[07.01.2022] Mondeng meraih kedua tanganku, menggenggamnya erat, lalu merengkuhku dalam peluknya. Aku merasa terapung pada kolam yang hangat, tubuhnya yang bongsor seakan membelit badanku yang lampau. Sesaat nafasku sesak. Dia segera melepas rangkulannya, mukanya semringah. Sebentuk senyum bergelayut di sudut bibirnya, mungkin ini senyum terindah yang pernah dia buat. Sejak aku mengenalnya, belum pernah kulihat dia tersenyum sedemikian.
“Selamat ya Sari. Akhirnya…” Dia, belum melepas genggamannya di tanganku.
“Hai, agatu? Ada apa ini?” Mataku mendelik ke arahnya.
“Sapaq dan keluarganya sudah tiba di rumahku tadi siang.” Mondeng menyebut nama sepupunya, Safaruddin nama lengkapnya.
“Lalu?”
“Artinya, proses lamaranmu besok pagi tak bakal tertunda, hehehe…”
Aku terdiam, mengingat semalam emak memintaku agar bersiap, ada yang akan datang menemuiku di lusa pagi, katanya.
Sebetulnya ia bernama Masniar, tapi karena badannya bulat berisi, ia lebih karib disapa Mondeng, plesetan dari bondeng yang berarti bongsor. Selain bertetangga –rumah kami cuma diantarai empat rumah lain, juga karena kami selalu menuntut ilmu pada sekolah yang sama sejak SD hingga SMA. Kami baru jarang bertemu saat aku melanjutkan kuliah ke Ujungpandang, sementara dia memilih mengikuti anjuran orang tuanya untuk menikah. Tapi sejak kuliah kupungkaskan pada tahun keempat dan lalu berdiam di kampung, dialah yang paling rajin menyambangiku, dan menganjurkanku segera menikah.
Maka saat sepupunya datang ke kampung dan menyatakan keinginannya untuk menikah dengan gadis dari desa kami, dia tak segan menyodorkan namaku. Putra adik bungsu ayahnya itu memang diharapkan oleh keluarga besarnya untuk menikah di kampung. Orang tua Sapaq telah merantau sejak muda dan menetap di Batam hingga kini. Harapannya, bila anaknya menikah di kampung, mereka sekeluarga punya alasan untuk sering pulang bahkan untuk menetap di kampung sambil menjalani hari tua.
Sapaq merupakan ustaz muda yang lagi viral, konten dakwahnya di media sosial selalu diserbu jamaah milenial. Cara penyampaian lulusan universitas di Maroko ini perihal agama, begitu mengena di hati generasi zaman kiwari. Itulah yang membuat saya pada awalnya ragu mengiyakan permintaan Mondeng untuk membicarakan hal ini dengan orang tuaku. Tapi atas desakannya, apalagi dia selalu menyebut-nyebut umurku yang tak lagi muda, aku bersedia menerima lamaran Sapaq.
* * *
Kami masih duduk mengelilingi meja makan dan membicarakan persiapan untuk menerima kedatangan keluarga Sapaq besok, ketika tiba-tiba ayah melonjak berdiri dan memberi isyarat dengan tangannya agar kami semua menahan bicara.
“Coba dengar….”
“Dengar apa?” Ibuku, bertanya mewakili keheranan kami semua.
“Engkalinga madecengngi! Dengarkan baik-baik!” Seru ayah, telunjuknya menuding ke atas.
“Apa yang harus kami dengarkan?” Kali ini aku yang bertanya.
“Itu di atas timpaq lajaq, bubungan rumah kita kan?” Mata ayah membeliak.
“Khraaaaaak….. khraaaaak……” Terdengar suara dari atas.
“Betul, itu di atas timpaq lajaq kita.” Lutut ayah seperti kehilangan tenaga, ia terduduk di kursinya dengan muka pias.
“Suara apa itu, emmaq?” Tanyaku mengalihkan pandangan ke ibu yang sudah berdiri di belakang ayah sambil memijit ringan bahunya.
“Itu suara serraq, suara burung gagak.” Jawab ibuku sambil memberi isyarat agar kami tak lagi melanjutkan perbincangan.
Aku terhenyak di kursi, ini pertanda buruk. Aku ingat, dulu ketika nenek masih hidup, dia akan mengajak kami diam bila suara serraq terdengar. Nenek akan menelisik di atas timpaq lajaq siapa gerangan burung gagak itu berbunyi. Menurut nenek, suara erangan burung gagak di atas bubungan rumah pada malam hari, menjadi penanda bahwa si empunya akan kena tulah. Bahkan bila suara itu berbunyi dari pohon di samping atau belakang rumah, nenek akan mendehem, seakan menyahuti suara serraq.
Suasana menjadi lengang, perlahan ayah berdiri, bertelekan di pinggiran meja. Ia mendehem, berulang hingga tiga kali, lalu berjalan sempoyongan menuju kamarnya. Punggungnya ditekuk, seperti ada beban berat yang bertumpuk di sana, belum pernah kulihat ayah segelisah itu. Tak lama, ibu menyusul. Kami bubar meninggalkan meja makan dengan isi pikiran masing-masing. Suara serraq masih terdengar sayup, entah di atas timpaq lajaq siapa lagi sekarang.
* * *
Aku terbangun saat masjid di dekat rumah masih melantunkan salawat tarhim. Masih ada kesempatan untuk witir. Saat berwudu, pintu depan berderit, ayah hendak ke masjid. Aku memilih salat di rumah, lebih afdal kata Uwak Dawuq, guru mengajiku dulu. Selepas salat, kulafalkan berberapa bait zikir pagi, sebelum terpenggal oleh salam ayah yang terdengar tergesa, disusul suara omelannya yang menggelegar.
“Panggil Sari ke sini!”
“Ada apa, daeng?”
“Ajaqna muakkutana, Tak usah banyak tanya!” Ayah meja digebrak,
Tak menunggu lama, kepala ibu muncul dari balik pintu kamarku yang tak tertutup.
“Gattiko, nak! Macaiq ettamu! Cepatlah, Nak! ayahmu lagi murka!” Aku yang masih bersimpuh di atas sajadah, dipaksa berdiri, bergegas menemui ayah yang mondar-mandir di ruang tamu.
“Tabeq etta. Maaf ayah, ada apa?”
“Bilang sama itu temanmu…!” Berkacak pinggang telunjuknya mengarah ke jurusan rumah Mondeng.
“Mondeng, etta.”
“Iya, Mondeng!”
“Magai? Kenapa dengan Mondeng, etta?”
“Poadangngi! Beri tahu dia! Itu sepupunya yang mau melamar, tidak usah datang!”
“Ada apa, daeng?” Pelan-pelan ibu menyodorkan segelas air putih ke ayah.
“Pacilaka-cilakai matuq. Membuat celaka nanti!” Jawab ayah tegas, lalu duduk dan meminum seteguk air.
Aku berdiri mematung sambil memilin ujung mukena, tak tahu harus bicara apa, ibu juga terlihat bingung dengan suasana. Nafas ayah masih tersengal, menahan amarah. Setelah agak lama, ibu memberanikan diri untuk kembali bicara.
“Magai, daeng? Ada apa?”
“Tadi subuh, lelaki itu jadi imam salat subuh di masjid.” Ayah mulai tenang.
“Wah, bagus itu, daeng.”
“Bagus apanya? Al-‘Alaq nappanguppurang!” Jawab ayah. Aku bingung mendengar penjelasannya, apa salahnya surah al-‘Alaq?
“Tanra maneng iyyaro! Itu pertanda…!” Lanjutnya.
“Tanda apa, etta?” Tanyaku.
“Pokoknya dia tak boleh jadi menantuku!” Ayah meninggalkan aku yang masih mematung.
“Anu majaq, itu sesuatu yang buruk, nak.” Ibu merangkul pundakku, menuntunku menuju kamarku.
Aku terduduk di pinggir tilam, terisak. Ibu mengelus kepalaku, mungkin mencoba menenangkan. Tapi tak mempan, yang kubutuh bukan elusan, tapi penjelasan.
“Emmaq, apa ini?” Kutatap mata ibu yang juga berembun.
“Kamu ingat suara serraq ri aseqna timpaq lajaq-e? Burung gagak yang bersuara di atas bubungan, semalam?” Bukannya menjelaskan, ibu malah bertanya balik.
“Kamu tahu kata pertama dalam surah al-‘Alaq?” Imbuhnya. Aku makin bingung.
Ibu lalu duduk di sampingku, meraih kedua tanganku, digenggamnya lembut.
“Khraaaaaak….. itu lengkingan gagak, nak. Iqra’ itu kata pertama surah al-‘Alaq. Apa kamu kak menangkap adanya kemiripan bunyi pada keduanya?”
“Lalu apa hubungannya?”
“Naseng to matoae, bagi orang-orang tua kita dulu, bunyi itu adalah rintihan kepiluan dan lolongan kematian, undangan bagi malaikat maut untuk bertandang.” Ibu menjelaskan.
“Lengkingan gagak saja, sudah cukup mengundang kekhawatiran, apalagi ditambah dengan bacaan surah al-‘Alaq. Nappemmaliang to matoae, nak! Itu pamali bagi leluhur!” Aku hanya diam, kian tak mengerti.
“Iyyanaro riaseng sennu-sennuang. Pantangan. Tabu bagi seseorang yang jadi imam salat untuk menjadikan al-‘Alaq sebagai panguppu¸ bacaan surah dalam salat subuh dan isya.”
“Emmaq, ada larangan seperti itu?” Tanyaku pilu.
“Seorang imam yang melakukan itu, akan dikecam karena dianggap berharap duka bagi jamaahnya.” Aku kian bingung.
* * *
Ibu menghampiri ayah dalam kamar, mencoba menelisik apa yang berkecamuk dalam hatinya.
“Jadi, bagaimana dengan kedatangan keluarga Sapaq, daeng?”
“Kita harus mencegah hubungan ini.”
“Tapi ini masa depan anak kita, daeng!”
“Kamu tak lagi peduli pada ada to matoa, perkataan para leluhur?”
“Bukan begitu, daeng.”
“Lalu apa?”
“Hanya saja…”
“Hanya apa?”
“Layakkah kita mengorbankan pernikahannya pada pemmali dan mengeruhkan masa depannya karena sennu-sennuang!?”
“Lalu apa kita harus membiarkan anak kita merasakan duka yang pernah kita alami karena ketakpedulian pada itu semua!?” Mendengar perkataan ayah, ibu terdiam, pikirannya menerawang, matanya menatap jauh melalui jendela, mentari baru saja membuka mata.