Haji Mabrur Tanpa Ke Makkah


[27.03.2016] Dalam pemaparannya pada Seminar Upaya Meraih Haji Mabrur, 19 Desember 1992 di Jakarta, dr. H. M. Subki Abdulkadir menceritakan sebuah kisah menarik tentang bagaimana seseorang yang meraih pahala haji mabrur, sementara dirinya belum pernah melakukan perjalanan ke Baitullah di Makkah.

Pada tulisan ini, aku akan menceritakan ulang kisah tersebut dengan gaya yang berbeda tanpa mengubah substansi cerita. Semoga melalui kisah ini, kita bisa mengambil hikmah, betapa Islam merupakan ajaran yang begitu menghargai kerja-kerja kemanusiaan. Berikut kisahnya.

Tersebut pada seuntai hikayat dalam sebuah kitab, seseorang –sebutlah Daeng Kulle– berhasil mendapat pahala haji mabrur. Raihan Daeng Kulle terdengar oleh seorang tetangganya –sapalah Daeng Rewa– yang penasaran dengan hal tersebut.

Daeng Rewa begitu heran, sehingga dirinya menemui Daeng Kulle untuk mengetahui amalan apa gerangan yang bisa mengantarnya sampai pada derajat sedemikian: haji mabrur. Yang lebih mengagetkan, ternyata Daeng Kulle belum menunaikan ibadah haji.

Setelah didesak bertubi-tubi, akhirnya Daeng Kulle menceritakan pengalamannya yang mungkin terkait dengan predikat haji mabrur yang dilekatkan padanya.
*     *     *

Pada tahun lalu, Daeng Kulle memang berniat menunaikan safar ke baitullah untuk menunaikan ibadah haji. Perbekalan sudah dia siapkan, bacaan manasik haji sudah dia tuntaskan, dan doa-doa mustajab sudah pula dia resapi. Dia tinggal menunggu jemputan sahabatnya.

Di masa-masa penantianya itulah, Daeng Kulle mencium aroma masakan yang demikian mengundang selera, air liurnya hampir meloncat keluar. Dia bertanya-tanya, siapa gerangan yang memasak makanan sedemikian lezatnya?

Tak tahan dengan selera makan yang membuncah, Daeng Kulle berusaha mencari tahu dari mana asal aroma itu. Dia berjalan menyurusi jalanan kompleks di mana dia tinggal. Sampai di ujung blok, tepat di luar kompleks, dia melihat sebuah gubuk yang dia yakini dari sanalah bau lezat itu berasal.

Gubuk itu ditinggali oleh janda setengah baya, Daeng Minne namanya. Sehari-hari Daeng Minne memenuhi kebutuhan hidup bersama ketiga anaknya yang masih balita dengan menjadi tukang becak.

Daeng Kulle menemui Daeng Minne.
     “Aroma masakanmu demikian lezat, maukah kau berbagi walau sedikit saja kepadaku? Aku begitu ingin mencicipinya.” Bilang Daeng Kulle.
     “Saya tak bisa memberikan padamu, walau setetes.” Jawab Daeng Minne.
     “Aku sangat menginginkannya, bila memang perlu, aku siap membayarmu untuk itu.” Daeng Kulle sedikit memaksa.
     “Maaf Daeng, tapi saya benar-benar tak bisa memberikan makanan ini padamu.” Kilah Daeng Minne lagi
     “Tapi mengapa?” Buru Daeng Kulle.
     “Saya tak mau membuatmu terjerumus dalam dosa.” Ujar Daeng Minne. Mendengar itu, Daeng Kulle terdiam dengan muka keheranan.
     “Makanan ini halal bagi saya beserta anak-anak saya, tapi tidak bagimu, Daeng.” Suara Daeng Minne terdengar memelas.
     “Kenapa bisa begitu!?” Daeng Kulle agak memaksa.
Karena tak kuasa melihat tatapan menuntut dari Daeng Kulle, Daeng Minne mulai bercerita.

Daeng Minne menceritakan bahwa sebagai tukang becak, sudah tiga hari dia tak punya penghasilan. Penumpang lebih memilih naik ojek atau becak bermotor. Itu membuat keluarga Daeng Minne sudah tiga hari kelaparan.

Pada hari pertama dan kedua, mereka bisa bertahan, dan demi menjaga muruah, mereka menolak meminta-minta. Berharap ada tetangga yang memerhatikan dan memberinya sedikit sedekah. Tapi nyatanya, tak ada yang datang walau seorang.

Karena tak bisa lagi menahan lapar pada hari ketiga, Daeng Minne memutuskan mendatangi beberapa tetangga untuk meminta sedekah, tapi rupanya, apa yang mereka harapkan tak kunjung tiba. Dia pulang dengan tangan hampa.

Dalam perjalanan pulang, Daeng Minne menemukan bangkai kambing di sebuah tempat sampah di depan pasar. Dengan perasaan masygul, dia membawa bangkai itu pulang, dia cuci bersih lalu dimasaknya. Dari sanalah aroma lezat itu berasal.

     “Demikianlah muasalnya, sehingga makanan ini halal bagi kami, tapi haram bagimu, Daeng.” Daeng Minne mengakhiri ceritanya.
Mendengar itu, Daeng Kulle meneteskan airmata, dan saat itu juga, dia membatalkan niatnya berangkat haji. Bekal yang sudah dia siapkan, disedekahkannya kepada Daeng Minne dan keluarga.
*     *     *

     “Mungkin karena kejadian itulah, Allah mengganjarku dengan pahala haji mabrur.” Pungkas Daeng Kulle kepada Daeng Rewa yang dengan setia menyimak kisahnya.

Menurut dr. H.M. Subki Abdulkadir, kisah ini mengajarkan kepada kita bahwa menolong lingkungan yang menderita adalah lebih utama dan harus didahulukan. Toh, kewajiban haji hanya sekali, dan selebihnya adalah sunnah sahaja.

Lanjut Subki, pergi haji yang lebih dari yang diwajibkan adalah tidak dianjurkan kecuali telah menolong lingkungan yang juga menjadi kewajibannya. Sebab, lingkungan merupakan salah satu tanggungan, sesudah kewajiban kepada sesama muslim dan kewajiban kepada kerabat.

Bila kita memerhatikan realitas praktik keagamaan sebagian umat yang diberi kelebihan secara material oleh Allah, akan kita temukan hal yang begitu jauh dari hikmah yang dituturkan pada kisah di atas. Bukannya kian peduli dengan lingkungan, malah sebaliknya, mereka lebih tertarik mengejar jadwal naik haji setiap tahun dengan jasa travel yang memungut biaya di atas rata-rata.

Bahkan ketika batasan kuota naik haji diterapkan, mereka masih berkelit dengan memilih bersafar ke baitullah dalam bentuk ibadah umrah, lengkap dengan wisata spiritual ke Mesir, Turki, Palestina, atau Qatar, tentu dengan biaya yang selangit. Mereka menjadi merasa kian dekat dengan Allah, padahal mereka lupa bahwa Allah bersama mereka yang papa.

Tahukah mereka bahwa Rasulullah, Muhammad al-Mustafa yang wajahnya bercahaya, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Majah, senantiasa melantunkan doa, “Ya Allah, hidupkanlah aku dalam keadaan miskin, matikanlah dalam keadaan miskin dan kumpulkanlah dengan orang-orang miskin.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama