Melampau Tjokroaminoto, Menjangkau Tjokroisme

[20.11.2017] Setiap manusia membutuhkan pemahaman dasar tentang falsafah (philosophische) kehidupan yang berisi berbagai hal pokok dalam hidup, yang padanya, ia menyandarkan perbuatan dan perilakunya. Falsafah yang kemudian menjadi pandangan hidup (weltanschauung) dan ideologi dari manusia tersebut, tersusun dari ide-ide fundamental yang menjadi pendirian, lalu diterima dan diamalkan.

Seorang cendekiawan-politisi Amerika yang sempat menjadi Menteri Kesehatan di era pemerintahan J. F. Kennedy yang bernama John Gardner pernah berujar, “Tidak ada bangsa yang dapat mencapai kebesaran jika bangsa itu tidak percaya kepada sesuatu, dan jika sesuatu yang dipercayainya itu tidak memiliki dimensi-dimensi moral guna menopang peradaban besar”.

Dalam konteks inilah, ikhtiar merumuskan Tjokroisme dibutuhkan proses sekaligus hasil dari refleksi kritis atas pemikiran-pemikiran Tjokroaminoto yang pernah mengantarkan Sarekat Islam, organisasi pergerakan nasional terbesar di eranya. Ikhtiar mengkonstruksi Tjokroisme ini, dilambari asa untuk menghadirkan alternatif welthanschaung bagi Syarikat Islam Indonesia dalam meneruskan perjuangan Tjokro di era kemerdekaan.

Istilah Tjokroisme adalah frasa yang digunakan untuk merepresentasikan  pemikiran-pemikiran Tjokroaminoto yang coba dikonstruksi ulang, merupakan gabungan dari Tjokro –sapaan Tjokroaminoto– dengan sufiks –isme yang menandakan suatu paham atau ajaran atau kepercayaan. Soalnya sekarang adalah, apakah Tjokroisme layak menjadi welthanschaung? Apa saja muatannya, sehingga pantas menyandang predikat sebagai ideologi gerakan?

Ketua Pelaksana Unit Kerja Presiden bidang Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP), Yudi Latif dalam bukunya yang berjudul Revolusi Pancasila (2015 : 38) mencoba merumuskan konsepsi ideologi secara ideal. Menurutnya, setiap ideologi idealnya haruslah merupakan racikan dari tiga unsur yang dipadukan menjadi konsep yang utuh. Ketiga unsur tersebut adalah keyakinan, pengetahuan, tindakan.

Pertama, ideologi mengandung seperangkat keyakinan berisi tuntutan-tuntutan normatif-preskriptif yang menjadi pedoman hidup. Kedua, ideologi mengandung semacam paradigma pengetahuan yang berisi seperangkat prinsip, doktrin, dan teori, yang menyediakan kerangka interpretasi dalam memahami realitas. Ketiga, ideologi mengandung dimensi tindakan yang merupakan level operasional dari keyakinan dan pengetahuan itu dalam realitas konkret.

Dengan menggunakan kerangka ideologi Yudi Latif, maka apa yang disebut oleh Tjokroaminoto sebagai Sandaran Gerak Perlawanan dalam Program Tandhim, tak lain dan tak bukan, adalah welthanschaung Syarikat Islam Indonesia. Menurut Tjokroaminoto dalam Program Azas dan Program Tandhim (1934), “Buat menjalankan Islam dalam sepenuh-penuh asas dan seluas-luasnya syari’at, agar supaya dapat tercapai kemuliaan dan keluhuran derajat bagi Ummat Islam, maka Partai Syarikat Islam Indonesia (sekarang Syarikat Islam Indonesia) menetapkan gerak perlawanannya”.

Dalam uraiannya lebih lanjut, Tjokro menyebut tiga unsur yang menjadi sandaran gerak perlawanan bagi organisasinya adalah: bersandarkan kepada sebersih-bersihnya Tauhid; bersandar kepada ilmu (wetenshap) atau setinggi-tingginya ilmu; dan bersandar kepada siyasah (politik) atau sepandai-pandai siyasah. Inilah yang oleh kader-kader SI Indonesia disebut sebagai Trilogi Perjuangan.

Apa yang dijelaskan oleh Yudi Latif sebagai unsur-unsur ideologi: keyakinan, pengetahuan, dan tindakan, sejalan dengan paparan Tjokroaminoto yang menggunakan istilah Tauhid, ilmu dan siyasah. Bagi Tjokro, keyakinan itu mestilah tauhid, pengetahuan adalah ilmu yang bersumber dari Allah, sementara unsur tindakan direpresentasikan oleh siyasah, terutama secara practische politik yang berwujud kepandaian, keterampilan dan kecerdikan dalam bersiyasah.

Dalam Tjokroisme, tauhid dipandang sebagai keyakinan yang lebih bersifat praktis, ketimbang teoritik. Hal ini tergambar dari minimnya penjelasan Tjokroaminoto perihal tauhid. Mengapa demikian? Sebab baginya, bertauhid tidak bermakna harus mampu memberikan argumentasi filosofis yang runtut demi membuktikan kebenaran keyakinannya. Sejatinya, tauhid bukanlah hasil diskursus logika dan presepsi antroposentrik lainnya.

Eksistensi tauhid lebih dibuktikan secara praktis dengan sikap hidup penganutnya. Itu karena keyakinan pada keesaan Allah bermakna ketundukan pada sebuah sistem nilai tauhidi yang bersendikan prinsip terbebaskannya perasaaan dari segala ketakutan dan kesedihan. Sebagaimana ditegaskan dalam Surah Yunus (10) ayat ke 62, “Sekarang sesungguhnya sahabat Allah, mereka itu tidak akan takut dan tidak pula bersedih”.

Dengan hilangnya rasa takut –kecuali takut kepada Allah– dan kesedihan dari hati para manusia tauhidi, mereka harus menunjukkan rasa bangga dan kepercayaan diri sebagai seorang muslim. “Dan janganlah lemah dan janganlah berteriak-teriak mengemis mencari perdamaian (keselamatan), dan kamu adalah terlebih tinggi dan Allah adalah beserta kamu, dan ia tidak akan mensia-siakan perbuatanmu”, demikian tegas Allah dalam surah Muhammad (47) ayat ke 35.

Bagi mereka yang mengimani Islam dan al Quran, konsepsi tauhid tidak hanya berhenti pada perihal mengesakan Allah, namun juga merambah sampai ke masalah sejarah, fenomena sosial, bahkan kosmologi dan eskatologi. Hal ini menuntut seorang penganut tauhid untuk senantiasa berpikir, merenung, serta memanfaatan intelektualitasnya. Situasi ini akan merangsang pengembangan pola pikir, paradigma, dan epistemologi yang berbasis tauhid.

Dengan berkaca pada keseriusan Rasulullah dalam menganjurkan sahabat dan umatnya menuntut ilmu, serta melihat kegigihan mereka dalam menjawab anjuran nabinya untuk menuntut dan memajukan ilmu, Tjokroaminoto sangat yakin bahwa, “Ternyatalah Islam menghendaki kemerdekaan pikiran (akan menuntut ilmu) dengan berdasar kepada kesungguh-sungguhan iman”.

Dalam perspektif Tjokroisme, ketinggian ilmu (wetenshap) akan terbangun bila manusia memahami betul betapa besar peran ilmu bagi kehidupan dan kemanusiaan. Tjokroaminoto menyitir pertanyaan Allah dalam Surah az Zumar (39) ayat ke 9, “Apakah mereka itu yang berilmu sama dengan mereka yang tidak berilmu? Cuma orang-orang yang berpikir (berpengetahuan) itulah yang mempunyai perhatian”.

Tjokroisme tak hanya sebatas kritik atas sains kontemporer, lebih jauh dari itu, malah mengarah pada upaya mengkonstruksi paradigma keilmuan baru yang bersumber pada ajaran Tauhid. Dengan mengacu ke Surah ali Imran (3) ayat ke 190-191, Tjokroaminoto menegaskan bahwa ilmu yang wajib dicari oleh seorang muslim, “Harus diperoleh dengan setinggi-tingginya kemajuan aqal (intellect), tetapi tidak sekali-kali boleh dipisahkan daripada pendidikan budi-pekerti dan pendidikan rokhani.”

Keyakinan tauhid dan bangunan keilmuan sedemikian, melahirkan sebuah kesadaran kolektif di kalangan penganut Tjokroisme untuk mengambil langkah strategis transformatif, agar umat bisa menjalankan Islam dalam sepenuh-penuh asas dan seluas-luasnya syari’at, agar supaya dapat tercapai kemuliaan dan keluhuran derajat bagi Ummat Islam dalam wujud baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur.

Perjuangan yang oleh Tjokroaminoto dinamai siyasah, baik pada tataran theoritische maupun practische dititikberatkan pada pada ikhtiar membangun kesadaran umat secara menyeluruh, baik pada tataran keyakinan, keilmuan, dan kehidupan sosial (ekonomi, politik, hukum, dan kebudayaan). Sebab bagi Tjokroaminoto, “Hukum-hukum Islam itu adalah hukum yang mendapat kecerdasannya karena jalannya riwayat (historischrecht) dengan berpokok kepada Qur’an dan Hadits”.

Berbagai tantangan dan hambatan akan ditemui dalam upaya menegakkan Islam secara kaffah. Olehnya itu, seorang penganut Tjokroisme dituntut untuk memiliki penguasaan yang baik atas siyasah terutama pada tataran practische, yang berwujud kepandaian, keterampilan dan kecerdikan dalam menyusun strategi dan taktik perjuangan. Selain untuk melancarkan segenap upaya, juga untuk mengurangi resistensi dari pihak lain.


Tulisan ini dimuat di: Edunews pada 18 November 2017

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama