkuasa selama 3 bulan pada tahun 1611. La Tenri Ruwa kemudian meminta suaka ke Gowa dan diasingkan serta meninggal di Bantaeng (hal. 90).

Pengganti La Tenri Ruwa adalah sepupunya yang bernama La Tenri Pale' To Akkeppeang (1611 - 1625). La Tenri Pale' kembali menegaskan sikapnya yang anti Islamisasi oleh Gowa (hal. 76). Meskipun akhirnya, La Tenri Pale' mengucapkan syahadat ketika pihaknya kalah perang. Pengganti La Tenri Pale' adalah kemenakannya yang bernama La Maddaremmeng (hal. 78), Arumpone yang menjabat sepanjang tahun 1625 - 1640 ini berbeda dengan para pendahulunya, justru berkehendak menegakkan Islam secara kaffah.

Kontroversi antara Bone dan Gowa tentang Islam. Bila sebelum La Maddaremmeng, pihak kerajaan cenderung menolak Islam yang dibawa oleh Kerajaan Gowa. Maka di masa pemerintahan La Maddaremmeng, justru sebaliknya, Gowa yang menolak model berislam yang diimplementasikan oleh Bone. Ini menarik, sebab ketika La Maddaremmeng menegakkan Islam secara baik dengan menghapus perbudakan, menghukum para penjudi dan pemabuk, justru Gowa mengirim pasukan untuk menghukum Bone.

La Maddaremmeng menolak tunduk, perlawanan dikobarkan terhadap Gowa, meski akhirnya harus takluk. Meski demikian, perlawanan Bone terhadap Gowa tak berakhir, dalam kondisi terjajah, Ade' PituE diam-diam melantik La Tenri Aji To Senrima untuk mengganti kakaknya pada tahun 1640 (hal. 80).

Aktivitas utama La Tenri Aji selaku Arumpone ke-14 adalah memperjuangkan kemerdekaan Bone dari penaklukan Gowa. Perlawanan La Tenri Aji berakhir pada tahun 1643 ketika pasukan Bone takluk oleh pasukan gabungan Gowa, Wajo dan Luwu di daerah Pasempe'. Inilah Beta ri Pasempe', ode kekalahan Bone dari Gowa yang dikenang dan berlangsung selama 17 tahun. Bersama To Senrima, sebagian besar bangsawan Bone diangkut ke Gowa sebagai tawanan, termasuk Arung Tana Tengnga, bapak dari Arung Palakka (hal. 82).

Kontroversi antara Bone dan Gowa tentang VOC. Mengapa VOC? Sebab pada akhir abad ke-17, VOC begitu memegang peranan penting jaga perpolitikan dan perekonomian hindia timur. Perusahaan dagang raksasa tersebut menjadi kekuatan penentu pada berbagai dinamika yang terjadi di zamrud khatulistiwa. Tak terkecuali konflik panjang antara dua Kerajaan yang mendiami jazirah selatan pulau Sulawesi: Bone versus Gowa.

Dalam narasi besar sejarah, Gowa yang kala itu berada di posisi memantapkan kekuatan dengan melakukan ekspansi secara politik dan militer demi perluasan kekuasaan (termasuk menguasai Bone dengan mendompleng isu Islamisasi) untuk menentang VOC, dipimpin oleh Sultan Hasanuddin yang kemudian ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional. Sedangkan Bone, yang sejak 1660 mengobarkan perang kemerdekaan dari Gowa setelah 17 tahun penaklukan, memilih VOC sebagai rekan strategis, demi harga mahal kemerdekaan di bawah kepemimpinan Arung Palakka yang kelak menjadi Arumpone ke-15 selama kurun waktu 1672 - 1696.

Arung Palakka, sosok bangsawan Bone-Soppeng, cucu Arumpone ke-12 La Tenri Ruwa, adalah bocah berusia 11 tahun ketika dia dan keluarganya diboyong sebagai tawanan perang pasca kekalahan La Tenri Aji di Pasempe' pada 1643. Beruntung, keluarganya ditempatkan menjadi budak Mangkubumi Kerajaan Gowa, Karaeng Pattingalloang. Sebab itulah Arung Pallakka yang saat itu dikenal sebagai Daeng Serang, mendapatkan pendidikan yang baik dan bebas bertemu dengan bangsawan Kerajaan Gowa, termasuk sang Putra Mahkota, I Mallombassi Daeng Mattawang.

Sejak 1660, Daeng Serang mengobarkan perlawanan terhadap Gowa dengan menyertakan ribuan budak yang berasal dari Bone-Soppeng (hal. 84 - 91). Namun perlu dicatat, orientasinya bukanlah merebut kekuasaan,melainkan untuk mengingatkan kepada Gowa bahwa Bone dan Gowa adalah bangsa yang lahir dari leluhur yang sama, hingga tak pantas untuk saling menghinakan. Dalam dinamika perjuangan tersebut, Daeng Serang kemudian bersinggungan kepentingan dengan VOC, lalu bersama menundukkan Gowa melalui perjanjian Bongayya, 18 November 1667.

Yang menarik, meskipun bekerjasama dengan VOC dalam merebut kemerdekaan dari Gowa, Bone tak pernah memberi ruang bagi VOC untuk berkuasa penuh di jazirah Sulawesi bagian selatan, malah VOC merasa bahwa Arung Palakka merupakan batu sandungan besar. Meski demikian, VOC tak berani menyingkirkan sekutunya itu, sebab stabilitas politik di kawasan hanya bisa dijamin dengan kehadiran Arung Palakka (hal. 113 - 124).

Bahkan, meskipun VOC kemudian digantikan oleh Pemerintahan Hindia Belanda, Bone tetap menjadi sandungan bagi kekuasaannya. Maka tak heran, Hindia Belanda merasa perlu menaklukkan Bone dalam sebuah perang heroik yang dikenal dengan nama Rumpa'na Bone yang berakhir pada 18 November 1905 (hal. 214). Bone menjadi kerajaan terakhir yang ditaklukkan di kawasan. Sekira 238 tahun setelah Gowa ditaklukkan VOC melalui perjanjian Bongayya, 18 November 1667.

Penasaran dengan kelanjutan kisah perihal Kerajaan Bone?  Tak ada salahnya mencoba menyimak ulasan dari Dra. Asmat Riady Lamallongeng dan H.A. Muhammad Faisal, SE., M.Si. dalam buku yang berjudul 'Kerajaan Bone di Lintasan Sejarah'. Buku terbitan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bone pada tahun 2015 ini layak menjadi pemantik bagi penelusuran sejarah kerajaan ini beserta tokoh-tokohnya (terutama Arung Palakka) yang terlanjur terstigma negatif dalam narasi besar sejarah bangsa ini.

Akankah kita akan tetap percaya bahwa Arung Palakka, warga dan Kerajaan Bone adalah penghianat karena bekerjasama dengan VOC? Atau akan lahir perspektif baru dalam melihat pilihan sikap ini berdasarkan konteks historis yang melingkupi Arung Palakka saat itu? Buku ini tak berpretensi sampai ke sana, melainkan hanya berusaha memaparkan arus sejarah apa adanya. Meski tak bisa dimungkiri, setiap buku sejarah akan selalu bernuansa subyektif. Maka mari membaca dengan kritis.

Tulisan ini dimuat di MAKASSARBUKU.NET, pada tanggal 25 November 2016.

1 Komentar

Lebih baru Lebih lama