Tak ada
orang yang dapat membuat anda merasa rendah diri tanpa seizin anda (Eleanor
Roosevelt)
[23.11.2017]
Tidak semua orang yang memiliki visi besar mendapatkan kesempatan untuk
melaksanakan visinya dengan cara yang mereka inginkan. Terkadang, seorang
pegawai biasa yang hanya berposisi sebagai staf memiliki visi perubahan, namun
karena posisinya yang hanya sebagai staf –dengan
atasan yang otoriter serta rekan kerja yang tak peduli, maka visi tersebut
tidak bisa diaplikasikan secara sistemik di dalam organisasi, termasuk dalam
organisasi birokrasi.
Saya mengenal seorang teman Aparatur Sipil Negara
(ASN) yang memiliki pengetahuan manajerial organisasi yang mumpuni, dengan
berlatar belakang aktivis mahasiswa dan seabrek prestasi serta jaringan yang
luas. Namun dalam aktivitas kesehariannya sebagai staf di sebuah instansi,
hanya karena posisinya sebagai staf, teman tersebut tidak bisa melakukan
apa-apa. Bahkan, dia cenderung larut dengan rutinitas pekerjaan dan tradisi
bekerja yang tanpa visi ke depan.
Mungkin anda juga punya teman seperti itu.
Jangan-jangan anda salah satu dari sekian banyak orang yang saban hari sepulang kantor mendesah
berat dan berujar:
“Aku sudah
tidak tahan lagi, tak ada yang mengetahui potensiku yang sebenarnya di kantor
itu”.
Atau
“Sungguh ini
rutinitas yang sangat menjemukan”.
Atau
“Aku merasa
terpenjara dengan pekerjaan ini, dan sungguh aku tidak menikmatinya”.
Berbagai kalimat keluhan sejenis yang terlontar
dari mereka yang pada dasarnya sebenarnya merupakan pribadi potensial dan
berbakat.
Ujung-ujungnya, mereka menjadi manusia yang
memiliki masa depan suram serta kehilangan semangat dan gairah kerja. Mereka
tak pernah berhasil mencintai dan menikmati pekerjaannya sebagai akibat dari
lingkungan kerja yang sangat tidak kondusif. Mereka merasa bahwa atasan dan
rekan kerja tidak mendukung, bahkan terkesan tidak menginginkan kehadirannya.
Apakah kondisi seperti itu merupakan sesuatu yang
tidak bisa diubah? Apakah mereka yang merasa terpenjara tersebut tidak bisa
melepaskan diri? Tentu saja kondisi seperti itu bukanlah derita yang tiada
akhir. Kita bisa menyaksikan betapa banyak orang yang tidak memiliki jabatan
prestisius di organisasi tetapi mampu menjadi sumber inspirasi bagi banyak
orang, bahkan bagi atasannya sekalipun.
Bagaimana dia melakukannya? Bagaimana kita mampu
melakukannya? Bagaimana saya dan anda bisa melakukannya? Anda, saya dan
siapapun anda sangat tidak pantas untuk terjebak dan terperangkap dalam situasi
kejenuhan akibat lingkungan kerja dan situasi pekerjaan yang tidak kondusif dan
mendukung pencapaian tujuan.
Hal yang bisa kita lakukan adalah dengan
membebaskan pikiran kita, saya dan anda. Ya
pikiran! Pikiran harus dibebaskan dari berbagai macam penjara dan
kungkungan yang membuatnya meresa terjebak dan terperangkap. Rasa jenuh yang
berkepanjangan, rasa tidak dihargai, dan rasa tak berarti hanya muncul dari
pikiran yang terpenjara dan reaktif.
Pikiran reaktif akan membuat kita merasa tak bisa
membebaskan diri dari lingkungan kerja yang tidak kondusif dengan berbagai
argumen pembenaran. Kita membiarkan bos yang otoriter, rekan kerja yang tak
peduli, dan pekerjaan yang menentukan suasana hati, perasaan dan nuansa batin
kita. Jadilah kita budak yang bekerja tanpa cita dan cinta.
Segera buang pikiran reaktif tersebut ke dalam tong
sampah dan install cara berpikir proaktif
dalam diri anda. Karena sesungguhnya, bukanlah bos yang otoriter, rekan kerja
yang tak peduli, dan tumpukan pekerjaan yang memenjara kita, melainkan respon
kita terhadap semua itulah yang membuat kita merasa tidak dihargai dan jenuh.
Sejarah telah membuktikan bagaimana pikiran yang
proaktif merupakan kunci dalam menghadapi berbagai rangsangan negatif dari
lingkungan yang tidak kondusif. Jangankan bos yang otoriter, rekan kerja yang
tak peduli, dan tumpukan pekerjaan, kamp konsentrasi Nazi selama Perang Dunia
II mampu dihadapi oleh Viktor Frankl, dengan menjadikan berpikir proaktif
sebagai modal utama.
Dalam bukunya yang berjudul Man’s Search for Meaning, Viktor Frankl menulis, “Kami yang pernah
hidup di kamp konsentrasi masih ingat orang-orang yang berjalan dari barak ke
barak menghibur sesama, memberikan kepingan roti terakhir mereka. Jumlah orang
semacam itu memang hanya sedikit, tetapi mereka membuktikan bahwa ada satu hal
yang tidak bisa dirampas dari seorang manusia: kebebasan manusia yang paling
dasar –kebebasan untuk memilih sikap
kita, bagaimanapun situasinya.”
Berpikir proaktif menujukkan kepada kita bahwa
selalu ada celah antara rangsangan yang datang dan respon yang kita berikan
terhadapnya. Mungkin memang bos kita otoriter, rekan kerja kita tak peduli, dan
pekerjaan kita menumpuk, tapi kita tidak harus meresponnya dengan rasa
terpenjara, tidak dihargai dan tak bisa melakukan apa-apa. Manfaatkan celah
yang ada untuk beraksi dengan lebih positif, sebab sebagai manusia kita
memiliki kesadaran-diri, imajinasi, hati-nurani dan kehendak-bebas.
Dengan panjang lebar, Stephen R. Covey melalui
bukunya The 7 Habits of Highly Effective
People menjelaskan bahwa sebelum seseorang merespon sebuah rangsangan, maka
dengan kesadaran-diri yang dimilikinya, dia bisa memperhatikan dan bahkan
menenangkan pikiran, suasana hati dan perasaannya yang terkadang berbau reaktif
dan emosional.
Lalu dengan imajinasinya, pribadi tersebut mencoba
mengajukan alternatif respon yang bisa dipilihnya sebagai tanggapan terhadap sebuah
rangsangan. Hati-nurani berfungsi sebagai penyaring alternatif mana yang
dipilih berdasarkan nilai yang dianut, dan kehendak-bebas menjadi hakim yang
menjadi pelaksana dari alternatif respon yang dipilih serta terbebas dari
pengaruh luar.
Masihkan kita memilih untuk menjadi ASN yang selalu
merasa jenuh dan terpenjara oleh situasi dan kondisi kerja yang sumpek? Masihkah anda akan membiarkan
bos anda yang otoriter, rekan kerja anda yang semau gue, atau pekerjaan yang seakan tiada habisnya menentukan
diri anda?
Jawabannya terletak pada masing-masing kita, apakah
kita siap berubah ke arah yang lebih baik dan melakukan perubahan tersebut,
atau kita memilih bermasa-bodoh dan menikmati rutinitas menjemukan itu lalu
membiarkan visi perubahan kita layu sebelum berkembang!
Tulisan ini dimuat di: BirokratMenulis pada 22 November
2017. Sumber ilustrasi: PortalKominfo