[23.03.2014] Seorang
pakar dan dosen Hukum Islam di UCLA (University of California Los Angeles) Khaled
Abou el-Fadl, pernah melontarkan pernyataan, “Pemikiran umat Islam selama
beberapa abad terakhir ini berkutat pada persoalan pro-Barat atau anti-Barat
daripada memfokuskan diri pada pertanyaan yang jauh lebih penting: apakah
pemikiran umat Islam pada saat ini pro-manusia atau anti-manusia? Apakah
pernyataan doktrinal Islam saat ini manusiawi atau tidak?”
Pernyataan
yang bernada menggugat dari Abou el-Fadl ini relevan untuk dikemukakan apabila
melihat kondisi rajutan keislaman dan keindonesiaan kita kontemporer yang
terkoyak akibat aksi teror dari sekelompok orang atasnama Islam yang menyakini
bahwa apa yang mereka lakukan adalah sebentuk manifestasi jihad. Aksi kekerasan
yang mereka lakukan telah menimbulkan rasa was-was dan menitipkan kegelisahan
di tengah umat dan bangsa.
Menurut
Abou el-Fadl dalam Selamatkan Islam dari
Muslim Puritan (2007), sebagai respon atas modernitas, akar ekstrimisme
perlu dilacak pada akar sosiologisnya, dan bukan hanya pada fundamen
keberagamaannya. Ini bisa diartikan bahwa ekstrimisme bukanlah semata
agresivitas buta dalam beragama, melainkan respon reaktif atas modernitas. Aksi
kekerasan ini merupakan ekspresi paling telanjang dari krisis identitas pada
sebagian umat dalam menghadapi titik bifurkasi akibat benturan antara keislaman
versus kemodernan.
Argumen
yang dikemukakan oleh Abou el-Fadl, sejalan dengan pendapat John L. Esposito
dalam Ancaman Islam : Mitos Atau
Realitas? (1995). Menurutnya, sejarah hubungan antara kaum Muslim dan
Kristen, antara dunia Islam dan Barat, di masa lalu dan di masa sekarang,
ditandai episode-episode konfrontasi dan konflik. Hal inilah yang membuat
hubungan antara kaum Muslim dan Barat pada dekade mendatang, tetap mudah pecah
dan terbakar.
Memang,
selain respon reaktif yang ekstrim, ada kelompok umat yang merespon secara
lebih positif terhadap modernitas, mereka menawarkan Islam yang lebih moderat.
Namun keberadaan Islam moderat, terkadang kalah dalam hal progresivitas untuk
menyebarkan ide dan pemikirannya, sehingga wajah Islam yang intoleran lebih
dominan dan menonjol. Tradisi moral Islam telah dicuri dan dihancurkan oleh
minoritas-bersuara-lantang.
Hal
ini melahirkan stereotip yang menurut Esposito rentan untuk mencuat kembali ke
permukaan bila terjadi konflik. Streotip ini hanya bisa dibersihkan dengan terus
mendorong respon moderat atas modernitas. Islam moderat ini sebagai sebentuk
upaya melindungi Islam dari misintrepertasi dan disinformasi yang dilakukan
oleh kaum puritan yang ekstrimis.
Mengapa
ini penting? Sebab seperti saran Esposito, “Dalam sebuah dunia yang kian saling
bergantung satu sama lain, penting sekali menghadapi realitas-realitas politik
dengan konstruktif dan tak memihak, dan juga mengenyampingkan stereotip.” Maka
jika kaum Puritan berbicara lantang disertai dengan kekerasan, maka kaum
moderat harus berbicara dengan lebih lantang diiringi dengan tindakan damai.
Upaya
menyelamatkan Islam dari sabotase kaum puritan, bisa dilakukan dengan hadirnya
para ulama yang memiliki moralitas dan integritas pribadi yang baik, serta
sikap yang independen. Pun membutuhkan pemimpin umat yang memiliki kejujuran,
kesungguhan, kemenyeluruhan, rasionalitas dan pengendalian diri untuk bisa
menjalankan fungsi sebagai mediator, jembatan, atau penengah antara berbagai
kepentingan di dalam komunitas umat Islam.
Pun
dibutuhkan hadirnya komunitas umat Islam yang bisa menjadi ruang diseminasi
paham keagamaan yang bernuansa moderatis, menjunjung tinggi kemanusiaan, dan
mempererat soliditas keumatan dan kebangsaan. Ulama dan pemimpin umat, serta
komunitas umat Islam yang moderat dibutuhkan untuk menghadapi ‘Tentara Tuhan’,
sebab Islam –dalam hal ini fiqh,
menurut Abou el-Fadl, akan menjadi otoriter ketika dipegang oleh orang-orang
yang mengaku sebagai “Tentara Tuhan”.
Selain
itu, diseminasi Islam berkarakter moderat ini harus dijalankan pada dua sisi,
sisi internal dan eksternal umat Islam. Pada sisi internal, kita perlu
mendorong tanpa lelah agar kasih sayang dan karakter keagamaan moderat (wasath) sebagai nilai dasar Islam terus
disemai dan dibiakkan dalam hati umat. Ini perlu untuk menghadapi menjamurnya
otoritarianisme dalam diskursus keagamaan kontemporer.
Sementara pada sisi eksternal, kita sebagai umat Islam harus bisa memposisikan diri untuk menjadi sarana perwujudan rahmat dan kasih sayang Tuhan bagi sesama manusia, terutama bagi sesama anak bangsa. Ini sebagai bandingan atas geliat gerakan Islam puritan tak segan mengosongkan Islam dari ajaran-ajaran moralnya, padahal spirit utama Islam adalah pembelaan dan pembebasan terhadap mereka yang mustadh'afin, bukan memberangus mereka yang berbeda paham dan keyakinan.
Tulisan ini dimuat di Harian Amanah, edisi Rabu (23/03/2016)
Tags:
Keagamaan