#1
Sudah memasuki hari ketiga, Rumah Adat Luwu ramai dengan manusia. Hari-hari sebelumnya, rumah panggung yang berada dalam kompleks cagar budaya Benteng Somba Opu hanya dihuni para penjaga beserta keluarganya, mungkin juga bersama jin penunggu rumah tua.
Sejak pameran pembangunan dialihkan lokasi pelaksanaannya ke Celebes Convention Centre, kompleks yang sering juga disebut sebagai Taman Mini Sulawesi Selatan itu lengang dari aktivitas manusia. Hanya sesekali kawasan itu diramaikan oleh kegiatan pelatihan, rapat kerja, atau musyawarah dan sejenisnya oleh organisasi kemahasiswaan.
Seperti yang tampak pada Rumah Adat Luwu tiga hari terakhir. Rumah itu menjadi pilihan bagi sekelompok aktivis mahasiswa berkantong cekak untuk menggelar rekruitmen anggota baru, mereka yang diharapkan akan melanjutkan perjuangan organisasi tanpa menuntut pamrih.
Pagi itu, berbeda dengan hari sebelumnya yang cerah, mentari agak mendung. Enam orang pelaksana kegiatan mengisi paginya dengan diskusi ngalor-ngidul. Sesekali mereka terbahak, namun lebih sering mereka menatap ke gawai masing-masing. Ketika tema pembicaraan mulai terasa garing, mereka memilih saling diam dan larut dalam pikiran masing-masing.
Karena tak juga menemukan tema baru yang menarik, dalam diam mereka meraih gawai masing-masing. Jemari menjadi sibuk memencet tombol, berkirim pesan, bertukar kabar dengan seseorang yang entah siapa. Terkadang mereka cemberut, ada yang senyum kecut, namun kadang pula tertawa dengan sumringah.
#2
Senyum Tasrif mengembang, dia beranjak menuju tepi halaman, tepat di bawah tirisan air dari atap. Ponselnya disibukkan oleh lalulintas data melalui aplikasi Facebook Messanger. Aplikasi dengan latar bulatan biru muda diimbuhi ukiran laksana petir warna putih, tak henti mengantar jemput pesan. Begini percakapannya:
Tasrif: Bagaimana Dek, bagusji acaranya?
Jawaban: Alhamdulillah, memberi pencerahan, Kak.
Tasrif: Saya juga berharap, bisaki' terus aktif setelah kegiatan ini. Pasti lebih seru.
Setelah mengirim pesan, Tasrif lagi-lagi tersenyum.
#3
Naja yang memilih berdiri tepat di dekat tiang soko guru rumah, menatap ponselnya yang berbunyi pelan, PING!. Sebuah pesan mampir di Blackberry Messengernya. Aplikasi yang pernah begitu populer dan berjaya beberapa waktu lalu menginformasikan adanya pesan baru yang meminta perhatian.
Naja: Kenapaki'?
Jawaban: Kak, siapa itu Tasrif?
Naja: Salahsatu panitia, kenapa Dik?
Jawaban: Tidakji Kak. Hehehehe...
Refleks, Naja menatap ke arah Tasrif yang tersenyum sendiri sambil menatap layar ponselnya.
#4
Agus yang juga berdiri tak jauh dari Naja, sibuk mengetik sms di ponsel monoponik-nya.
Agus: Adek, Kakak liat ko cantik sekali eee...
Jawaban: Aduh Kakak, Adik ke sini mau belajar, jangan mengganggu!
Agus: Ih, Kakak serius ini. Ko mo jadi...
Jawaban: Mau jadi apa?
Agus: Mo jadi itu too..
Jawaban: Kakak, sudah! Nanti adik lapor sama senior!
Agus meletakkan ponsel, mukanya pias, kehilangan kata. Padahal dia cuma mau bilang agar yang dia hubungi siap jadi panitia pelatihan angkatan berikutnya.
#5
Dengan masih mengenakan sarung warna abu-abu bermotif kotak kesayangannya, Baihaqi memilih berleha-leha di ayunan yang terpasang di kolong rumah agak ke sudut.
Jemarinya dengan lincah berpindah dari satu huruf ke huruf lain pada keyboard di smartphone layar sentuh miliknya.
Dia lagi mencoba menggunakan SKOUT, aplikasi pertemanan yang menunjukkan jarak tempuh antar teman.
Tak lama sebuah pesan masuk.
Pesan: Hi
Hi juga. Jawab Baihaqi.
Pesan: Lagi di Benteng ya?
Loh, kok bisa tahu, Kamu intel ya? Baihaqi yang baru mencoba aplikasi tersebut, kaget. Pikirnya, jangan-jangan SKOUT ini alat para intel. Buru-buru dia menutup aplikasi itu, padahal sebuah pesan baru masuk.
Pesan: Kan muncul di aplikasi, bahwa kita berjarak sekira 25 meter. Jangan-jangan kamu juga di rumah adat Luwu? Peserta juga ya?
Tapi sayang, pesan itu tak sempat Baihaqi baca.
#6
Kotak simbol warna hijau cerah dengan tulisan LINE di tengahnya memunculkan angka 1 warna merah di tengah lingkaran kecil pas di sudut kanan atas simbol aplikasi.
Feby yang lagi duduk di anak tangga teratas rumah adat Luwu langsung meraih gawai.
Wah, ada teman baru nih, siapa ya? Gumam Feby lirih, kirimi simbol jempol ah.
Tak lama jawaban mampir.
Pesan: Kakak yang di tangga itu ya? Berbalik dong, Kak.
Jawaban: Jangan, bukan mahram, kita harus menjaga hijab.
Pesan: Kak kauwwe, penasaranja' sama wajahta'. Tidak mungkinji kapang saya langsung jatuh cinta.
Jawaban: Jangan salah, sudah banyak yang mengaku jatuh padaku pada pandangan pertama.
Pesan: Geer ta', Kak.
Jawaban: Iya dong, senior harus jaga wibawa.
Sepi, tak ada jawaban. Feby berusaha berbalik, yang nampak hanya peserta lelaki, yang perempuan berada di balik tirai.
#7
Mukti nampak gelisah, setiap beberapa kala, teleponnya bergetar halus, +6281 3549 91579 terpampang di layar. Itu berarti nomor baru, tak tercatat di buku telepon. Dia coba memanggil balik, selalu di tolak. Tapi tak lama, panggilan itu datang lagi.
Mukti berinisiatif menulis pesan: Tabe' siapa ki', ada yang bisa saya bantu?
Tak ada jawaban.
Mukti menulis lagi: Tabe' lagi, tidak ada pulasata'? Saya pa pale' telponki'.
Lagi-lagi tak ada jawaban.
Mukti kembali mengirim pesan: Awee kasi', siapa lagi yang kerjaika' ini?
Jawaban tak ada.
#8
Siapa itu yang selalu main HP? Tanya Kak Irfan yang lagi menjelaskan soal paradigma keilmuan. Tak ada jawaban.
He, kau yang jilbab taplak meja warna biru laut berenda merah, kenapa tertawa barusan? Seru Irfan sambil menunjuk ke salah seorang peserta.
Kau yang main HP ya?
Tak ada jawaban, hanya anggukan.
Apa isi di HP kamu lebih penting dari penjelasan saya?
Yang ditanya tersenyum kecut.
Kenapa senyum? Kamu tak menghargai senior ya? Baru masuk sudah kurang ajar!
Ruang menjadi sunyi seperti kuburan.
Siapa nama kamu? Iya, kamu jilbab taplak meja warna biru laut berenda merah, namamu siapa? Selidik Kak Irfan.
Hajrah, Kak. Terdengar sambut dengan suara bergetar.
Sudah memasuki hari ketiga, Rumah Adat Luwu ramai dengan manusia. Hari-hari sebelumnya, rumah panggung yang berada dalam kompleks cagar budaya Benteng Somba Opu hanya dihuni para penjaga beserta keluarganya, mungkin juga bersama jin penunggu rumah tua.
Sejak pameran pembangunan dialihkan lokasi pelaksanaannya ke Celebes Convention Centre, kompleks yang sering juga disebut sebagai Taman Mini Sulawesi Selatan itu lengang dari aktivitas manusia. Hanya sesekali kawasan itu diramaikan oleh kegiatan pelatihan, rapat kerja, atau musyawarah dan sejenisnya oleh organisasi kemahasiswaan.
Seperti yang tampak pada Rumah Adat Luwu tiga hari terakhir. Rumah itu menjadi pilihan bagi sekelompok aktivis mahasiswa berkantong cekak untuk menggelar rekruitmen anggota baru, mereka yang diharapkan akan melanjutkan perjuangan organisasi tanpa menuntut pamrih.
Pagi itu, berbeda dengan hari sebelumnya yang cerah, mentari agak mendung. Enam orang pelaksana kegiatan mengisi paginya dengan diskusi ngalor-ngidul. Sesekali mereka terbahak, namun lebih sering mereka menatap ke gawai masing-masing. Ketika tema pembicaraan mulai terasa garing, mereka memilih saling diam dan larut dalam pikiran masing-masing.
Karena tak juga menemukan tema baru yang menarik, dalam diam mereka meraih gawai masing-masing. Jemari menjadi sibuk memencet tombol, berkirim pesan, bertukar kabar dengan seseorang yang entah siapa. Terkadang mereka cemberut, ada yang senyum kecut, namun kadang pula tertawa dengan sumringah.
#2
Senyum Tasrif mengembang, dia beranjak menuju tepi halaman, tepat di bawah tirisan air dari atap. Ponselnya disibukkan oleh lalulintas data melalui aplikasi Facebook Messanger. Aplikasi dengan latar bulatan biru muda diimbuhi ukiran laksana petir warna putih, tak henti mengantar jemput pesan. Begini percakapannya:
Tasrif: Bagaimana Dek, bagusji acaranya?
Jawaban: Alhamdulillah, memberi pencerahan, Kak.
Tasrif: Saya juga berharap, bisaki' terus aktif setelah kegiatan ini. Pasti lebih seru.
Setelah mengirim pesan, Tasrif lagi-lagi tersenyum.
#3
Naja yang memilih berdiri tepat di dekat tiang soko guru rumah, menatap ponselnya yang berbunyi pelan, PING!. Sebuah pesan mampir di Blackberry Messengernya. Aplikasi yang pernah begitu populer dan berjaya beberapa waktu lalu menginformasikan adanya pesan baru yang meminta perhatian.
Naja: Kenapaki'?
Jawaban: Kak, siapa itu Tasrif?
Naja: Salahsatu panitia, kenapa Dik?
Jawaban: Tidakji Kak. Hehehehe...
Refleks, Naja menatap ke arah Tasrif yang tersenyum sendiri sambil menatap layar ponselnya.
#4
Agus yang juga berdiri tak jauh dari Naja, sibuk mengetik sms di ponsel monoponik-nya.
Agus: Adek, Kakak liat ko cantik sekali eee...
Jawaban: Aduh Kakak, Adik ke sini mau belajar, jangan mengganggu!
Agus: Ih, Kakak serius ini. Ko mo jadi...
Jawaban: Mau jadi apa?
Agus: Mo jadi itu too..
Jawaban: Kakak, sudah! Nanti adik lapor sama senior!
Agus meletakkan ponsel, mukanya pias, kehilangan kata. Padahal dia cuma mau bilang agar yang dia hubungi siap jadi panitia pelatihan angkatan berikutnya.
#5
Dengan masih mengenakan sarung warna abu-abu bermotif kotak kesayangannya, Baihaqi memilih berleha-leha di ayunan yang terpasang di kolong rumah agak ke sudut.
Jemarinya dengan lincah berpindah dari satu huruf ke huruf lain pada keyboard di smartphone layar sentuh miliknya.
Dia lagi mencoba menggunakan SKOUT, aplikasi pertemanan yang menunjukkan jarak tempuh antar teman.
Tak lama sebuah pesan masuk.
Pesan: Hi
Hi juga. Jawab Baihaqi.
Pesan: Lagi di Benteng ya?
Loh, kok bisa tahu, Kamu intel ya? Baihaqi yang baru mencoba aplikasi tersebut, kaget. Pikirnya, jangan-jangan SKOUT ini alat para intel. Buru-buru dia menutup aplikasi itu, padahal sebuah pesan baru masuk.
Pesan: Kan muncul di aplikasi, bahwa kita berjarak sekira 25 meter. Jangan-jangan kamu juga di rumah adat Luwu? Peserta juga ya?
Tapi sayang, pesan itu tak sempat Baihaqi baca.
#6
Kotak simbol warna hijau cerah dengan tulisan LINE di tengahnya memunculkan angka 1 warna merah di tengah lingkaran kecil pas di sudut kanan atas simbol aplikasi.
Feby yang lagi duduk di anak tangga teratas rumah adat Luwu langsung meraih gawai.
Wah, ada teman baru nih, siapa ya? Gumam Feby lirih, kirimi simbol jempol ah.
Tak lama jawaban mampir.
Pesan: Kakak yang di tangga itu ya? Berbalik dong, Kak.
Jawaban: Jangan, bukan mahram, kita harus menjaga hijab.
Pesan: Kak kauwwe, penasaranja' sama wajahta'. Tidak mungkinji kapang saya langsung jatuh cinta.
Jawaban: Jangan salah, sudah banyak yang mengaku jatuh padaku pada pandangan pertama.
Pesan: Geer ta', Kak.
Jawaban: Iya dong, senior harus jaga wibawa.
Sepi, tak ada jawaban. Feby berusaha berbalik, yang nampak hanya peserta lelaki, yang perempuan berada di balik tirai.
#7
Mukti nampak gelisah, setiap beberapa kala, teleponnya bergetar halus, +6281 3549 91579 terpampang di layar. Itu berarti nomor baru, tak tercatat di buku telepon. Dia coba memanggil balik, selalu di tolak. Tapi tak lama, panggilan itu datang lagi.
Mukti berinisiatif menulis pesan: Tabe' siapa ki', ada yang bisa saya bantu?
Tak ada jawaban.
Mukti menulis lagi: Tabe' lagi, tidak ada pulasata'? Saya pa pale' telponki'.
Lagi-lagi tak ada jawaban.
Mukti kembali mengirim pesan: Awee kasi', siapa lagi yang kerjaika' ini?
Jawaban tak ada.
#8
Siapa itu yang selalu main HP? Tanya Kak Irfan yang lagi menjelaskan soal paradigma keilmuan. Tak ada jawaban.
He, kau yang jilbab taplak meja warna biru laut berenda merah, kenapa tertawa barusan? Seru Irfan sambil menunjuk ke salah seorang peserta.
Kau yang main HP ya?
Tak ada jawaban, hanya anggukan.
Apa isi di HP kamu lebih penting dari penjelasan saya?
Yang ditanya tersenyum kecut.
Kenapa senyum? Kamu tak menghargai senior ya? Baru masuk sudah kurang ajar!
Ruang menjadi sunyi seperti kuburan.
Siapa nama kamu? Iya, kamu jilbab taplak meja warna biru laut berenda merah, namamu siapa? Selidik Kak Irfan.
Hajrah, Kak. Terdengar sambut dengan suara bergetar.
Tags:
Cerita Pendek