Menemukan Tjokro di Era Kiwari


[20.02.2021] Menghidupkan kembali (H.O.S) Tjokro(aminoto) di masa sekarang bukanlah perkara mudah. Bukan jasadnya, tapi pikiran-pikirannya, kepribadiannya, juga tindakan-tindakannya. Salah satu upaya menghidupkan Tjokro adalah dengan menuliskan atau terus-menerus merefleksi pikiran-pikiran Tjokro. Seperti yang dilakukan oleh Kasman McTutu dengan menerbitkan sebuah buku berjudul “Reinventing Tjokro: Meneroka Ulang Serpih Adicita Jang Oetama”.

Buku itu adalah kumpulan esai yang awalnya terserak baik di media daring maupun luring, dikompilasi kemudian diterbitkan. Esai-esai itu sendiri adalah refleksi terhadap Tjokro setiap kali penulis berhadapan dengan momentum nasional maupun lokal. Juga sebagiannya merupakan tanggapan atas wacana-wacana yang berkembang di masa kini, dengan mengajukan Tjokro sebagai pembanding.

Siapakah Tjokro bagi pemuda era kiwari? Ia adalah tokoh sejarah pergerakan nasional yang tak begitu diperhitungkan. Namanya menjadi salah satu di antara sederet pahlawan yang mesti dilafalkan anak-anak SD dalam memenuhi tugas sekolahnya. Tidak lebih.

Namun, tahukah anak muda zaman ini kalau Tjokro adalah penyumbang terbesar bagi inspirasi Soekarno dalam memproklamasi kemerdekaan? Sebelum istilah proklamasi, Zelfbestuur (pemerintahan sendiri) sudah dikumandangkan Tjokro pada saat National Indische Congres (Natico) pertama Central Islam (CSI), 29 tahun dan 2 bulan sebelum proklamasi kemerdekaan RI.

Menemukan Tjokro di Era Kiwari

“Natie” yang berarti kebangsaan juga sudah disebut-sebut waktu itu. Padahal, Indonesia–Hindia–pada saat itu adalah bagian dari wilayah kekuasaan pemerintah kolonial Hindia-Belanda. Kalau ditarik ke zaman sekarang, kira-kira mirip HTI yang memekikkan seruan mendirikan khilafah di hadapan pemerintah pusat, tindakan itu akan disebut makar!

Demikianlah, konsekuensi yang harus ditanggung oleh Tjokro gegara prinsipnya itu–Zelfbestuur, pemerintahan sendiri–harus mendekam sebagai tahanan kolonial, dan menyebabkan Sarekat Islam pecah menjadi dua faksi utama, SI putih dan SI merah. Yang terakhir disebutkan adalah cikal bakal Partai Komunis Indonesia (PKI).

Lebih dari soal sejarah semacam itu sebenarnya, “Reinventing Tjokro …,” karya Kasman McTutu memberi banyak tambahan energi di dalam esai-esainya, yaitu berupa isu-isu kontemporer yang jawabannya seolah sudah dipikirkan oleh Tjokro jauh sebelum masa sekarang.

Saya pribadi berpendapat, esai adalah pilihan yang tepat untuk menghidupkan Tjokro dalam merespons isu-isu kekinian, ketimbang dalam bentuk karya ilmiah. Esai bisa lebih lentur, bisa menyajikan hal-hal yang oleh karya ilmiah cenderung dianggap tak memenuhi syarat ilmiah. Pilihan jenis tulisan esai sebagai pengungkap pikiran Tjokro oleh penulis adalah bentuk kecemerlangan penulis dalam meletakkan serpih pemikiran Tjokro dalam setiap chritical review-nya.

Sejarah Tjokro bisa kita baca dalam banyak buku, salah satunya yang paling bagus ada pada buku “Jang Oetama” karya Aji Dedi Mulawarman. Buku itu membuat kita setidaknya bisa meraba bagaimana kehidupan dan laku Tjokro semasa dirinya menjadi seorang pemimpin organisasi muslim terbesar itu–Kasman mengutip A.K. Pringgodigdo yang menyebut anggota SI pada Natico pertama saja sudah berjumlah kira-kira 800.000 orang.

Namun, melalui esai-esai reflektif, Kasman setidaknya mengangkat topik kekinian yang menarik setidaknya dalam lima hal:

Rumah Ideologi-Ideologi Besar

Pertama, mengelola keberagaman. Para pemuda yang terlibat aktif dalam Kongres Pemuda II dan melahirkan sumpah pemuda itu, sebagian besarnya adalah anak didik Tjokro di Syarikat Islam (hal. 41). Dari merekalah ide pertama untuk menyatukan seluruh bangsa di bawah sumpah pemuda–Sutardji Calzoum Bachri menyebut Sumpah Pemuda adalah “puisi” yang mencipta sejarah besar.

Rumah Tjokro di Gang Peneleh menjadi rumah besar bagi pemuda-pemuda dengan ideologi berbeda. Kita tahu setidaknya ada tiga orang murid Tjokro yang paling menonjol dengan ideologinya masing-masing: Soekarno dengan Nasionalisme-nya; Semaoen dengan Komunism-nya; Kartosoewirjo dengan Islamisme-nya.

Kelak ketiga ideologi ini saling berseteru. Padahal ketiganya lahir dari rahim yang sama, yakni murid-murid Tjokro sendiri, alumni Rumah Peneleh.

Menyadari hal itu Tjokro merumuskan warna pergerakannya, yakni “Sosialisme Islam”. Islam dan sosialisme punya banyak kesamaan, bahkan yang paling penting punya musuh bersama: kapitalisme-kolonialisme. Sosialisme Islam adalah sosialisme yang berdasar pada agama Islam, bukan pada materialisme. Demikian sosialisme dan Islam tak perlu diperhadap-hadapkan;

Kedua, ajaran Islam adalah spirit kecintaan terhadap bangsa. Di halaman 95 buku itu, penulisnya mengutip Tjokro yang berdiri berpidato dengan lantang:

“Kita mencintai bangsa kita dengan ajaran agama kita (Islam), kita berusaha sepenuhnya untuk mempersatukan seluruh atau sebagian terbesar bangsa kita … dan meminta segala sesuatu yang kita anggap dapat memperbaiki bangsa kita, tanah air kita, dan pemerintahan kita.”

Jadi, jauh sebelum sila ketiga “Persatuan Indonesia”, juga semboyan Bhineka Tunggal Ika dikampanyekan secara TSM (terstruktur, sistematis dan masif) bersamaan dengan Pendidikan Pancasila di zaman Orde Baru, Tjokroaminoto sudah menggelorakan ide itu, bahwa ide persatuan bangsa adalah menjalankan ajaran agama (Islam);

Ketiga, memeriksa paradigma keilmuan Tjokro. Sepanjang lima halaman (hal. 110 – 115) penulisnya mengulas paradigma keilmuan Islam–sesuai judul esai itu, yang juga sekaligus menjadi isyarat bagaimana Tjokro memandang ilmu pengetahuan.

Paradigma Keilmuan

Tjokro telah menulis Program Asas dan Program Tandhim (perjuangan) Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII, sekarang SII), sebagai pedoman para anggota SI dalam berjuang. Kasman mengutip di dalamnya, yaitu pada halaman 65 Program Asas dan Tandhim, bahwa Tjokroaminoto mengingatkan untuk menuntut ilmu dengan setinggi-tingginya akal, tetapi tidak dengan mengesampingkan budi pekerti.

Lalu ia (Kasman) menghubungkannya dengan pikir dan zikir yang disinyalir oleh Q.S. Ali-Imran (3) ayat 190 – 191. Itulah paradigma keilmuan Islam, di dalamnya bukan hanya pengetahuan melalui usaha (hushuli) yakni domainnya pada akal, tetapi juga pengetahuan yang langsung dari Allah (hudhuri), yang menjadi domain hati.

Maka setinggi-tinggi ilmu dari tiga prinsip Tjokroaminoto (sebersih-bersih tauhid, setinggi-tinggi ilmu, dan sepandai-pandai siyasah), berarti juga adalah setinggi-tinggi ilmu hushuli dan juga setinggi-tinggi ilmu hudhuri. Sebuah gagasan yang mendalam walau dengan penyampaian yang kurang filosofis;

Keempat, pikiran-pikiran Tjokro mengatasi era Simulacra–pasca kebenaran. Tak pernah terbayangkan oleh saya, Tjokro akan dikait-kaitkan dengan Jean Baudrillard, filsuf cum sosiolog Prancis itu. Bagaimana tidak, satunya hidup di dunia pergerakan pribumi bertelanjang kaki, satunya lagi hidup dalam kultur kemewahan pemikiran Eropa.

Tetapi Kasman melakukannya, ia mengakrabkan keduanya (Tjokroaminoto dan Baudrillard) di dalam esainya yang berjudul “Ekstase Komunikasi dan Matinya Akal Sehat” (hal. 116 – 122). Baudrillard menguraikan bagaimana manusia-manusia abad teknologi mengalami “mabuk komunikasi”; sedang Tjokro memberikan pedoman bagaimana memilah informasi, dengan cara,

” … mengetahui sifat dan keadaan-keadaan pergaulan hidup manusia, dan dengan sejelas-jelasnya kita harus mengetahui kecelaan-kecelaan dan kebusukan-kebusukannya.” (Program Asas dan Tandhim SII, hal. 6);

Kelima, Tjokro melampaui politik identitas. Bagian ini sekaligus menjadi esai penutup buku itu. Kiwari, bangsa kita dicemari politik identitas yang sesungguhnya menjauhkan masyarakat kita dari simpati pada dunia politik. Paling banter musim politik dijadikan ajang untuk meraup keuntungan dari serangan fajar, dhuha , dzuhur, ashar, magrib, isya, hingga serangan tahajud, sebagai bentuk ketidaksimpatian itu.

Menghidupkan Tjokro Kembali

Parahnya, politik identitas cenderung menjual agama sebagai peneguh. Menghadapkan agama dengan yang dianggap non-agama. Alih-alih agama dijadikan spirit persatuan, malah dijadikan alat pemecah belah bangsa demi kepentingan politik sesaat.

Kasman menghadirkan kembali Tjokroaminoto di era politik identitas ini, yakni melalui esai penutup, “Syarikat Islam Indonesia Melampaui Politik Identitas”, yaitu dengan mengutip penggalan pidato Tjokroaminoto di Gedung Pertemuan Concordia (sekarang Gedung Merdeka), Bandung 17 Juni 1916:

“Bila tanah air kita kelak menjadi suatu negara dengan pemerintahan sendiri, maka seluruh lapisan masyarakat dan semuanya akan menuju ke arah dan bersama-sama memelihara kepentingan kita bersama, dengan tidak pandang bulu, baik bahasa, bangsa, maupun agama.” (hal. 136)

Demikianlah seharusnya, politik seyogianya mempersatukan bangsa yang majemuk ini, bukannya malah menjadikan identitas sebagai pembatas atau penutup akses bagi yang lainnya untuk menikmati hak politiknya secara demokratis.

Akan tetapi, becoming Tjokro dan melampaui Tjokro–dua tema yang juga dibahas pada bagian lain buku ini–tidaklah mudah. Syarikat Islam Indonesia (SII) yang dulunya dipimpin oleh Tjokroaminoto, kini masih eksis. Organisasi ini beserta anak-anaknyalah yang paling diharapkan untuk menghidupkan kembali (nilai-nilai yang dibawa oleh) Tjokroaminoto.

SII punya satu tantangan besar, yakni mesti tetap cemerlang di tengah menjamurnya elemen gerakan Islam saat ini yang masing-masing memiliki corak dan bidangnya masing-masing. Misalnya, dua ormas tertua selepas SII–NU dan Muhammadiyah–masing-masing mewakili Islam tradisional berwajah pesantren dan Islam modernis yang berwajah pendidikan modern.

Juga ormas-ormas lain yang lebih baru, kita tahu punya warnanya sendiri-sendiri. SII beserta anak-anak pewaris sah Tjokroaminoto juga. perlu tampil dengan warnanya, yakni warna Tjokroaminoto. Reinventing Tjokro karya Kasman McTutu ini layak untuk dijadikan inspirasi untuk becoming Tjokro, dan bahkan melampaui Tjokroaminoto.

***

Judul Buku: Reinventing Tjokro | Penulis: Kasman McTutu | Penerbit: Ellunar Publisher | Tahun Terbit : Cet. I, 2020 | Tebal: 150 halaman | ISBN: 978-623-204-641-2

Resensi oleh: Saiful Ihsan, Ketua PW Pemuda Muslimin Indonesia Provinsi Sulawesi Selatan

https://tanwir.id/menemukan-tjokro-di-era-kiwari/

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama