[18.03.2017] Sore, ayah pulang dengan membawa sebuah
kardus bekas mie instan. Itu kucing jantan dewasa, begitu jawabannya ketika aku
coba menelisik isi kardusnya. Bau pesing menguar dari lubang bulat seukuran
bola pingpong yang terdapat di dua sisi kardus. Sepertinya lubang itu sengaja
dibuat sebagai saluran sirkulasi udara agar si kucing tak sesak nafas.
“Nah, sekarang kita sudah di Makassar.”
Seru ayah sambil mengeluarkan seekor kucing dari dalam kardus. Ayah mengangkatnya
dengan memegang kulit di bagian tengkuk kucing itu. Kucingnya berbulu tiga
warna: putih, hitam, dan jingga. Kucing itu diletakkan dalam keranjang bekas
parsel lebaran kemarin, keranjangnya telah dilapisi kain perca, mungkin, agar
kucingnya merasa kerasan.
“Tenri, ke sini berkenalan dengan
anggota baru keluarga kita.” Ayah mengelus-elus bulu di kepala hingga punggung
kucing tersebut. Aku mendekat ragu, hidungku selalu gatal bila melihat tebaran
bulu kucing. Itulah sebab mengapa tak ada kucing di rumah ini sejak dulu. Entah
mengapa, tiba-tiba ayah membawa kucing ini ke rumah.
Aku mendekat dengan perlahan, kedua
jemariku saling meremas di depan dada. Kucing itu seperti menikmati elusan
ayah, tubuhnya melengkung indah, matanya terpejam, dan mulutnya seperti
mengukir senyum dalam diam.
“Ayo mendekat, namanya Karellaé. Dia
jinak kok.” Terang ayah, mencoba menguatkanku. Sebelah tangannya bergerak
meraih tanganku.
“Kau tahu? Ayah mendapatkannya setelah
membayar maharnya seharga lima juta.” Aku membelalak mendengarnya, kutatap ayah
penuh selidik. Jauh-jauh ayah ke Bone, hanya untuk menjemput kucing yang
seharga lima juta ini?
“Ini kucing langka, Tenri. Sangat susah
mendapatkan kucing jantan belang tiga yang bertahan sampai seumuran Karellaé.”
Ayah seperti mengerti makna tatapanku.
“Bila ada kucing jantan belang tiga yang
lahir, maka ibunya akan segera memangsa anaknya, bangsa kucing tak menghendaki
kehadiran mereka. Beruntung, pemilik kucing ini mengawasi dengan saksama saat
kucingnya melahirkan, jadi dia bisa menyelamatkan Karellaé.” Terang Ayah.
Aku berdiri mematung, kakiku seperti
dipaku ke lantai. Sebelah tanganku masih dalam genggaman ayah, sebelah lagi
jatuh menggantung di sisi tubuhku yang terasa kaku. Rupanya ayah tetap memercayai
kisah lama itu, warita yang menemani sejak kesadaranku mulai tumbuh, hingga
usiaku menginjak kepala dua.
*
* *
Sawérigading bersedih, lelaki perkasa
yang bergelar Opunna Warek lagi rusuh hati mendengar penjelasan La Tenri
Ranreng dan La Makkasau tentang syarat yang diajukan oleh adik mereka bila Sawerigading
benar-benar hendak menikahinya.
“Duhai Tuan, adikku menginginkan
pernikahan tanpa pesta dan upacara.” La Tenri Ranreng, Datunna Sabbang memulai
pembahasan.
“Setelah menikah, dia juga tak akan
mengizinkanmu menemuinya di tengah terang, datanglah dengan selimut malam dan
jubah kegelapan.” Lanjutnya.
Sawérigading hanya tersenyum sayu rawan
menyimak tutur kedua calon kakak iparnya. Dia mereka-reka ujung dari kisah
cintanya.
“Masih adakah syarat lainnya?”
Selidiknya kemudian.
“Tuanku hanya bisa menemuinya setelah
berhasil menembus dinding kamarnya yang tujuh lapis, dengan palang pintu yang
dikunci mati.” Kali ini, La Makkasau yang menjawab.
“Tempat tidurnya pun akan diselubungi
kelambu tujuh tingkat dengan ujung yang terjahit rapat.” Imbuhnya pula.
“Wah, rumit juga caramu sembunyi dariku,
Daéng Risompa." Gumam Sawérigading sambil menyebut nama calon istrinya.
“Itu belum seberapa, Tuangku. Dia juga
akan memakai sarung tujuh petala yang ujungnya diikat, serta mengenakan baju
bersusun tujuh.” Datunna Sabbang dengan berat menyempurnakan syarat yang
diajukan.
Sejak mendengar itu, hati Sawérigading
dibelasah pilu, ibarat siang digelayuti mendung, matanya berkabut. Hingga Wé
Tenri Abéng, saudara kembarnya yang bertahta pada salah satu istana di langit
tertinggi memberinya kabar gembira.
“Enyahkan debu yang membaluri hatimu
duhai Kakak. Aku akan mengirimkan dua penunjuk jalan agar kau bisa menjangkau I
Wé Cudai, istrimu selama tujuh malam." Titah Wé Tenri Abéng.
Maka dengan tuntunan seekor kucing
jantan belang tiga dengan ekor yang bercahaya, serta kawalan kunang-kunang yang
memancarkan sinar, Sawérigading meniti angin menemui istrinya. Dari pernikahan
inilah, lahir I La Galigo.
*
* *
Malam. Pukul dua belas kurang beberapa
menit ketika ayah setengah menyeretku memasuki ruang tempai ia mengurung
Karellaé. Tak ada cahaya walau setitik di ruangan itu, semua celah telah
disumbat oleh ayah. Dia biarkan ruangan begitu pekat dibalut gelap.
“Ini purnama ketujuh bagi Karellaé,
sebentar lagi, kita akan menyaksikan keajaiban, berkah yang dihadiahkan Wé
Tenri Abéng kepada Sawérigading." Ayah berbisik tepat di depan telingaku,
nafasnya memburu.
Begitu tiang listrik berdentang di
kejauhan, tanda waktu telah menyeberang ke hari baru, perlahan setitik cahaya
menguar cerah dari arah Karellaé dikandangkan. Pegangan ayah menegang, satu
tangannya menggapai-gapai.
“Lihat... Kisah itu bukan bualan....”
Ayah terengah. Aku tak punya kata untuk kuungkap.
“Tapi... Epos itu sedikit keliru.... “
Kalimat ayah menggantung di udara ruangan yang pengap. Aku dibekap rasa yang
ganjil. Ketika ruangan itu kian terang, nyata yang memijar bukanlah ujung
ekornya, tetapi puncak tanduk mungil keemasan yang mencuat tepat di tengah
dahinya. Karellaé nampak begitu anggun.
Cerpen ini dimuat di edisi cetak Harian Go Cakrawala
Sulsel edisi Sabtu, 18 Maret 2017
Tags:
Cerita Pendek