29. Tarawih yang Manusiawi

Ini tarawih malam terakhir di ramadan 1439 H, bila tak ada peristiwa kosmik luar biasa, 1 syawal sudah dipastikan mulai terbit esok malam, tepatnya malam jumat, 15 Juni 2018.

Maka dengan semangat memanfaatkan malam terakhir ramadan, aku beranjak menuju masjid di dusun Kajuara, Desa Pakkasalo, Kecamatan SibuluE, Kabupaten Bone. Sudah dua hari aku di kampung.

Malam ini adalah tarawih pertama dan terakhirku di kampung, tahun ini. 

Kupilih masjid yang jauh, masjid di dusunku, Dusun Pajjia belum usai dibangun. Masjid di dusun Benteng, dusun yang lebih dekat dari rumah, sudah sering kudatangi tahun-tahun sebelumnya.

Aku tiba kala azan belum dikumandangkan. Remaja tanggung yang sepertinya akan ikut salat masih bergerombol di halaman, bahkan di pinggir jalan depan masjid. 

Saat kumasuk, hanya ada seorang lelaki renta, teronggok di atas sajadah lusuhnya di saf pertama, sepertinya sedang berzikir. Sementara di tempat jamaah perempuan, sudah ada sekira enam orang.

Aku masuk bersama istri, ayah, dan ponakan yang bernama Muhammad Ahsan. Ahsan akan bertugas sebagai penyampai ceramah sebelum salat tarawih, sementara ayahku akan memimpin salat jamaah isya.

Ahsan memang lagi naik daun sebagai salah satu dai cilik di Kabupaten Bone. Selama ramadan, setidaknya ada tiga tropi juara pertama lomba pildacil yang ia gondol.

Menariknya, meski sepi jamaah di saat awal. Namun begitu azan usai dikumandangkan, masjid menjadi penuh. Usai salat sunah qabliah, jamaah bercengkerama sambil menunggu ikamah.

Selama masa menanti ikamah, suara jamaah yang ngerumpi, bergemuruh bak kawanan lebah. Tapi kerennya, tak ada tegur amarah dari pengurus masjid.

Jamaah juga seakan paham sampai volume digit berapa yang boleh mereka keluarkan di dalam masjid. Sesekali terdengar cekikikan yang langsung disambut bahak seluruh jamaah.

Dari barisan anak-anak yang kutaksir sekira anak SD dan SMP, ada yang membahas soal kehebatan dai cilik yang akan ceramah, ada yang saling meledek model cukuran rambut.

Yang orang tua juga tak kalah seru. Seorang yang duduk di sisi kananku, mengaku malu dengan jamaah lain karena dia cuma hafal al Fatihah dan tiga Qul.

Tapi begitu ikamah menggema, suara itu lenyap. Mereka khusyuk menjalankan salat isya, sampai salam. Kerumunan lebah itu mulai lagi saat paket acara tarawih dimulai.

Saat Ahsan disilakan maju, seorang jamaah berkomentar lirih, "tak ada lagi anak zaman sekarang secerdas itu." Pernyataannya mendapat kesepakatan dari yang lain.

Dia menanggapi harapan protokol bahwa semoga kehadiran Ahsan bisa memotivasi anak lain untuk berprestasi serupa, bahkan melampaui.

Bahkan tak jarang, jamaah barisan depan yang usianya kutaksir di atas empatpuluhan, saling colek, saling melempar joke segar ala petani kampung. Setelah itu mereka saling memgingatkan untuk fokus ke pembica di depan.

Begitu tarawih ditegakkan, suasana menjadi hening sekaligus menggelikan. Aku langsung teringat saat aku masih seusia SD, kami salat tarawih penuh dengan canda lewat tawa tertahan.

Tadi, di belakangku, seorang anak yang lagi berusaha khusyuk tiba-tiba ditarik sarungnya oleh anak lain. Ada pula yang lagi sujud dan pantatnya didorong. Atau pecinya dicopot dan dilempar entah ke sudut mana.

Tahukah? Keceriaan itu tanpa interupsi dari pengurus masjid. Mereka malah ikut menikmati keriangan ala bocah itu, lalu menggeleng dan bergumam, 'dasar anak-anak, hehehe...'

Sepanjang ramadan ini, baru di tarawih tadi aku merasa masjid menjadi begitu manusiawi dan tak menyeramkan. Bocah tak harus kehilangan masa kanan saat masuk ke rumah Allah.

Diam-diam, di doa pasca salat witir tadi, aku menyelipkan harapan ringkas, semoga segala hal manusiawi di masjid ini tak berubah, agar masjid ini tetap menunjukkan wajah agama yang santai.

29 ramadan 1439 H / 13 juni 2018 M

Sumber ilustrasi: republika

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama