Resensi: Arung Palakka Menghukum Todani Arung Bakke

[07.02.2017] Arung Palakka --bernama lengkap La Tenritatta To Unru Petta To Ri SompaE MalampeE Gemme'na Daeng Serang To' Appatunru Paduka Sultan Sa'adduddin-- memang tak lagi sekedar nama seorang pelaku dinamika sejarah masa lalu, dia telah menjadi penanda bagi sepenggal kisah yang penuh kontroversi di jazirah selatan Sulawesi. Ketika namanya disodorkan ke publik, beragam tanggapan mengemuka, baik yang positif, apalagi yang negatif.

Ada yang sedemikian membenci, sampai patung Arung Palakka yang bertengger kukuh di Pantai Losari hendak dijungkalkan. Atau merasa haram menyebut namanya, sehingga Arung Palakka dia gelari Si Pencuri. Namun tak sedikit yang juga memujanya, bahkan menjadikan ilustrasi wajahnya sebagai jimat penjaga yang diselipkan di dalam dompet.

Tapi bukan perihal itu yang diulik oleh Syahrir Kila dalam buku yang terbit perdana pada tahun 2014 ini. Syahrir memilih menyigi dinamika hubungan antara Arung Pakalla dengan adik iparnya, Todani Arung Bakke' dengan lanskap semenanjung selatan Sulawesi beberapa tahun pasca ditandatanganinya Perjanjian Bugayya. Todani menikah dengan adik Arung Palakka yang bernama We Kacimpurang --dalam sumber lain disebut We Tenrigiring.

Todani bukanlah orang baru bagi Arung Palakka. Lelaki perkasa yang belakangan menjadi penguasa tunggal 9 kerajaan -meliputi Sawitto, Sidenreng, Suppa', Alitta, Rappang, Galingkang, Pattojo, Citta, dan Bakke'- di kawasan yang dikenal sebagai wilayah Ajattappareng ini telah menyertai Arung Palakka semenjak pelariannya dari Makassar, 1 Oktober 1660.

Namun kemesraan dan kerapatan hubungan mereka perlahan merenggang seiring dengan makin kuatnya posisi politik Todani di wilayah Ajattappareng dan gagalnya mediasi untuk menyelamatkan pernikahannya dengan We Kacimpurang. We Kacimpurang memilih kembali ke sisi kakaknya, Arung Palakka.

Suasana sosial politik di semenanjung selatan Sulawesi pasca Perjanjian Bungayya berangsur pulih di bawah kendali Arung Palakka dengan dukungan VOC. Mereka membangun pertalian politik yang unik. Di satu sisi, VOC menginginkan penguasaan penuh atas wilayah, tapi di sisi lain mereka tak punya akses langsung ke penguasa lokal.

VOC merasa Arung Palakka sebagai batu sandungan bagi kekuasaan penuh mereka di kawasan, namun pada saat yang sama, VOC menyadari bahwa hanya Arung Palakka yang bisa menjaga stabilitas politik di kawasan yang menjadi syarat bagi sehatnya proses perdagangan dan aktivitas ekonomi. Maka VOC dan Arung Palakka membangun relasi politik untuk saling menjaga demi kepentingan masing-masing.

Sebagai penguasa tunggal di kawasan, Arung Palakka mewajibkan semua penguasa lokal yang akan berkomunikasi dengan pihak VOC, harus melalui dirinya. Begitupun bagi VOC, Arung Palakka membatasi akses langsung mereka ke penguasa lokal. Situasi ini membuat nilai tawar Arung Palakka di hadapan VOC cukup kuat.

Kondisi ini sebenarnya kurang disukai oleh Pimpinan VOC di Batavia, sebab mereka sudah mengeluarkan begitu besar biaya untuk menaklukkan jazirah selatan Sulawesi, namun mereka tidak bisa menjadi penguasa penuh kawasan, dan yang menjadi ganjalan terbesarnya adalah Arung Palakka, sekutu utamanya dalam proses penaklukan. VOC selalu mencari cara untuk menyingkirkan Arung Palakka tanpa menimbulkan gejolak di kawasan.

Itulah mengapa VOC tidak menanggapi serius pengaduan Arung Palakka pada awal tahun 1676 atas tindakan Sultan Muhammad Ali dan para bangsawan  Gowa yang menggauli perempuan Arung Palakka ketika mereka menginap di Istana Kerajaan Bone saat mereka melakukan kunjungan rekreasi sambil berburu rusa.

Dalam perang yang berlangsung di Makassar tersebut, Arung Palakka menyertakan tiga ribu serdadu bersenjata, termasuk pasukan pimpinan Todani. Perang itu berlarut, bahkan Arung Palakka sempat tertembak, namun diselamatkan oleh Todani. Pasukan Gowa mengepung benteng pasukan Bugis, namun tak pernah berhasil tembus, hingga akhirnya Gowa minta mediasi Kompeni. Pertemuan mediasi 13 Mei 1676, menguntungkan pasukan Bugis, Arung Palakka kembali ke Bone dengan kemenangan.

Kembali ke soal Arung Palakka dan Todani, keretakan kedua lelaki perkasa yang disatukan oleh persamaan nasib, perjuangan, dan ikatan keluarga ini mulai merenggang pada 1678, pasca ditunjukkan Todani oleh Arung Palakka untuk menduduki tahta Addatuang Sidenreng menggantikan La Suni Karaeng Massepe tahun 1677. Tak lama, tahta Addatuang Sawitto menyusul diduduki Todani setelah memaksa Latoraja menyerahkan kekuasaannya.

Alasan yang paling kentara bagi perselisihan keduanya adalah perihal hasrat kuasa. Sebagaimana La PakokoE Arung Timurung --ipar Arung Palakka yang lain, bapak La Patau Matanna Tikka-- yang harus diasingkan karena mencoba merongrong kekuasaan Arung Palakka pada tahun 1673 atas dukungan Karaeng Karungrung dan La Suni Karaeng Massepe. Akhirnya, Todani pun melakukan tindakan yang sama, namun dia melakukannya atas dukungan Kompeni secara diam-diam.

Tersebab berakhirnya pernikahannya dengan We Kacimpurang, dan tak bisa dirajut ulang, Todani memuaskan hasrat kuasanya dengan meluaskan pengaruh ke Ajangtappareng. Lima kerajaan di kawasan itu --Sawitto, Sidenreng, Suppa', Alitta, dan Rappang, ditambah empat kerajaan kecil --Galingkang, Pattojo, Citta, dan Bakke', membuat Todani merasa pantas mendapat posisi setara dengan Arung Palakka di hadapan Kompeni.

Bahkan ketika Arung Palakka diminta oleh Belanda berangkat ke Mataram untuk membantu Amangkurat II menghadapi Trunojoyo yang disokong pasukan Karaeng Galesong, Arung Palakka berangkat tanpa Pasukan Todani. Pasalnya, Arung Palakka sempat bertanya ke Todani perihal jumlah pasukan yang akan ia sertakan, Todani menjawab enteng, ".....itu tergantung pada kehendak Kompeni."

Maka ketika 1678, Todani berusaha menyenangkan Arung Palakka dengan menghadiahinya seorang budak perempuan, kehadiran Todani dan hadiahnya ditolak mentah-mentah. Atas saran Kompeni, beberapa hari berikutnya Todani kembali berkunjung, dan sayang, ia ditahan di gerbang oleh pengawal Arung Palakka dan tak diizinkan masuk.

Kompeni menyadari potensi konflik antara Arung Palakka dengan Todani kian membesar, hal yang sama pun disadari Arung Palakka maupun Todani. Maka di akhir Oktober 1680, atas saran Kompeni, Todani menemui Arung Palakka di Bontoala, kadamaian pun tercipta. Namun sayang hanya sejenak. Awal Desember 1680, Todani mengadu ke Kompeni di Fort Rotterdam bahwa dirinya jadi bahan ejekan Arung Palakka dan para pendukungnya, terutama bangsawan-bangsawan Gowa.

Todani pun mengungkap ke Kompeni bila Arung Palakka menyiapkan hukuman untuknya. Mendengar kabar itu, Arung Palakka langsung ke Fort Rotterdam untuk menanyakan kebenaran adanya laporan Todani, dan di saat yang sama Arung Palakka mengajukan bantahan. Padahal beberapa waktu sebelumnya, Arung Palakka memang telah mengonsolidasi dan meminta kesetiaan para bangsawan Gowa --di antaranya: Karaeng Karunrung, Karaeng Rappocini, Karaeng Lengkese, Karaeng Tallo, Karaeng Sanrobone, dan Karaeng Malewa.

Arung Palakka bersama para petinggi Gowa tersebut bersepakat untuk menghukum Todani dan berkomitmen bersama untuk melawan Kompeni juga bila mereka membantu Todani. Dan memang, akhirnya Kompeni memberi dukungan besar kepada Todani, meski tidak secara terang-terangan. Karena proses 'islah' tak juga membuahkan hasil, Kompeni menyarankan Todani kembali ke Ajattappareng dengan kawalan tiga kapal Belanda hingga di Pelabuhan Bacukiki.

Mendengar hal itu, Arung Palakka demikian geram, maka Kompeni merasa perlu menjelaskan bahwa tiga kapal Belanda tersebut hanya melintas, Todani hanya menumpang di salahsatu kapal sampai Bacukiki. Arung Palakka menangkap niat terselubung Kompeni untuk mengadunya dengan Todani sebagai penyeimbang kekuasaan, maka diam-diam, Arung Palakka menyusun rencana untuk menghukum Todani tanpa sepengetahuan Kompeni.

Seperti apa rencana penguasa tinggal jazirah selatan Sulawesi tersebut? Rencana yang disusun sedemikian rapi hingga istrinya pun --I Mangkawani Daeng Talele, tak mengetahui? Lalu apa langkah Todani untuk menyelamatkan diri? Dan apa pula tindakan Belanda untuk mengantisipasi kerugian besar yang akan mereka terima bila kedua bangsawan Bugis itu berseteru secara terbuka? Hal inilah yang membuat buku ini layak dibaca.

Namun sayang, sebagai sebuah karya ilmiah, buku ini tak disusun secara serius sebagai sebuah upaya penggalian fakta masalalu. Beberapa informasi dibiarkan mendua tanpa ada ketegasan sikap penulis, seperti: siapa nama saudara perempuan Arung Palakka yang diperistri Todani? Atau sikap Arung Palakka atas pelantikan Todani sebagai Arung Sawitto, apakah mendukung atau justru tak sepakat?

Hal lain yang membuat buku ini agak membosankan adalah adanya pengulangan kisah atas fase sejarah tertentu yang diceritakan dalam susunan acak --bukan dalam alur kronologis, sehingga agak merepotkan untuk mendapatkan gambaran utuh perihal alur dan eskalasi konflik antara kedua tokoh yang dikisahkan.

Buku diakhiri dengan fakta bahwa Todani menjadi tumbal dari hasrat kuasa yang dipendamnya, dipendam Arung Palakka, pula pihak Kompeni. Tapi lagi-lagi penulis tak berusaha menelusuri ulang bagaimana Todani terbunuh, malah memaparkan beragam versi yang hadir tanpa penilaian, meski di bagian kesimpulan, penulis memilih salahsatu versi tanpa argumentasi. Hal ini menerbitkan tanya, apakah ini fiksi atau sekedar kumpulan dongeng tentang heroisme masa lalu?

Penulis pun memungkas kisahnya dengan aroma kekecewaan, mengapa Arung Palakka harus memuaskan hasrat kuasanya dan menghukum iparnya. Apakah Arung Palakka telah kehilangan konsistensi? Bukankah Arung Palakka telah berjanji sejak di Muara Angke, Batavia, "Jika, dengan izin dewata, kita kembali ke tanah Bugis (tana ugi), dan jika kita diberi kemenangan oleh Dewata, persahabatan kami tidak akan rusak. Kalian orang Angke (to Angke) akan dilindungi dan diutamakan hingga sepupu tiga kali (sappo' wekka tellu)".

Terlepas dari berbagai kekurangan, buku ini layak dibaca terutama bagi para pencinta buku sejarah Sulawesi Selatan pada abad ke-17. Syahrir juga menceritakan dengan detail proses pelarian Arung Palakka dari Makassar ke Bone, lalu ke Buton dan Batavia. Di kisahnya, kita bisa melihat bagaimana kerekatan hubungan kedua tokoh yang di akhir kisah harus bersimpang jalan.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama