Tidur dan Salat Jumat yang Jauh dari Khusyuk

[31.03.2017] Aku pernah bercanda dengan beberapa kawan bahwa sesungguhnya hukum Islam adalah aturan hidup yang futuristik, menjangkau masa depan. Alasan yang aku kemukakan sederhana saja, perihal tidur duduk ketika menjelang salat jumat. Ulama dari beragam mazhab Islam memfatwakan bahwa tidur duduk bukanlah termasuk tidur yang membatalkan wudu.

Seorang kawan mencoba protes, apa pentingnya fatwa itu bagi kita? Aku paparkanlah fakta betapa banyak di antara kita yang justru bisa tertidur ketika khotbah dipaparkan. Seandainya tidur duduk bersifat membatalkan wudu, maka menjadi hebohlah suasana setiap ikamah salat jumat dikumandangkan, sebab para jamaah berlomba-lomba memperbaharui wudu.

Aku teringat dengan percakapan tersebut sekaitan peristiwa salat jumat yang kulakoni beberapa pekan silam pada salahsatu masjid di sudut kota Makassar. Sebuah kejadian yang selayaknya bisa menjadi bahan renungan bagi kita semua para lelaki yang masih rajin menyambut panggilan modin pada waktu zuhur di hari jumat. Ini bukan soal tidur duduk, tapi tidur berdiri, meski hukumnya disamakan, terkait wudu.

Siang yang gerah di sebuah masjid tanpa pendingin ruangan, aku berdiri di barisan kedua peserta salat jumat, sekira tiga atau empat orang di sebelah kanan tempat imam berdiri. Aku berada tepat di belakang seorang lelaki umur empatpuluhan yang mengenakan sarung palekat berwarna coklat muda dengan baju kemeja bercorak senada. Di kepalanya bertengger ‘peci haji’ dari anyaman benang nilon warna putih polos.

Pada rakaat pertama, imam memilih membaca surah al A’la (Makkiyah, 19 ayat). Aku begitu meresapi bacaan imamnya, selain karena qiraat-nya pas dengan seleraku, surah ini terdiri dari penggalan ayat-ayat pendek yang rimanya indah, seperti menikmati deklamasi puisi religius dari seorang penyair hebat. Suasana masjid yang lengang, menambah syahdu suasana.

Begitu bacaan imam memasuki ayat ke 13 surah al A’la, “tsumma laa yamuutu fiihaa wa laa yahyaa (selanjutnya dia di sana tidak mati dan tidak [pula] hidup)”, aku terperanjat, konsentrasiku buyar, simpul kesadaranku ambyar. Pria yang berdiri di depanku, dia terjengkang, secepat kilat kedua kakinya menjinjit, jidatnya hampir membentur tembok depan masjid.rupanya dia tertidur.

Beruntung, saat tubuhnya melayang ke depan, kesadarannya siuman, maka sebelum benturan yang menyakitkan itu terjadi, dia sempat menggerakkan kedua tangannya yang masih bersedekap ke depan, menjadi penumpu badannya yang limbung. Dia selamat. Tak kalah cepat ketika dia goyah, badannya kembali tegap, dia merapikan posisi di tengah jamaah, dan salat jumatpun seakan melupakan insiden itu.

Tapi aku, dan mungkin para jamaah yang berada pada radius lima jamaah di sisi kiri, kanan dan belakang si bapak tadi, tak mampu menyelamatkan khusyuk. Enam ayat terakhir dalam surah al A’la luput dari perhatian, apalagi upaya untuk menapaki tangga mikraj. Aku sibuk menata hati, menentramkan jiwa, mengencangkan saraf ketawa, dan menjaga mulut agar tak terbuka dan terbahak.

Ketika kususur rangkaian laku menjemput salam di penghujung rakaat kedua, kusadari bila aku tak punya daya lebih. Maka pilihan terakhir yang bisa aku lakukan adalah mengikhlaskan jumat kali ini kembali tak khusyuk, sebagaimana jumat yang telah mendahuluinya. Laa hawlaa wa laa quwwata illaa billah.

Catatan: 

Bila membutuhkan bahan tambahan terkait pendapat beragam mazhab mengenai hukum tidur duduk terkait dengan wudu, silahkan buka pada pranala berikut: Posisi Tidur Seperti Apa yang TidakMembatalkan Wudu?

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama