Ahad siang di akhir Desember 2016, di sebuah persamuhan keilmuan
yang diselenggarakan oleh sebuah komunitas perempuan, seorang kawan yang turut
hadir menyodorkan buku setebal 430 halaman. Sebuah novel. Kisahnya diangkat
dari kejadian nyata, perjalanan hidup penulisnya sendiri, saat ini sebagai Guru
Besar termuda di Universitas Negeri Makassar (UNM). Demikian pengantar singkat
kawan tersebut, mempromosikan novel dosennya.
Wah, telaten
juga penulisnya, pikirku. Bisa dibayangkan kesibukan seorang profesor. Meski memang
berlatar fakultas sastra, namun mampu menyisihkan masa menulis novel di tengah
rutinitas akademik yang menyita waktu, adalah hal yang luar biasa. Bagaimana
dia menata waktu dan memetakan pikiran? Bukankah aktivitas akademik lebih
menuntut aktivitas kepenulisan bersifat non fiksi, sementara novel adalah karya
fiksi?
Setelah
menuntaskan novel tersebut di sela liburan awal tahun 2017, bisa dimengerti
bagaimana seorang mahaguru bisa menulis novel tebal. Pengalaman hidup yyang
diceritakan dalam novel menjadi alasan pembenar yang meyakinkan. Kegigihannya
yang tak kenal letih, keteguhannya pada keinginan dan cita-cita, kekuatannya
menghadapi sindiran dan sentilan, serta kecerdikannya meracik motivasi dari
patah hati yang dialami membuat novel ini pantas lahir.
Kisah ini
dirajut mengikuti fase kehidupan tokoh utama yang merupakan personifikasi
penulis, Dara –lengkapnya Andara diambil
dari istilah ana' dara yang bermakna anak gadis dalam bahasa bugis. Warita
dimulai dengan aktivitas Dara yang sudah bahagia dan mulai menuliskan kisah
hidupnya. Dara menganggit cerita hidupnya dalam penggal kejadian yang disusun
secara kronologis dari situasi Dara sebagai anak desa yang sederhana sampai
kehidupan Dara yang menikmati kebahagiaan dengan bersahaja.
Mendaras
novel ini ibarat menonton perjuangan Dara membebaskan diri dari belitan takdir
dan garis tangan yang diyakini oleh masyarakatnya sebagai sesuatu yang harus
diterima begitu saja dengan ikhlas. Gadis yang dijodohkan dengan keluarga
ibunya –seorang sopir pete’-pete’ di
Ujungpandang– sejak lulus Sekolah Dasar, berhasil memutus perjodohan itu
dan baru menikah dengan lelaki pilihannya sendiri di separuh waktu program
doktoralnya di Australia.
Yang menarik,
Murni Mahmud dengan gamblang mewartakan kisah cintanya dengan Arya, seorang
mahasiswa strata satu (S1) semester pertama, sementara saat itu, dirinya sudah
menempuh program magister di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta sebagai
salahsatu penerima beasiswa unggulan University
Research for Graduate Education (URGE). Bisa anda bayangkan bagaimana
lucunya membaca kisah percintaan dengan jarak usia dan jenjang pendidikan yang
jomplang, di mana si wanita lebih senior.
Belum lagi
dengan kisah cinta pertamanya dengan seorang mahasiswa senior dari kampung
tetangga, saat itu dia masih siswa di Sekolah Pendidikan Guru (SPG). Seorang
lelaki yang dia anggap cerdas karena berhasil kuliah di Makassar, dan yang
lebih utama, lelaki itu memiliki hidung yang melengkung indah ibarat paruh
burung, seperti hidung bintang film India. Seorang lelaki yang menjadi semacam cidaha (cinta dalam hati) bagi Dara,
yang mereka jalani dalam bentuk Hubungan Tanpa Status (HTS).
Lelaki itu,
Arman namanya. Lelaki yang tak pernah memberi kepastian hubungan dalam bentuk
pernyataan cinta. Namun karena begitu cintanya Dara pada lelaki itu, dia
menyenangkan diri dengan nasihat bernada merdu bahwa cinta memang tak harus
dikatakan, cukup sorot mata dan perhatian yang menjadi tanda. Meski pada
akhirnya, Dara harus kecewa dan terluka. Luka yang teramat dalam, namun malah
menjadi kekuatan baginya untuk bangkit.
Saat dalam
proses penyelesaian magisternya, ketika cintanya dengan Arya juga tak menemukan
kata pasti, tiba-tiba telepon dari ayahnya perihal lamaran dari Arman, membuat
hatinya goyah. Dara merasa dihadapkan pada pilihan pelik, antara menerima
dengan kegembiraan yang meluap, betapa cinta pertamanya akan mengabadi, ataukah
dia akan menolak tersebab munculnya keraguan akan motif yang mendorong Arman
melamarnya.
Maka ketika
Dara memutuskan untuk menolak lamaran Arman, dia merasa perlu pulang kampung
untuk melihat reaksi Arman akan sikapnya. Dia berharap Arman akan mati-matian
memperjuangkan cinta sejatinya dan tak mundur karena penolakan Dara. Namun
nyatanya, Arman malah mundur tanpa usaha lebih jauh mendapatkan cinta Dara
kembali, bahkan, Arman mengalihkan lamarannya ke perempuan lain seolah tanpa
beban cinta dengan Dara.
Di kampung,
Dara juga menemukan kenyataan bahwa Arman melamarnya bukan karena mereka pernah
(dan masih) saling mencintai secara sublim, Arman melamar hanya karena alasan
politis, dirinya butuh cantolan untuk mengangkat derajatnya. Betapa dia akan
mendapat durian runtuh bila berhasil mempersunting Dara, seorang calon magister
di UGM. Begitu mengetahui fakta tersebut, Dara begitu bersyukur atas
keberaniannya mengemukakan penolakan.
Bahkan sebuah
kesadaran baru menggumpal di dadanya, bahwa tak benar kata pemeo yang
menegaskan bahwa cinta itu buta. Tidak, bagi Dara, cinta tidak buta, dan tidak
boleh buta. Cinta harus tetap mengedepankan rasionalitas dan pertimbangan akal
sehat. Maka dia menegaskan sikapnnya dengan mengatakan, “Maaf, ada kepentingan
dari cintamu. Terpaksa aku menolakmu. Ternyata selama ini aku melupakan logika.”
Ada banyak
bagian dalam novel ini, baik berupa dialog antar tokoh maupun narasi segar yang
menunjukkan bagaimana cara pandang Murni Mahmud selaku penulis terhadap dunia
percintaan. Dengan tegas, terutama di paruh akhir novelnya, Murni Mahmud
mengutarakan bahwa cinta memang tak melulu persoalan rasa yang membelenggu dan
memenjara potensi. Justru sebaliknya, cinta harus menjadi motivasi yang kukuh.
Apa yang
diwaritakan oleh Murni Mahmud dalam Sang Etnograf adalah rerangkai pembuktian
akan keyakinan pada kekuatan cinta yang agung dalam menggerakkan dan
membangkitkan mereka yang pernah jatuh dan kalah. Sebagai novel yang berbasis
pada kisah nyata perjalanan hidup si penulis, menjadi kekuatan tersendiri novel
ini. Waima diramu dalam kemasan fiksi, kita seakan menyaksikan perjalanan hidup
seorang Murni Mahmud sebagai sebuah fakta.
Tak
kalah menarik adalah pertemuan antara Murni Mahmud dengan Hamdan Juhannis di
Australia. Fase ini menggambarkan bagaimana para scholar kita di luar negeri saling mendukung dan memotivasi. Menemukan
fase ini, seakan menegaskan kecurigaanku bahwa ada kelindan nasib di antara
mereka berdua. Hamdan bahkan mengarahkan Murni sekondannya untuk
melakukan penelitian di kampung halamannya di Kabupaten Bone, kampung dimana
penulis kemudian bertemu jodohnya.
Lain sisi, Hamdan Juhannis menjadi profesor termuda
Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar (UINAM), sementara Murni Mahmud
menjadi profesor termuda Universitas Negeri Makassar (UNM). Hamdan pun telah
lebih dulu menorehkan kisah hidupnya dalam novel dengan tajuk ‘Melawan Takdir’.
Lagi-lagi aku curiga, Sang Etnograf adalah sebentuk upaya mengejar pencapaian
Hamdan. Murni Mahmud menjadikan Hamdan sebagai altar egonya.
Namun yang
paling membuat penasaran adalah ketika kisah tiba-tiba lompat pada situasi si
penulis sudah menikah dengan lelaki yang tidak pernah diceritakan di sepanjang
novel ini didedah. Menjadi pertanyaan yang sepertinya sengaja dibiarkan
menggantung di perdu hati pembaca oleh Murni mahmud adalah, bagaimana
seluk-beluk dari pertemuan pertama mereka sampai berakhir di pelaminan?
Apakah lelaki
itu buah cinta buta, sehingga si penulis enggan menuliskannya, atau benarkah
dia adalah hasil dari proses percintaan yang tetap berbasis pada logika? Tapi
apapun jawabannya, itu adalah misteri novel ini. Tak ada salahnya buku yang
mengulik cinta secara tak biasa ini didaras secara serius, meski memang kita
harus bersabar bila mengharap liukan dramatis ala Tere Liye, sebab novel ini
tak menyajikan narasi semisal itu.
Bahkan bagi
para pembaca novel best seller,
mungkin akan agak terganggu dengan gaya penulisan yang terkesan jauh dari
kaidah penulisan novel yang menarik, namun di separuh akhir novel, kekuatan
cerita yang dipaparkan mampu mengalihkan perhatian pembaca dari gaya
penulisannya. Toh, apalah arti jebakan tampilan material, seperti klaim
penulisnya, “Cinta pun sebuah ‘discourse’... maka lihatlah cinta yang
sebenarnya bukan hanya pada kata atau kalimat yang terucapkan, tapi lebih pada
makna yang tersirat”.
Maka,
mari membaca curahan hati Murni Mahmud dengan hati, cobalah mengabaikan
beberapa kekeliruan huruf dan nama tokoh, serta memaklumi pilihan diksi yang
terkesan klise, terutama di paruh awal novel. Maka darinya, kita bisa mencoba
merangkum makna, menjadi bekal merangkai hari.
Reviu ini dimuat di EDUNEWS.ID edisi Ahad, 22 Januari 2016
Tags:
Resensi