Tan Malaka dan Lima Bulan yang Tak Biasa

[07.12.2016] “…Pintu Sarekat Islam selalu terbuka buat Saudara. Itu kata perpisahan yang diucapkan oleh Saudara Tjokroaminoto kepada saya.” Ungkap Ipie sebagaimana disitir oleh Anhar Gonggong. Ipie atau bernama lengkap Ibrahim Gelar Datuk Tan Malaka, pertama kali bertemu dengan Tjokroaminoto awal Maret 1921.

Adalah R. Soetopo, seorang guru pada Sekolah Pertanian di Purworejo yang menjadi jembatan pertemuan singkat tersebut. Bekas redaktur kepala surat kabar Boedi Oetomo tersebutlah yang mengenalkan Ipie kepada Tjokroaminoto, Darsono, dan Semaoen. Pertemuan ini pun dikonfirmasi oleh Harry A. Poeze dalam bukunya, Tan Malaka: Pergulatan Menuju Republik Indonesia 1897-1925.

Pertemuan singkat itu, berlangsung di saat 57 delegasi Sarekat Islam lokal bertemu di Yogyakarta. Central Sarekat Islam menggelar kongresnya di kota itu, 2-6 Maret 1921. Meski sekilas, bagi Ibie, Tjokro dan SI telah meninggalkan kesan tersendiri dalam jiwa mantan siswa Rijks Kweekschool di Harleem, Belanda.

Ibie, sebagaimana Tjokro, berusaha menjaga agar front Islam dan Komunis jangan sampai berpecah. Namun saat itu, posisi Tjokro dan SI dalam kondisi goyah akibat krisis kepemimpinan Tjokro sebagai efek dari serangan Darsono dan Baars. Tjokro didakwah korup. Meski pada akhirnya tidak terbukti, posisi Tjokro terlanjur goyah.

Situasi ini diperparah dengan renggangnya hubungan faksi Islam dan faksi Komunis di dalam SI akibat gerakan anti-Komunis yang digerakkan oleh Agoes Salim, Abdul Muis, dan Fachruddin. Bahkan, ketegangan ini berujung pada kebijakan disiplin partai pada Oktober 1921, dengan tersingkirnya group Semaoen dari SI.

Ibie tak punya waktu banyak untuk berdiskusi perihal ini dengan Tjokro. Dua bulan sebelum disiplin partai diterapkan, atau lima bulan sejak mereka bertemu untuk pertamakalinya di Yogyakarta, awal Maret 1921, Tjokroaminoto akhirnya ditahan oleh Belanda, tepatnya pada 30 Agustus 1921.

Meski demikian, Ibie tetap berusaha menjaga komunikasi antara kedua faksi yang terbelah, demi menjaga fokus pada kemerdekaan bumiputera. Ibie menggungat sikap kaum pergerakan komunis yang terkesan tak peduli dengan penahanan Tjokro. “…Tatkala Tjokroaminoto ditangkap, tidak sepatah kata pun terucap sebagai tanda protes.”

Ibie juga menunjukkan sikapnya tersebut pada saat mengganti Semaoen membuka kongres Partai Komunis Indonesia, 24 Desember 1921, kongres yang kemudian memilihnya menjadi ketua partai. Ungkapnya, “Perlawanan itu telah tumbuh dalam bentuk yang luas sekali, bahkan sampai bidang pendidikan. Ingatlah apa yang terjadi dengan sekolah Sarekat Islam di Semarang.”

Tragisnya lagi, saat Tjokro dibebaskan dari tahanan pada April 1922, dua bulan sebelumnya, tepatnya 13 Februari 1922, Tan Malaka bersama gurunya, Pieter Bergsma ditangkap dan diasingkan ke luar Hindia. Saat Tan Malaka kembali ke Indonesia pada 11 Juli 1942, Tjokro telah wafat sewindu sebelumnya, 17 Desember 1934.

 “…Pintu Sarekat Islam selalu terbuka buat Saudara. Itu kata perpisahan yang diucapkan oleh Saudara Tjokroaminoto kepada saya.” Ungkap Ipie sebagaimana disitir oleh Anhar Gonggong. Ipie atau bernama lengkap Ibrahim Gelar Datuk Tan Malaka, pertama kali bertemu dengan Tjokroaminoto awal Maret 1921.

Adalah R. Soetopo, seorang guru pada Sekolah Pertanian di Purworejo yang menjadi jembatan pertemuan singkat tersebut. Bekas redaktur kepala surat kabar Boedi Oetomo tersebutlah yang mengenalkan Ipie kepada Tjokroaminoto, Darsono, dan Semaoen. Pertemuan ini pun dikonfirmasi oleh Harry A. Poeze dalam bukunya, Tan Malaka: Pergulatan Menuju Republik Indonesia 1897-1925.

Pertemuan singkat itu, berlangsung di saat 57 delegasi Sarekat Islam lokal bertemu di Yogyakarta. Central Sarekat Islam menggelar kongresnya di kota itu, 2-6 Maret 1921. Meski sekilas, bagi Ibie, Tjokro dan SI telah meninggalkan kesan tersendiri dalam jiwa mantan siswa Rijks Kweekschool di Harleem, Belanda.

Ibie, sebagaimana Tjokro, berusaha menjaga agar front Islam dan Komunis jangan sampai berpecah. Namun saat itu, posisi Tjokro dan SI dalam kondisi goyah akibat krisis kepemimpinan Tjokro sebagai efek dari serangan Darsono dan Baars. Tjokro didakwah korup. Meski pada akhirnya tidak terbukti, posisi Tjokro terlanjur goyah.

Situasi ini diperparah dengan renggangnya hubungan faksi Islam dan faksi Komunis di dalam SI akibat gerakan anti-Komunis yang digerakkan oleh Agoes Salim, Abdul Muis, dan Fachruddin. Bahkan, ketegangan ini berujung pada kebijakan disiplin partai pada Oktober 1921, dengan tersingkirnya group Semaoen dari SI.

Ibie tak punya waktu banyak untuk berdiskusi perihal ini dengan Tjokro. Dua bulan sebelum disiplin partai diterapkan, atau lima bulan sejak mereka bertemu untuk pertamakalinya di Yogyakarta, awal Maret 1921, Tjokroaminoto akhirnya ditahan oleh Belanda, tepatnya pada 30 Agustus 1921.

Meski demikian, Ibie tetap berusaha menjaga komunikasi antara kedua faksi yang terbelah, demi menjaga fokus pada kemerdekaan bumiputera. Ibie menggungat sikap kaum pergerakan komunis yang terkesan tak peduli dengan penahanan Tjokro. “…Tatkala Tjokroaminoto ditangkap, tidak sepatah kata pun terucap sebagai tanda protes.”

Ibie juga menunjukkan sikapnya tersebut pada saat mengganti Semaoen membuka kongres Partai Komunis Indonesia, 24 Desember 1921, kongres yang kemudian memilihnya menjadi ketua partai. Ungkapnya, “Perlawanan itu telah tumbuh dalam bentuk yang luas sekali, bahkan sampai bidang pendidikan. Ingatlah apa yang terjadi dengan sekolah Sarekat Islam di Semarang.”

Tragisnya lagi, saat Tjokro dibebaskan dari tahanan pada April 1922, dua bulan sebelumnya, tepatnya 13 Februari 1922, Tan Malaka bersama gurunya, Pieter Bergsma ditangkap dan diasingkan ke luar Hindia. Saat Tan Malaka kembali ke Indonesia pada 11 Juli 1942, Tjokro telah wafat sewindu sebelumnya, 17 Desember 1934.

Dimuat di EDUNEWS.ID, pada tanggal 6 Desember 2016

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama