Kenali Arahmu, Agar Tak Sesat Jalanmu


[21.03.2016] Mungkin anda pernah membaca sebuah meme yang bunyinya agak nyelekit, Jangan khawatirkan rezekimu, bukankah Allah telah menjaminnya?
Khawatirkanlah amalmu, karena Allah tidak menjaminmu surga. Terkadang memang, kita menghabiskan waktu dan energi mengejar rezeki, dan hanya menyisakan ujung tenaga dan kesempitan waktu untuk ibadah.

Ibadah terburu-buru, salat yang tak khusyuk, dan semacamnya menjadi rutinitas kita. Salat hanya dikerjakan untuk menggugurkan kewajiban, bukan untuk menyiapkan bekal bagi perjalanan panjang di alam akhirat. Ketika membaca meme di atas, aku langsung teringat dengan sebuah kisah.

Syahdan suatu hari, seorang guru hikmah dan kearifan, Syekh Bayasid Bustami sedang melakukan perjalanan. Ketika tiba di sebuah kampung, bertepatan dengan masuknya waktu salat wajib. Sang guru memutuskan untuk ikut salat berjamaah di sebuah masjid, beliau sholat sebagai makmum.

Begitu salat selesai, zikir dan wirid pun tuntas dilafalkan, imam sholat yang ternyata mengenal keseharian sang guru, mendekati Bayasid dan melontar tanya.
“Tuan, saya melihatmu tidak memiliki pekerjaan yang memberi penghasilan, lalu dengan apa kau memenuhi kebutuhan hidupmu? Dengan jalan apa engkau mendapatkan rezeki?”

Mendengar soalan itu, sang guru tersenyum dan berkata.
“Sebelum saya menjawab pertanyaanmu, izinkan saya untuk mengulang salatku.”
Maka di bawah tatapan heran sang imam dan jamaah yang mengikuti percakapan tersebut,  Bayasid mengulang salatnya.

Seusai salam, Bayasid mendekati sang imam dan kerumunan jamaah, dengan suara lembut, sang guru bertutur.
“Mungkin kalian bertanya, mengapa saya mengulang kembali salat. Ketahuilah olehmu, itu karena salat di belakang imam yang tak mengenal Sang Maha Pemberi Rezeki, hukumnya adalah tidak sah.”

Dari kisah ringkas yang dikemukakan oleh Fariduddin Atthar dalam Tazkiratul Auliya' ini terangkum hikmah yang luar biasa. Bahwa salat bagi orang-orang yang tidak mengetahui di hadapan siapa dia menyembah, kepada siapa dia mi’raj, adalah salat yang tertolak.

Mereka yang salatnya tertolak, tentu tak pantas untuk menjadi imam dan memimpin salat kaum muslimin. Sebabnya, mereka tak mengenal Tuhannya, tuhan yang menjadi muara segala doa, dan tujuan segala sembah. Maka bersalat di belakang mereka menyebabkan salat kita pun tak sah, sebagaimana dicontohkan sang guru.

Bila kisah ini ditarik ke keseharian kita, tentu ini menimbulkan soalan baru. Bagaimana dengan kualitas sholat kita? Apakah para imam yang kita menjadi makmum di belakangnya adalah mereka yang memang pantas memimpin salat kita? Lewat cara apa kita mengetahuinya?

Betapa banyak masjid di sekitar kita, mengangkat iman dengan lebih memperhatikan keindahan bacaan quran-nya dibanding mengukur sejauhmana kedalaman pemahaman tauhidnya. Di sinilah dituntut kehati-hatian kita dalam memilih masjid untuk berjamaah.

Ini tidak berarti bahwa kita menjadi punya alasan untuk tidak berjamaah, bukan itu intinya, tapi bagaimana kita semua menyadari bahwa penetapan seorang imam di sebuah masjid bukan sekedar perkara remeh seputar bacaan salat. Ini terkait dengan perkara yang lebih besar, kepada siapa kita siap menitipkan urusan kita: terutama soal spiritual.

Soalan ini mengingatkan saya pada konsep persekutuan pada kaum Katolik. Seseorang akan menjadi anggota persekutuan di gereja di mana dia dibaptis, dan itu berarti dia hanya akan menjalankan kebaktian di gereja tersebut. Ada ikatan yang intim antara pastor dan jemaat, tak sekedar kebetulan seagama dan bertemu di gereja.

Sebagaimana konsep persekutuan Katolik, selayaknya konsep jamaah dalam Islam, pun demikian adanya. Seseorang menjadi makmum kepada imam siapa dia berbaiat, kepada siapa dia mengikat janji setia.

Namun sayangnya, konsep baiat yang merupakan ikatan kukuh antara seorang imam dengan makmum, atau pemimpin kepada umat, seakan terlupakan. Padahal, sejarah mengajarkan, nabi Muhammad yang mulia, tak pernah sekalipun menerima keislaman seseorang tanpa melalui baiat, waima kepada perempuan sekalipun.

Maka, untuk mewujudkan ikatan jamaah yang kukuh, dengan makmum yang taat, dan imam yang pantas ditaati, hanya akan terwujud bila proses baiat tidak lagi menjadi asing di tengah umat ini. Sebab, kemengangan yang dekat hanyalah hak mereka yang berpegang teguh pada baiatnya (Q.S. 48 : 18).

Kalau Tjokroaminoto pernah melontar tanya kepada Agus Salim, “Sampai di mana hijrah kita?”, maka di penghujung tulisan ini, aku ingin melontar tanya, “Sudahkah anda berbaiat?” Sebab baiat adalah kunci, sah dan tidaknya kita sebagai jamaah.

sumber foto: http://faizalchoir.blogspot.co.id

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama