Makassar Berpesta, Warga Terlupa

[12.11.2017] Kemarin, kota ini merayakan ulang tahunnya yang ke-410, tepatnya 9 November 2017. Sebagaimana galibnya ulang tahun, biasanya dirayakan dengan pesta. Begitupun dengan ulang tahun kota ini, pemerintah kota menggelar pesta besar sebagai ungkapan kegembiraan dan ekspresi rasa syukur. Bahkan secara khusus, Aparatur Sipil Negara (ASN) di seluruh instansi pemerintah kota, mengenakan pakaian adat Bugis Makassar masuk kantor.

Entah berapa besar dana yang digunakan membiayai seremoni perayaan ulang tahun kota ini. Tentulah sepadan dengan kemeriahan yang pantas untuk sebuah kota dengan pertumbuhan ekonomi 7,9% pada tahun 2016. Pertumbuhan yang didaku oleh Jokowi (mungkin) sebagai pertumbuhan tertinggi di dunia.

Di media sosial, para ASN Kota Makassar seakan berlomba memasang gambar-gambar hasil swapotret dengan berbagai pose. Bahkan ada seorang dokter yang memajang fotonya sedang melayani pasien dan dirinya masih berbalut baju bodo, dilengkapi keterangan bahwa meski dia merasa gerah, semua dia lakukan demi Makassar.

Ada juga potret beramai-ramai dengan latar belakang yang hampir seragam –bergaya di pintu depan atau di bawah tulisan nama kantornya masing-masing. Sungguh meriah. Baju bodo beraneka warna berpadu dengan sarung sutera yang cerah menyala dikenakan oleh para ibu-ibu, sementara yang lelaki mengenakan setelan jas tutup lengkap.

Namun sepanjang lorong yang kususuri ketika berangkat dan pulang dari kantor, aku melihat tak ada aktivitas khusus yang dilakukan warga dalam rangka ulang tahun kotanya. Apakah mereka lupa? Entahlah. Atau mungkin mereka merasa pesta bukanlah hal mendesak dibanding menjalani rutinitas kerja demi tetap berputarnya roda kehidupan rumah tangganya.

Memang pekan sebelumnya, warga tumpah ruah ke jalan-jalan di seputar titik nol Kota Makassar, Lapangan Karebosi yang legendaris itu, untuk jalan santai bersama dalam rangka ulang tahun kota. Tapi mereka yang datang patut diduga bukan dilandasi kesadaran warga yang cinta akan kotanya, melainkan karena yang ASN didorong oleh ketaatan perintah atasan, sedang mereka yang lain karena adanya iming-iming hadiah menggiurkan.

Mengapa ulang tahun kota yang menjadi pintu gerbang Indonesia timur ini seperti tak terpantau radar warga? Kenapa momentum ini tak berisi kegiatan semarak nan meriah seperti perayaan hari kemerdekaan? Bukankah selayaknya warga bergembira atas ulang tahun kotanya? Atau warga Makassar sudah kehilangan sensitivitas untuk bergembira?

Begitu pun dengan anak sekolah yang biasanya akan heboh bila ada kegiatan seperti ini, seperti tak ada riak dalam menyambut hari bersejarah bagi kotanya. Apa memang pesta ulang tahun Makassar hanya milik pemerintah kota? Dan warga tak perlu terlibat atau dilibatkan dalam perjamuan akbar ini? Apa kira-kira yang menjadi alas kebijakan sehingga tak ada geliat kegembiraan yang massif?

Memang tetap ada kegiatan yang melibatkan masyarakat seperti kegiatan pelayanan terpadu isbat nikah massal, serta pembagian buku nikah dan akta kelahira bagi PMSK (Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial) oleh Dinas Sosial, tapi bukankah ini tugas rutin yang memang merupakan tupoksi mereka? Pun ada penggantian dua nama jalan, tapi di mana partisipasi warga?

Tulisan ini tak berpretensi untuk melakukan investigasi mendalam, melainkan sekadar meruapkan kegelisahan. Sepertinya, kota yang sudah lumayan tua ini, mulai melupakan warganya sendiri, manusia-manusia yang memberi nafas bagi keberlangsungan kehidupannya. Nahasnya, Makassar dilanda selap, pas di hari ulang tahunnya.

Atau jangan-jangan justru warga yang mulai emoh, dan mencoba melupakan kotanya? Bila ini yang terjadi, bukankah ini sesuatu yang tragis?


Tulisan ini dimuat di: MakassarBicara pada 11 November 2017

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama