Karena Jatah Malam Jumat


Ustaz Rappe menuntaskan salat subuh dengan ucapan salam, puluhan jamaah ikut menoleh ke kanan dan ke kiri, lalu bersalam salaman. Belum sempat pembina rumah tahfiz tersebut mulai melantunkan zikir bakda salat, seorang pria paruh baya tiba-tiba berdiri di samping mimbar, bersiap untuk berbicara, menyampaikan pengumuman barangkali.

Dengan sigap, ustaz Rappe menyodorkan mikrofon mini ke arah bapak yang berdiri itu, Pak Bandu namanya, Ketua RT di lingkungan masjid Raodah. Saat menyambut mikrofon, tangan Pak Bandu gemetar, mukanya menegang, bahkan berdirinya terlihat tak tenang. Apa mungkin ia akan menyampaikan kabar duka? Siapa lagi warga yang berpulang?

Setelah berusaha mengendalikan gejolak hatinya, Pak Bandu mulai berbicara, dengan suara yang menyiratkan berapa berat ganjalan di dadanya saat ia memulai dengan salam. Jemaah kian penasaran, kabar apa gerangan yang begitu mendadak, sehingga tak harus menunggu zikir bakda salat dituntaskan sebelum informasi itu disiarkan. Pak Bandu seperti terburu-buru, hendak menyampaikan sesuatu yang tak boleh ditunda-tunda.

Pak Bandu mendeham sambil membetulkan letak kopiahnya. Jemaah mendongak, sebagian sampai menahan nafas, penasaran dengan kabar apa gerangan yang akan disiarkan. “Bapak-bapak, bila ada yang mau disampaikan kepada jemaah perempuan…” Pak Bandu berhenti, jemaah mereka-reka ke arah mana pengumuman ini akan bermuara.

“Tolong sampaikan dengan cara yang baik, dengan lemah-lembut, jangan marah-marah dengan suara tinggi, ibu-ibu tersinggung!” Nafas Pak Bandu memburu, menahan emosi.

Mendengar itu, jemaah lelaki saling pandang? Apa iya, Pak Bandu tergopoh-gopoh demikiah hanya karena jemaah perempuan ditegur? Bukankah menegur jemaah lain merupakan hal yang biasa di masjid, bila aktivitas mereka mengganggu ibadah. Tapi, ada apa ini?

“Atau sampaikan ke saya, nanti saya yang teruskan ke mereka.” Kembali suara Pak Bandu menggema, kian nyaring, jemaah lain menghentikan zikirnya, masjid lebih hening.

“Atau bapak-bapak sudah tak menghargai saya sebagai Ketua RT dan pengurus masjid? Jangan-jangan, ada yang mau mengkudeta saya, hah!?” Nada Pak Bandu meninggi.

Jemaah terperangah mendengar kalimat Pak Bandu. Apa gerangan hal yang memicu kemarahannya? Bahkan sampai membawa-bawa jabatannya sebagai Ketua RT dan pengurus masjid? Biasanya pembawaannya kalem, bahkan cenderung diam dan hanya menjawab bila ditegur duluan. Selebihnya, cuma selalu memasang senyum kepada siapa saja yang kebetulan berpapasan atau berjalan beriringan dengannya.”

"Pak RT kenapa ya? Kok jadi uring-uringan begitu?” Pak Hasan yang merupakan sahabat karibnya terheran-heran.

“Iya, tidak biasanya beliau begitu.” Ujar Pak Unding.

“Tapi apa urusannya dia yang marah-marah? Ibu-ibu yang ditegur, dia yang tersinggung.” Komentar Pak Ramli, saingannya dalam pemilihan RT.”

Kurang tidur barangkali, jadi emosinya lagi labil. Beliau kan selalu mengontrol petugas ronda sampai larut malam.” Pak Hasan berusaha membela.

“Paling juga diomeli oleh istrinya, dia kan paling takut sama istrinya.” Sindir Pak Ramli.

Bisik-bisik mereka terdengar oleh jemaah sehingga menimbulkan gelombang cekikikan yang beresonansi perlahan di dalam masjid. Mendapati kenyataan sedemikian, emosi Pak Bandu tersulut.

“Siapa itu yang merisik?”

“Maaf. Ada apa ini sebenarnya? Tak ada awan tak ada angi, tiba-tiba Pak RT marah-marah, tentu kami heran dan merasa aneh.” Komentar Pak Ramli.

“Apanya yang ada apa? Sudah jelas saya bilang, jangan menegur seenak perut.” Pak Bandu merasa dirisak oleh bekas rivalnya, emosinya kian menggelegak.

“Sejak kapan menegur menjadi terlarang? Kalau ada jemaah yang ribut atau mengganggu jemaah lain, tentu ditegur atau diingatkan. Itu kan hal biasa di masjid ini?” Kembali Pak Ramli berargumen, diam-diam, pendukungnya saat pemilihan RT merasa sepakat.

“Siapa yang larang? Saya cuma mau agar menegur dengan sopan, atau melalui saya yang Ketua RT!” Suara Pak Bandu menggelegar.

“Kenapa harus melalui Ketua RT?” Tanya Pak Ramli.

“Kenapa kalau melalui saya? Kamu tak rela saya sebagai Ketua RT?”

“Maksud Pak RT apa?”

“Bilang saja kalau mau jadi Ketua RT, menangkan pemilihan, jangan main kudeta dong!”Jemaah terperangah, belum pernah mereka melihat Pak Bandu seperti itu.

“Astagfirullah, ada apa ini bapak-bapak?” Ustaz Irfan mencoba menengahi.

Suasana diam sejenak, sebelum Pak Bandu kembali berteriak garang.

“Siapa yang menegur jemaah perempuan kemarin malam!?” Gelegar suara Pak Bandu disambut hening.

“Kalian sudah tidak menghargai saya!?” Pak Bandu semakin menjadi-jadi. Jemaah meninggalkan masjid satu persatu, tak acuh terhadap Pak Bandu yang masih mengomel.

* * *

Salat isya belum ditegakkan, baru saja Daeng Mangung mengumandangkan azan. Jemaah lagi khusyuk melaksanakan salat sunah. Seorang pengurus masjid, Pak Temmu namanya, menegur jemaah perempuan dari balik tirai karena lumayan ribut berbagi kisah. “Ibu-ibu, kalau mau merumpi, di rumah saja.” Tegas Pak Temmu dari balik bentangan kain yang membatasi jemaah lelaki dan perempuan.

Bukannya diam, suara dari tempat jemaah perempuan kian riuh, mereka mengabaikan teguran Pak Temmu. Pak Lallo yang duduk di samping Pak Temmu ikut menimpali, “Jangan jadikan masjid seperti pasar!”

“Siapa yang bapak maksud? Jangan kasar begitu, Pak!” Terdengar suara dari balik tirai.

“Diberi tahu bukannya diam, malah melawan!” Timpal Pak Temmu.

“Kalau mau ribut, di rumah saja! Seperti anak-anak saja, harus ditegur!” Lanjut Pak Lallo.Suara gerutuan merebak dari jemaah perempuan, hingga imam bertakbir, kisikan masih juga terdengar dari sana.

Sementara itu, suasana di balik hijab tak kurang gerahnya.

“Siapa itu yang menegur kasar begitu?” Bisik Bu Halimah.

“Benar, apa dia tidak tahu kalau yang dia tegur adalah istri Pak RT.” Timpal Bu Aini menanggapi bisikan itu.

“Aduh, bagaimana ini, Bu? Sepertinya mereka tak lagi menghargai Pak RT.” Bu Halimah berbalik berbisik ke istri Pak RT, Bu Ratna.

“Iya, apakah tidak bisa disampaikan baik-baik?” Bu Erna meramaikan perbincangan.

“Iya ya, padahal kita kan tidak membahas sesuatu yang buruk, kita lagi merencanakan pengajian majelis taklim pekan depan.” Imbuh Bu Aini.

Mendengar itu semua, Bu Ratna hanya terdiam, meski matanya melolot menahan amarah. Bisik-bisik baru berakhir saat Ustaz Irfan mulai membaca Al Fatihah.

* * *

Sepulang dari masjid, Pak Bandu berkeliling dulu menyapa warga yang bertugas ronda di pos kamling. Sekira jam sembilan malam, RT yang sudah tujuh tahun menjabat itu, memasuki rumahnya. Setelah mengucap salam, Pak Bandu menuju kamar tidur, dia sudah makan malam sejak jam lima sore tadi. Kini saatnya tidur. Tapi saat hendak masuk tidur, kamarnya tak terbuka.

“Jangan coba-coba tidur di kamar malam ini!” Teriak Bu Ratna dari dalam kamar tidur.

“Ada apa, sayang?” Pak Bandu mencoba mendorong pintu kamar, terkunci dari dalam.

“Ada apa, ada apa! Kamu tak tahu!? Saya dipermalukan tadi di masjid!” Suara istrinya melengking, amarahnya mencapai ubun-ubun.

“Dipermalukan bagaimana?” Muka Pak Bandu pias.

“Siapa itu yang kurang ajar menegur saya dengan teriak-teriak!?” Istrinya belum puas marah-marah.

“Saya tidak tahu sayang. Nanti besok saya cari tahu.”

“Pokoknya tidur di luar sebelum kamu menyelesaikan masalah ini!”

“Mau diselesaikan bagaimana?”

“Terserah! Tapi orang yang tidak menghargaiku itu harus dibalas!”

“Iya, besok saya balas, tapi izinkan saya tidur di kamar ya?”

“Tidak!” Pintu terbuka, Bu Ratna melemparkan bantal dan selimut ke arah suaminya, lalu kembali menutup pintu dengan keras.

“Ini malam Jumat loh, sayang!” Pak Bandu mencoba bernegosiasi

“Saya tak peduli!”

“Apa kamu tak ingin menjalankan sunah nabi?”

“Pokoknya, kalau rasa malu ini belum terbalaskan, jangan berharap dapat jatah dari saya!”

“Jadi saya betul-betul harus tidur di luar, sayang?”

“Kamu pikir saya bercanda? Sudah, saya mau tidur!”

Dengan bersungut-sungut, Pak Bandu membaringkan dirinya di kursi tamu.

“Aduh, siapa lagi itu bikin masalah? Kurang ajar!” Pikirannya menerawang, mencoba mengingat kembali kejadian tadi di masjid. Tapi tak ada wajah yang muncul di ingatannya.

“Awas kalian semua, besok subuh kita bertemu. Gara-gara kalian, saya sampai tak dapat jatah!” Pak Bandu tak henti menatap ke arah pintu kamarnya yang terkunci, hingga akhirnya ia terlelap berselimut amarah.

Tayang juga di: BengkelNarasi.Com

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama