Ramadan 1 Menangislah, Meski Pura - Pura

Entah mengapa, pagi ini aku begitu penasaran dengan penghayatan keagamaan yang begitu sublim berupa tangis saat menegakkan salat. Ingin kurasai hempasan angin spiritualitas sebadai apa yang mampu membuat kelopak matanya terendam. Sebab terang saja, laku sedemikian belum pernah berhasil aku lakukan.

Pernah aku menonton sebuah video orang berjamaah, dan imamnya sesenggukan saat membaca ayat atau surah tertentu. Air matanya menderas membasuh pelupuk, mengaliri pipi, lalu merembes di helai janggutnya. Tidakkah engkau merasa terpanggil untuk mengetahui lebih jauh, rasa keagamaan seperti apa yang terbangun dalam batin imam dan jamaahnya itu?

Sebetulnya, ini bukan sekadar penasaran semata. Lebih, ini adalah sebentuk rasa iri, kecemburuan yang positif sifatnya. Hasrat untuk menyamai, bahkan melampaui kelezatan iman yang mereka cecap dalam salat yang berurai air mata. Bukankah imam seseorang bisa nampak dari getar - getar dawai hatinya saat mendengar nama Allah? Bukankah iman itu menampakkan diri dalam kelimpahan saat mendaras ayat - ayatNya?

Maka pagi ini, kupatri dalam diri, aku pula perlu mengikhtiarkan nuansa batin dalam ibadah yang sedemikian. Aku teringat pesan seorang guru, bila engkau memang belum bisa menangis dengan sebenar - benarnya tangis dalam salatmu, maka upayakan berpura - pura menangis, lalu niatkan sebagai upaya melembutkan hatimu, dan menekuk congkak jiwamu.

Sejak takbir pertama dalam rangkaian salat duha yang kurancang di musala kantor, telah kuazamkan untuk bisa melakukan itu: menangis dalam salat. Ini bukan soal mana yang lebih afdal, tapi lebih pada perkara merasai suasana kebatinan yang terbangun dalam salat yang disertai isak tertahan dan sesenggukan yang mengguncang - guncang bahu. Beruntung, tak terlalu ramai orang yang salat duha pagi ini.

Allahu Akbar. Takbir al ihram kuangkat, tangan kusedekapkan. Fatihah merambat pelan, ayat demi ayat mengalun berat. Dua rakaat berlalu tanpa rasa, proses lakrimasi tak jua berhasil kuwujudkan, kelopak mataku tetap saja kering. Salam kulempar dengan perasaan masygul, sebuah awal yang cukup mengecewakan, seuntai tangis pun gagal kuukir.

Memasuki dua rakaat kedua, aku mengubah strategi, aku membaca ayat dengan lebih pelan, perpindahan dari ayat yang satu ke ayat yang lain, kulakukan dengan ritme yang panjang. Suara pun agak kujaharkan, cukup untuk kudengar sendiri dengan lebih nyaring. Namun belum ada getar yang terasa, ah, apakah hatiku demikian kering, dan jiwaku begitu congkak?

Pada dua rakaat ketiga, beberapa jamaah di musala mulai berkurang, tinggal satu orang yang masih salat, satu orang larut dalam tadarus, satunya lagi tidur - tiduran. Suasana menjadi lebih tenang, iklim yang mendukung upayaku untuk menggapai keintiman dalam ibadah. Bukankah ada pesan bahwa bercakaplah kepada Allah melalui salat? Demikianlah niat yang kucamkan dalam diri, hasrat bercakap dengan Allah secara khidmat.

Pada rakaat pertama, kubaca surah An Naba dari ayat pertama hingga ayat sepuluh. Kulantunkan sebisaku, kumirip - miripkan dengan cara baca Syekh Misyari Rasyid untuk membangun suasana, meski kuyakin bila ada orang lain yang mendengar, akan menertawai cengkok bacaku. Tapi itu kulakukan demi merasai nuansa kebatinan yang syahdu, merasai dialog yang intim dengan Sang Maha Indah.

Memasuki rakaat kedua, entah mengapa, tiba - tiba mataku berembun, dadaku dipenuhi geletar, suaraku bergetar. Kulanjutkan membaca an Naba mulai dari ayat keempat belas.
Wa anzalnaa minal mu'shiraati maa'an tsa'jaajaa
Li nukhrija bihii habban wa nabaataa
Wa jannaatin alfaafaa
Aku terisak, rasa hati tak mampu kujelaskan, ayat - ayat yang kubaca entah bermakna apa. Namun yang pasti, proses lakrimasi berlangsung dan aku menikmati itu. Dua rakaat ketiga kutuntaskan dengan kepuasan yang tepermanai.

Dua rakaat keempat kupungkas dengan rasa hati yang lapang. Efek dari rakaat kedua sebelumnya betul - betul menghanyutkanku dalam salat yang syahdu. Alhamdulillah, niatku  untuk menggapai salat yang berurai air mata tuntas sudah. Inilah duha yang paling nikmat yang kurasakan, meski harus kumulai dengan upaya berpura - pura menangis, bahkan berupaya memeras air mata.

Saat salatku tuntas, kuraih gawai dan kubuka aplikasi al Quran, kulongok surah An Naba ayat keempat belas, ayat yang membuat air mataku menderas.
dan Kami turunkan dari awan, air hujan yang tercurah dengan hebatnya,
untuk Kami tumbuhkan dengan air itu biji - bijian dan tanam - tanaman,
dan kebun - kebun yang rindang.
Terjemahan ini membuatku merasa aneh sendiri. Ayat membahas soal hujan, tanaman, dan kebun, kok bisa membuatku menangis? Atau jangan - jangan tangisanku tadi benar - benar sekadar buah kepura - puraan? Entahlah.

Makassar, 1 ramadan 1440 H

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama