Makan Maka Ada


Diktum 'Makan Maka Ada' menegaskan bahwa makan atau mengkonsumsi sesuatu adalah salah satu modus mengada atau bagaimana manusia menegaskan eksistensinya. Konon Ludwig Feuerbach pernah berujar, "Manusia ialah apa yang ia makan."

Aku teringat dengan pembahasan perihal makan dan makanan, karena tersentil oleh seorang kawan saat melihat aku melalui aplikasi rapat daring, aku berada di sebuah warung makan di Jakarta, dengan menu khas Sulawesi Selatan, 'Konro'.

"Jauh-jauh ke Jakarta, hanya untuk menikmati Konro? Hehehehe...." Guyon kawan tadi, yang kusambut dengan tawa renyah sembari menyeruput sisa kuah yang masih menggenang pada mangkuk di hadapanku.

"Ini soal selera, kawan." Aku berseloroh, setengah serius, juga setengah bercanda. Bagiku, soal selera memang agak misterius, betapa kita semua begitu fanatik dengan kuliner khas daerah masing-masing. Jean Anthelme Brillat-Savarin kabarnya pernah berujar, "Katakan apa yang kamu makan, dan aku akan memberitahumu siapa kamu."

Perihal fanatisme terhadap makanan khusus daerah masing-masing, termasuk kecintaan warga Makassar terhadap Konro, menarik didedah dari kacamata seorang Pierre Bourdieu yang membelah kelas selera menjadi 'selera yang legitim (legitimate taste)' dengan 'selera kaum jelata (legitimate taste)'.

Sederhananya, selera yang legitim (legitimate taste) adalah seleranya kelas ‘tinggi’, sememangnya selera kaum aristokrat. Selera yang dilembagakan, dimapankan, dan dikembangkan melalui ajaran perihal kuliner khas lokal. 

Sementara selera kelas ‘rendah’ yang dicap sebagai selera kaum jelata (popular taste), adalah selera jelata umumnya berkembang ‘secara alamiah’ karena persinggungannya dengan kehidupan keseharian yang nyata. Memunggungi selera yang legitim, ujar Bourdieu, selera kaum jelata senantiasa lebih mengutamakan fungsi daripada perspektif atau bentuk (form).

Kembali ke soal Konro tadi. Mungkin pada awalnya, Konro adalah selera kaum jelata yang dinikmati oleh masyarakat Makassar tanpa pretensi, selain sekadar sebagai salah satu cara mengolah makanan di keseharian untuk mengenyangkan perut.

Tapi dalam geliat zaman, Konro lalu menjadi kuliner yang terlegitimasi sebagai makanan khas Makassar. Mereka yang hendak didaku sebagai warga Makassar, lalu mengkonsumsi Konro untuk mendompleng pada legitimasi kuliner tersebut sebagai representasi Makassar.

Tapi apapun itu, soal makan dan makanan, aku menjadi menurut fatwa Emmanuel Levinas. Katanya, kita tak hidup untuk makan, tetapi tidak betul pula bila mengatakan bahwa kita makan untuk hidup. Baginya, yang betul adalah, kita makan karena kita lapar.

Demikian pula aku kini, meski duduk manis menghilangkan lapar di warung Konro, aku tak sedang menikmati Konro, melainkan Soto Betawi, dan kawan yang membersamaiku dari Makassar, malah asyik menikmati Sate Padang. Semua itu, karena kami lapar, bukan karena hendak diakui sebagai orang Makassar, orang Betawi, ataukah orang Padang.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama