[25.03.2016]
Pada sebuah kesempatan, aku berdiskusi dengan seorang kawan tentang paseng –petuah leluhur, yang patut untuk direnungkan, dipahami dan diamalkan.
Salah satu yang mengemuka adalah soal
pasangan hidup yang ideal seperti apa yang layak dicari oleh manusia Bugis.
Iyya teppaja kusappa’ (Ia yang tak lelah kucari) / Rapanna ri
alaé (Ibaratnya yang diambil) / Pallangga
mariang (Pengganjal meriam)
Paseng di atas mengungkapkan bahwa, pasangan hidup
yang layak diperjuangkan diungkapkan melalui kalimat dengan makna yang
berlapis. Mereka adalah ibarat pengganjal meriam: pedati. Dalam bahasa Bugis, pedati
diterjemahkan menjadi ‘padati’. Kata ‘padati’, selain bermakna pedati
pengangkut meriam, pada saat yang sama juga berarti sehati (pada ati).
Maka paseng itu berarti bahwa hanya yang
sehati-lah yang pantas untuk diperjuangkan menjadi pasangan hidup. Nah, apa
yang dimaksud dengan sehati? Mereka yang bisa diajak siatting lima (bergandeng tangan), sitonra ola (seiring sejalan), dan tessibelléang (tak saling mengkhianati).
Dalam kata
sehati, termaktub makna sinergi bahwa kedua belah pihak harus proaktif untuk
mewujudkan kondisi ini. Tak ada suasana sehati tanpa adanya partisipasi keduanya.
Sehati tak lahir dari kondisi bertepuk sebelah tangan.
Tempeddingngi sia lao
siwali cinnaé (Tak layak ada cinta tak
berbalas), lao tungke’ uddanié (rindu
yang tak impas), ri to sipurenrengngé (pada
mereka yang saling berkasih)
Di sinilah
pentingnya seorang lelaki Bugis bolai
(menguasai) berbagai ilmu yang diwariskan para leluhur. Salah satunya adalah
ilmu pakkutana (bertanya). Kemampuan
untuk bertanya dan mendapatkan jawaban soal rasa, apakah berbalas atau tidak.
Kenapa ini penting? Sebab pantang bagi lelaki Bugis menerima penolakan.
Yang perlu
juga diperhatikan adalah, jangan tertipu oleh pandangan luar, cobalah menyelami
lebih dalam, sebab pandangan luar bisa menipu, apalagi di zaman penuh citra
seperti sekarang. Jangan terburu nafsu untuk memutuskan sesuatu, belajarlah
untuk bersabar.
Leluhur
mengingatkan, unga tabbakka’ ri subué,
narékko mompo’ni essoé, pajani waunna, bunga yang mekar di kalah subuh, di kala
mentari benderang, harumnya pun menguap. Maka kecantikan atau kegagahan
seseorang tidak melulu diukur dari paras wajah dan raut muka, tapi lebih pada
kualitas hati dan kejernihan batinnya.
Kecantikan
dan kegagahan yang abadi adalah mereka yang berpegang pada paseng bahwa yang patut menjadi pegangan hidup adalah lempu (kejujuran)
dan paccing (kebersihan lahirbatin).
Duwai kuala sappo (dua yang menjadi pagarku) / Unganna panasaé
(bunga pohon nangka) / Bélo kanukué (hiasan kuku)
Yang menjadi pagar dan
pegangan hidup bagi seorang manusia Bugis menurut paseng ini adalah unga panasa
(bunga pohon nangka) yang dalam bahasa Bugis dinamai lempu. Lempu, adalah kata
yang bermakna ganda, selain bunga nangka, kata ini juga bermakna kejujuran.
Sementara itu, bélo kanuku (hiasan kuku) adalah daun
pacar yang dalam bahasa bugis dikenal dengan nama pacci. Pacci, apabila ditulis
dalam aksara lontara, bisa dibaca menjadi dua kata yang bermakna berbeda. Selain
sebagai nama penghias kuku, juga bisa dibaca paccing yang bermakna bersih, baik
secara lahir maupun dalam hal batin.
Terakhir, sebagai
penutup diskusi, aku merambah sampai kepada pernyataan Allah dalam al-Quran, “Wanita-wanita
yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat
wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk
laki-laki yang baik dan laki- laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang
baik (pula).... [an-Nur : 26].
Al-Quran mengingatkan
bahwa kunci utama untuk menemukan yang sehati adalah dengan berusaha tanpa
lelah untuk senantiasa memperbaiki diri, sebab jodoh tak akan tertukar: wanita
yang baik untuk lelaki yang baik, demikian sebaliknya. Leluhur kita pun
mengingatkan:
Ė makkunrai (hai perempuan), sappoi alému nasaba’
siri’mu (pagari dirimu dengan rasa malu).
Ė warowané (hai lelaki), sappoi alému
nasaba’ asabbarakeng (pagari dirimu
dengan kesabaran)
Para leluhur
menekankan agar perempuan memagari dirinya dengan rasa malu, sebab rasa malu
akan menghindarkan perempuan dari tindakan tercela dengan berhati-hati atas tingkahlaku
dan menjaga kehormatannya. Sementara lelaki diminta memagari diri dengan
kesabaran, sebab kesabaranlah menjadi kekang dari tindakan aib.
Di akhir diskusi, kami
bersepakat bahwa paseng –pesan leluhur,
demikian luar biasa muatannya. Cuma sayang, hal ini sudah jarang ditebarkan di
tengah generasi muda, sehingga mereka menjadi alpa akan warisan kultralnya. Makanya,
kawan diskusi kami merencanakan untuk menggelar diskusi yang lebih serius. Semoga
segera terwujud.