Itu Laguku, Abi, Ininnawa Sabbara’é

[24.03.2016] Hari ini aku akan menceritakan padamu soal lagu yang juga sering aku gunakan untuk menidurkan anak-anakku, terutama anakku yang ketiga, Fatimah Kininnawa Tenri Sompa dengan gelar tambahan Daeng Ti’no. Bahkan saking seringnya aku menyanyikan lagu ini untuknya, Mimah –demikian kami menyapanya, mengklaim kalau lagu itu adalah lagunya.

Di samping keseringannya aku mendendangkan lagu ini untuknya, keterikatan Fatimah dengan lagu ini adalah pada kata ininnawa. Dalam namanya, tersemat kata ini: Kininnawa. Maka begitu dia mendengar aku menidurkan adiknya, Aditya dengan lagu ini, dia akan mendekat dan berucap, “Laguku itu, Abi, dipinjam sama adik ya?

Fatimah ini unik, meskipun dia demikian dekat secara psikologis dengan lagu bugis ini, namun di antara ketiga saudaranya, hanya dia sendiri yang menyapaku dengan sapaan yang berbau arab: abi. Sementara itu, saudaranya yang lain malah menyapaku dengan panggilan tradisional: tetta.

Lagu yang berjudul Ininnawa Sabbara’é ini, sepertinya berangkat dari kesadaran kolektif masyarakat Bugis, karena tidak diketahui siapa penciptanya. Syair lagu ini memiliki beberapa versi, serta ada yang menggunakan bahasa Bugis halus, maupun kasar.

Namun kesemua versi yang ada, pada hakikatnya sama saja. Lagu ini berisi nasihat dan pengharapan orang tua kepada anaknya, agar dalam kehidupannya, si anak mengarungi kehidupan dengan modal kesabaran dan kesyukuran, agar dia mendapatkan kebaikan.

Salahsatu versi lagu ini yang sering kunyanyikan adalah sebagai berikut:

Ininnawa sabbara'ko 2x
     Rasa hati diliputi kesabaran
Lolongeng gare' décéng
     Kelak mendapat kebaikan
Alla to sabbara'édé 2x
     Duhai mereka yang bersabar

Pitu taunna' sabbara' 2x
     Tujuh tahun kubersabar
Tengngina kulolongeng
     Belum jua kudapatkan
Alla riasengngé décéng 2x
     Duhai yang disebut kemuliaan

Sabbara'ko musukkuru'
     Bersabar dan bersyukurlah
Sabbara'ko na muléwa
     Bersabar dan mawas diri
Tunru-tunrui totomu
     Telaten jalani nasibmu
Alla décéng amale'na 2x
     Duhai sukacita balasannya

Décéng énré’ki' ri bola 2x
     Kebaikan, marilah ke rumah
Teng jali teng tappéré
     Tiada alas, pun tanpa tikar
Alla é banna masé-masé 2x
     Duhai, malahan bersahaja

Masé-masému tu andi 2x
     Kebersahajaanmu adinda
Teppaja uséngereng
     Tak henti kukenang
Alla mappa ompo décéng 2x
     Duhai menerbitkan sukacita

Aga guna masaraé 2x
     Apa guna dukacita
Masara teng akkéguna
     Nestapa tak berguna
Alla mappadoko aleé 2x
     Duhai hanya menyiksa diri

Aku memilih lagu ini ketika menidurkan anak dibanding menggunakan lagu yang lebih populer, Nina Bobo. Di samping alasan primordial bahwa aku terikat dengan lagu ini secara mondial, dan kuharap anakku kelak pun demikian, bagiku, lagu Nina Bobo terasa berbau kekerasan.

Coba perhatikan syairnya, “Kalau tidak bobo, digigit nyamuk.” Kalimat ini berisi ancaman bagi seorang anak yang tak terlelap. Penggal syair ini menempatkan anak sebagai obyek eksploitasi ketakutan secara koersif. Bila berlangsung secara kontinu, maka bisa dibayangkan, mental seperti apa yang terbangun pada kepribadian seorang anak yang dibesarkan dalam lingkungan sedemikian.

Bandingkan dengan syair-syair dalam Ininnawa Sabbara’é, yang dipenuhi dengan kata-kata positif: sabbara’ (sabar), décéng (kebaikan, kemuliaan, sukacita), sukkuru’ (syukur), léwa (mawas diri), tunru-tunru (telaten), masé-masé (bersahaja), dan séngereng (kenangan baik).

Kata dan situasi negatif dalam Ininnawa Sabbara’é, selalu diposisikan dalam kalimat yang menegasi. Coba perhatikan, bait kedua menunjukkan belum diraihnya kebaikan yang diharap-harap sebagai imbalan kebaikan pada bait pertama. Maka solusinya diungkap pada bait ketiga, sabbara’ (kesabaran) membutuhkan sukkuru’ (kesyukuran), léwa (mawas diri) dan tunru-tunru (ketelatenan).

Pada bait keenam, lagu ini mengingatkan hal-hal negatif yang harus dihindari demi diraihnya kebaikan. Buat apa menenggelamkan diri dalam sara (dukacita dan nestapa), nestapa hanya akan mendatangkan doko alé (siksa bagi jiwa dan dera atas raga).

Maka demikianlah muasal mengapa aku begitu merekomendasikan lagu ini bagi mereka –para orang tua– Bugis yang ingin menidurkan anaknya, atau hendak menasehati anaknya tanpa suasana tegang. Mari menghibur anak, menyambungkan jiwa, melalui lagu. Agar anak kita nanti tak mengenal kita sebagai orang tua pettu peru (tak berbelas kasih).

Bagi yang ingin mengunduh atau sekadar mendengar lagu ini, bisa mengunjungi tautan ini:  Ininnawa Sabbara’é. Oh ya, lagu ini menarik diiringi dengan petikan gambus, atau dengan gitar yang dipetik ala musik stambul.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama