Jodoh Yang Tertukar

[08.07.2017] Bermula dari iklan di Harian Amanah, maka setiap sabtu sore aku hadir di kantor redaksi koran Islami tersebut untuk ikut kajian. Selain mendapatkan tambahan pengetahuan, juga untuk menjalin ukhuwah, semoga bisa menjadi pembuka pintu jodoh. Sejak wisuda empat bulan lalu, urusan jodoh terasa kian ribet. Ayah atau ibuku bergantian menanyakan kapan aku dilamar orang. Mungkin mereka pikir jodoh itu hanya urusan bertemu seseorang yang dirasa cocok, lalu mengajaknya ke penghulu.

Suasana bertambah runyam saat Isbah, salah seorang peserta kajian menyatakan niatnya bertaaruf melalui Reina, jurnalis Harian Amanah. Biaodatanya kubaca selintas, sebab saat yang sama, aku mulai berharap pada seseorang yang juga selalu hadir di pengajian, bukan peserta, tetapi ustaznya. Ketika Reina tahu, dia langsung menasihatiku.
“Sadar Zahra. Ikut pengajian itu niat harus karena Allah semata, bukan karena ustadznya.”
“Tapi tidak ada salahnya berharap yang terbaik dari Allah kan?” Jawabku sekenanya.

Ustaz itu, Rustam namanya? Selama pengajian, dia mengenalkan dirinya sebagai Jomlo Bahagia. Menurut Isbah, dia anak kepala desa di pesisir Galesong Kabupaten Takalar. Wah, anak kepala desa, pantas saja tampilannya selalu parlente, ciri khas ustaz gaul.
*     *     *
“Assalamu alaikum, sudah invite instagram @JomloBahagia?” Sapanya seusai pengajian.
“Waalaikum salam, be.. belum ustaz.” Jawabku gugup.
“Invite ya.” Senyumnya melintas di ekor mataku. Sejuk rasanya hati ini. Khayalan nakalku menari-nari, bagaimana kalau sudah halal bagiku memandang sepuasnya, tentu... Tak berani aku meneruskannya.

Sejak mengikuti @JomloBahagia di instagram, hampir setiap jam aku menengok akun itu. Jadwal ceramahnya kusalin ke agenda harian, tak ada yang terlewat, kecuali yang di luar kota. Begitupun kutipan kalimat sakti yang menggugah hati dan serasa khusus dipoting untukku, tersalin sempurna dalam ingatan.

Sore, 20 ramadan 1438, ruang redaksi Harian Amanah kembali ramai dengan peserta kajian, pertemuan ini lebih istimewa karena dirangkaikan dengan buka puasa bersama khusus jomblowan dan jomblowati, istilah bagi jamaah pengajian.
“Rei, coba lihat postingan ini...” Kutunjukkan quote berlatar siluet warna merah jambu di akun @JomloBahagia kepada Reina, ‘Bila memang hatinya kau restui menjadi istanaku, beranikan aku mengetuk pintunya...’.
“Biasa, ustaz suka memotivasi para jomlo.” Reina cuek.
“Tapi khusus ditujukan padaku, Rei...”
“Jangan baper, Zahra. Istighfar..” Reina memotong ucapku.
“Siapa yang baper?”
“Terus, yang tadi itu apa?”
“Saya mencoba berprasangka baik atas takdir Allah, Rei.”
“Hush, Ustaz Rustam sudah memulai tuh.” Reina mengalihkan perhatianku.

Sepanjang kajian, tak sekalipun ustaz Rustam mengarahkan pandangan ke akhwat, apalagi ke arahku. Seandainya dia tahu, sore itu bukan cuma kerongkonganku yang dahaga, tak cuma lambungku yang keroncongan. Hatiku begitu kerontang dan butuh meski cuma lirikan seujung mata, atau senyum selintas di sudut bibir. Aku gagal fokus.

Reina benar, aku terlalu membawa perasaan. Tapi sudah terlambat, hatiku terbakar, membara oleh rasa yang membuncah, nafasku sesak. Tanpa menghiraukan pengajian, aku beranjak menuju musala, kuraih Quran yang tergeletak di ujung rak, kubuka sembarang halaman, untuk menghalau galau yang mengacau kalbu. Bulir air bening menetes lirih dari pelupuk yang tergenang, aku menangis dengan rasa yang getir. Di hadapanku terpampang ayat kedua surah al Anfal, lamat-lamat kubaca dengan gelisah.
Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal.

Aku tertonjok, hatiku perih. Betapa selama ini hatiku bergetar bukan karena nama-Mu. Bukan ayat-ayatMu yang kudaras untuk menambah keimananku, malah postingan-postingan instagramnya yang kupelototi dan hanya menambah penyakit di hatiku. Kucoba mengendalikan diri, istighfar kulafazkan berulang, dada kuurut pelan, agar badai di sana segera mereda.

Seiring azan magrib, aku mulai bisa mengatasi gemuruh di dada. Aku memasuki ruang redaksi setelah menyeka sisa air mata dan merapikan jilbab. Kujangkau dua butir kurma yang tersisa, kerongkongan kubasuh segelas air putih, disertai doa dan harapan, semoga rasa ini bisa terkendali selamanya. Kuhampiri Reina, kuajak salat magrib berjamaah lalu melanjutkan obrolan.
“Rei, sudah kuputuskan...”
“Memutuskan apa?” Reina menatapku lekat.
“Melupakan ustaz Rustam.” Aku menghela nafas panjang.
“Aku juga siap taaruf dari Isbah, dan akan mulai berlajar menerimanya.” Dadaku lega. Justru Reina yang terpana.
“Hai, ada apa?”
“Zahra.... Maafkan saya...” Reina memelukku.
“Kamu salah apa?” Aku dibelasah bingung.
“Saya.... Isbah... Saya... Saya sudah menerima lamaran Isbah dua hari yang lalu.” Aku tercekat mendengar suara Reina, kulepas peluknya.
“Karena tak ada tanggapan darimu, dia menyampaikan niatnya padaku, dan menurutku Isbah adalah ikhwan yang bisa menjaga amanah, maka kuterima khitbahnya. Kami akan menikah di hari kedua idul fitri.” Lanjut Reina.
“Kamu tak salah Rei... Aku yang lalai...” Tubuhku lunglai.
“Afwan ukhti.... afwan...” Reina juga terjebak situasi. Musala lengang, suara nafas kami terdengar jelas. Tak ada yang bicara, hanya salam lirih sebelum pisah.
*     *     *
Besok, ramadan akan pungkas. Kusambangi lagi kantor redaksi Harian Amanah yang mulai sepi ditinggal mudik. Aku mampir untuk meminta pertimbangan Reina, perihal seseorang yang datang mengetuk pintu hatiku dengan cara yang makruf.
“Rei, ustaz Rustam mengkhitbahku. Bagaimana ini?”
“Barakallah, selamat ya ukhti.”
“Aku belum memberinya jawaban.”
“Kok, bukannya ini yang terbaik dari Allah?”
“Justru itu aku menemuimu, Rei. Aku tahu dia mengkhitbahmu lebih dulu.”
“Dia mengatakan hal itu padamu?” Muka Reina bersemu merah.
“Tidak. Ibunya yang cerita, ustaz Rustam terpukul karena penolakanmu.”
“Betul, saya menolaknya.”
“Boleh aku tahu alasanmu menolaknya, Rei?”
“Haruskah saya jelaskan, ukhti?”
“Iya, aku membutuhkannya.”
“Mmmm..... Dia mengajukan taaruf dua jam setelah saya terima khitbah dari Isbah.”
“Dia terlambat, sebagaimana Zahra terlambat menyambut uluran tangan Isbah.”
“Astagfirullah al adzim... Allahu Akbar!” Aku gemetar mendengar penjelasan Reina, kedua tangan mendekap mulut yang mulai terisak. Ya Allah, mengapa menjebakku dalam situasi sebegini? Batinku.
“Terimalah ukhti, Allah yang menuntunnya padamu.”
“Aku butuh istikharah...”
“Kurang apa ustaz Rustam, ukhti? Bukankah dia tipe ikhwan yang memenuhi harapan dan mimpi-mimpimu?”
“Justru karena itu, Rei.”
“Saya tak mengerti, Zahra.”
“Aku takut, Rei... Aku takut...” Kugenggam kedua tangan Reina erat.
“Aku takut romannya menyingkirkan wajah Allah dari kalbuku. Aku khawatir, geletar jiwaku hanya akan melafazkan namanya, dan bukan asmaNya...” Lanjutku, Reina menjadi pendengar yang baik.
“Aku tak ingin melakukan kesalahan itu lagi. Kesalahan karena lebih sibuk memujinya daripada mengagungkan Allah, rab dan ilahku.”
“Justru itu, maka Allah menuntunnya padamu, karena Dia tahu...”
“Tapi tidakkah kau merasa kita berada pada posisi yang tertukar, Rei?”
“Istighfar Zahra.Takkan ada jodoh yang tertukar ukhti.”
“Astagfirullah. Rei, tuntun aku melewati istikharah cintaku...”

Makassar, 16 Juni 2017
Tayang di Harian Amanah edisi Sabtu, 08 Juli 2017

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama