[14.06.2017] Di ujung malam 27 ramadan tahun 1000
hijriah, seorang lelaki muda duduk bersila di depan gurunya yang sudah berusia
senja. Kepalanya tunduk takzim, tak berani menatap lelaki yang beserban hijau
di hadapannya. Lelaki tua yang dia sapa dengan gelar Susuhunan itu memejam mata,
mulutnya tak henti komat-kamit melafaz zikir.
Malam itu adalah malam penahbisan si
lelaki muda sebagai murid utama dari guru yang sudah dia ikuti selama 10 tahun
bermukim di arah tenggara Demak. Gurunya mukim di sana atas petunjuk Susuhunan ing Kalijaga, salah seorang
anggota wali sanga.
“Angger Kusumoyudho, malam ini akan
menjadi pamungkas dari pelajaranmu padaku. Ketika ayam jantan berkokok tiga
kali nanti, aku akan mewisikkan padamu pati dari seluruh wejanganku selama ini.
Siapkan dirimu, Ngger, raga dan batinmu.” Suara sang guru bergetar, menelusuk
ke gendang telinga, dingin menusuk, sedingin udara malam di seputaran sendang
tempat mereka duduk bersila berhadapan.
“Inggih...” Kusumoyudho menangkupkan
kedua tangan di atas kepala.
“Baiklah, aku akan mewisikkan sebaris
kalimat ringkas dalam satu helaan nafas.”
“Sejatine
manusa iku Rahsaningsun, lan ingsung Rahsaning manusa...1” Angin
berdesir halus menurut tuturan lelaki tua berserban hijau itu.
Tubuh Kusumoyudho bergetar hebat, butir
keringat berbaris di sekujur tubuhnya, nafasnya berat. Di lain sisi, gurunya
terlihat lebih santai, beban berat baru saja terhempas dari dirinya. Lelaki tua
itu bernafas lega, wajahnya bersinar, matanya berbinar, senyum merekah dari
bibirnya. Apa yang selama ini menyertainya, telah dia bagi ke murid utamanya,
Kusumoyudho.
* *
*
Sore di awal 1590 masehi, Tumenggung
Kusumoyudho duduk bersila di pendopo samping rumahnya. Sebagai salah seorang
punggawa kerajaan Mataram yang mulai tumbuh setelah keruntuhan Demak dan Pajang,
rumah Kusumoyudho bisa dikatakan istana kecil. Di hadapannya, bersimpuh dua
orang remaja dewasa, seorang lelaki dan seorang perempuan. Mereka, Imam Prakosa
dan Dewi Kosasih, keduanya anak dari gurunya.
“Aku bisa sampai di posisi ini, berkat ayahanda
Sunan. Beliau orang hebat dan menjadi salah satu wali yang diakui oleh Sunan
Kalijaga.” Suara Kusumoyudho terdengar berwibawa, Imam Prakosa dan Dewi Kosasih
menanggapi dengan senyum, sambil menikmati kudapan sore.
“Apa kalian tahu kalau beliau berasal
dari negeri yang jauh?” Lanjut Kusumoyudho.
“Maksud Kakanda?” Imam Prakoso
tersentak, pun Dewi Kosasih.
“Apa ibunda Dewi Gayatri tak pernah
menyampaikannya?”
“Ibunda menjadi lebih pendiam sejak
ayahanda berpulang.” Kali ini Dewi Kosasih yang menimpali.
“Sebelum meninggal, ayahanda mengisahkan
padaku tentang negerinya. Negeri yang besar di timur nusantara, Gowa namanya.”
Tak ada tanggapan dari Imam Prakoso
maupun Dewi Kosasih, Kusumoyudho melanjutkan kisahnya. Gurunya dikenal dengan
nama Susuhunan ing Ngatas Angin, salah seorang senopati perang Kasultanan
Demak, juga penasehat raja di bidang strategi militer dari tahun 1521-1546
masehi di era kepemimpinan Sultan Trenggono, bahkan terlibat dalam berbagai
ekspedisi perluasan Islam ke berbagai daerah.
“Beliau lahir pada 1498 masehi di Somba
Opu, ibukota kerajaan Gowa, dengan nama Daéng
Mangémba Nattisoang. Ayahnya adalah raja Gowa ke-9 Daéng Matanré Karaéng Manguntungi Tumapa’risi’ Kallonna.” Terang Kusumoyudho.
“Lalu, mengapa ayahanda berada di sini.
Bukankah ayahanda merupakan calon raja?” Selidik Imam Prakoso.
“Ayahanda bukan putra mahkota, adikku.
Ibunya yang bernama I Malati Daéng Bau,
bukanlah bangsawan tinggi di kerajaannya, ayahnya hanya pejabat rendah di
kerajaan Marusu’.”
“Ayahanda pergi karena tak ingin ribut soal
kekuasaan dengan saudaranya?” Imam Prakoso antusias.
“Tidak begitu. Menurut ayahanda,
kerajaannya tak mengenal perebutan kekuasaan, semua bangsawan memahami betul
posisi dan haknya. Ayahanda ke Demak karena alasan lain.”
“Alasan yang lebih penting dari
panggilan tanah air?”
“Ya.” Jawab Kusumoyudho pintas.
* *
*
Tahun 1512 masehi, Daéng Mangémba
menginjak 14 tahun. Sebagai putra raja, dia diminta mendampingi ayahandanya, Tu
Mapa’risi’ Kallonna mendatangi pemukiman orang Jawa di Pammolingkang2.
Petinggi Portugis di Makassar menghasut raja Gowa untuk mengusir mereka.
Menurut Portugis, Islam yang menjadi keyakinan orang-orang itu berbahaya bagi
Gowa.
Kala itu, Daéng Mangémba
menyaksikan ayahandanya dikalahkan oleh pemimpin orang-orang Jawa, Kyai Sulasi,
dalam perang tanding yang adil. Raja Gowa tak jadi mengusir mereka, namun Kyai
Sulasi memilih kembali ke Jawa dengan rombongannya, sebab memang, tujuan utama
mereka ke Gowa bukan untuk menetap, tapi untuk menggalang dukungan melawan
Portugis di Malaka.
“Diam-diam, rupanya ayahanda tertarik
dengan Kyai Sulasi yang berhasil mengalahkan raja Gowa. Mereka sering bertemu,
ayahanda berguru Islam pada Kyai yang disapanya I Galasi tersebut.” Ujar
Kusumoyudho.
“Berarti ayahanda ikut rombongan I
Galasi ke Demak?” Imam Prakoso kembali bertanya, Dewi Kosasih hanya diam.
“Betul, ayahanda ke Demak untuk
memperdalam agama Islam. Kyai Sulasi lah yang menyarankannya berguru ke Sunan
Kalijaga.”
“Apakah kemampuannya mengalihkan angin juga
dipelajari dari Sunan?”
“Tidak. Kesaktian itu dibawa ayahanda
dari Makassar. Beliau memang telah mumpuni sebelum mendarat di Bintaro.” Terang
Kusumoyudho.
“I Galasi yang mengajarinya?”
“Bukan, dari pamannya.”
Guru pertama Daéng Mangémba adalah
Daéng Pamatte’, kakak kandung ibunya. Kala itu, Daéng Pamatte’ adalah sabannara3
kerajaan Gowa. Sejak usia tujuh tahun, ia rutin mengunjungi tempat yang dilalui
angin kencang, berlatih menghalau angin dengan kedua telapak tangannya.
Kemapuan tersebut dikuasainya pada usia sembilan tahun.
“Apakah ayahanda benar-benar menguasai
kemampuan itu?
“Laskar Pati Unus telah membuktikan
kemampuannya dalam perjalanan menyerang Portugis di Selat Malaka pada akhir
1512 masehi. Saat itu, sepuluh ribu prajurit yang mengendarai seratus jung yang
dipimpin Pangeran Pati Unus terjebak badai di selat Berhala, perairan sebelah
barat pulau Singkep.”
“Lalu...”
“Melihat armada Demak kacau balau,
bahkan beberapa kapal terjungkal. Atas izin Gusti Allah, ayahanda mengamalkan
kemampuannya membalik arah angin, dan pasukan bisa meneruskan perjalanan ke
Malaka.”
“Alhamdulillah...”
“Oleh Pangeran Pati Unus, ayahanda
diberi gelar Pangeran Penatas Angin dan digunakannya hingga akhir hayat,
Susuhunan ing Ngatas Angin.”
* * *
Malam 27 ramadan tahun 1020 hijriah
bertepatan dengan 1599 masehi, Kusumoyudho yang kian menua duduk tafakur di di
atas sajadah di tepi sendang tempat dia mewarisi gelaran kahananing dat4 dari Daeng Mangemba.
“Issengngi
kalennu!5” Kalimat pamungkas dari gurunya dua puluh tahun silam,
dia wisikkan ke Imam Prakoso yang tafakur di depannya. Tak ada tanggap, hanya
angin malam berdesir pelan, mengiringi gumam Kusumoyudho.
Catatan:
1. Sesungguhnya manusia itu rahasia-Ku dan Aku ini rahasianya manusia
2. Galesong sekarang
3. Syahbandar
4. Paparan tentang keadaan zat Allah
5. Kenali dirimu!
Tags:
Cerita Pendek