Satu Ayah, Dua Anak, Beda Nasib

     [22.03.2016] “Bani, berani-beraninya kau mengkhianati pesan Tetta!” Teriak Daeng Tompo sambil menunjuk ke arah adiknya, Daeng Bani.
     “Pantas kau tidak pernah mengunjungiku selama ini, rupanya kau sudah melupakan ajaran keluarga kita!” Lanjutnya.
     Daeng Bani hanya terdiam, membiarkan amarah kakaknya menggelegak. Dia menunggu hingga saudara tuanya itu terdiam.
*     *     *

     Daeng Matutu, pengusaha sukses pada era 60an,  pemilik sindikat bisnis McTutu Group. Sore itu, dia memanggil kedua anaknya untuk membicarakan masa depan perusahaan mereka. Daeng Matutu duduk di kursi goyang dan kedua anaknya bersimpuh di hadapannya.
     “Anakku Tompo dan Bani, kalian sudah dewasa dan berkeluarga, saya sudah kian menua. Kalian sudah siap, kan?” Sambil menatap tajam ke arah kedua anaknya.
     “Apa maksud Tetta?” Daeng Bani dengan muka tegang.
     “Kita tidak pernah tahu, kapan Allah akan memanggil.”
     “Jangan bicara begitu, Tetta.” Daeng Bani mendekat dan memeluk kaki bapaknya, sementara itu, Daeng Tompo hanya tertunduk lesu.

     “Keputusanku sudah bulat, Nak. Saatnya kalian yang berbuat.” Daeng Matutu menepuk pundak Daeng Bani, lalu melanjutkan.
     “Saya memutuskan menyerahkan McTutu Enterprize, McTutu Meaning dan rumah ini kepada Tompo, sementara kau Bani, aku beri McTutu Construction dan rumah yang di Takalar.”
     “Iyye' Tetta.” Jawab kedua anaknya hampir bersamaan, mereka lalu bersalaman dan berpelukan.

     “Saya berharap kalian berdua tak lagi ribut soal harta warisan. Rukunlah sebagai saudara.” Suasana menjadi hening.
     “Tiga pesanku padamu berdua, Hindari sinar matahari setiap berangkat ke kantor, belilah seribu ekor ikan tiap hari, dan terakhir, jangan berani menagih sesamamu manusia. Ketiga hal itulah yang membuat saya bisa seperti sekarang.”
     “Iyye' Tetta.” Lagi-lagi cuma kata itu yang terucap dari bibir mereka.

     Dua minggu setelah membagi harta kepada kedua anaknya, Daeng Matutu menghembuskan nafas terakhirnya. Sebagai anak, Daeng Bani dan Daeng Tompo menggelar takziyah selama 7 malam. Pada hari ketujuh, mereka patungan memotong seekor sapi untuk dimakan bersama warga yang berkumpul mendoakan dan bergotong-royong memperbaiki kuburan bapaknya.
*     *     *

     “Kau tahu? Agar saya tidak kena sinar matahari setiap hari ketika berangkat dan pulang kerja, saya telah membangun atap di sepanjang trotoar dari rumahku ke kantor. Meskipun biayanya mahal, itu semua saya lakukan demi kecintaan saya pada Tetta. Lalu kau apa? Saya tak melihat se-centi-pun atap yang kau siapkan!” Daeng Tompo masih melanjutkan omelannya.
     “Tiap hari aku juga memberi makan ratusan orang di kompleks perumahanku. Itu karena Tetta menyuruh kita membeli seribu ekor ikan setiap hari.” Daeng Bani tersenyum geli mendengar cerita kakaknya.
     “Wah, berarti kakakku ini menjadi orang yang luar biasa dong, bisa berbagi dengan tetangga. Hehehehehe.....” Timpal Daeng Bani.
     “Ah, kau memang sdah lupa daratan, Bani! Kau menganggap pesan almarhum Tetta kau jadikan sebagai bahan tertawaan, kualat kau nanti!” Daeng Tompo kembali mengomel.
     “Tidak begitu Daeng, tapi...”
     “Tidak ada tapi-tapi, kau juga pasti menagih piutang kan? Atau jangan-jangan kau jadi rentenir, malah. Aku lihat kehidupanmu kian sejahtera. Istighfar, Bani!” Sergah Daeng Tompo.
     “Kau lihat, semua tetangga di sini juga aku beri pinjaman dan tak ada yang aku tagih. Meskipun akhirnya kehidupanku jadi melarat, demi menjalankan amanah Tetta, aku ikhlas. Tapi kau membuatku kecewa, kau melangggar petuah terakhirnya!”
     “Hahahahahahaha.....” Daeng Bani tak bisa menahan ketawanya.
     “Daeng, kilangngere’ baji’ki, dengarkan baik-baik penjelasanku.” Daeng Bani mencoba menepuk pundak Daeng Tompo untuk menenangkan kakaknya.
     “Ah, apa lagi yang mau kau bilang, bukti sudah menunjukkan kecurigaanku.”
     “Tidak begitu, Daeng.”
     “Tidak begitu bagaimana!?”
     “Saya juga melaksanakan apa yang dinasehatkan Tetta, tapi cara kita berbeda, Daeng. Jadi saya bisa kian sejahtera, sementara Daeng malah jadi melarat.” Daeng Bani menuntun kakaknya untuk duduk.
     “Untuk menghindari sinar matahari ketika berangkat dan pulang kerja, saya berangkat setelah salat subuh, dan baru pulang setelah salat magrib, Daeng. Menurutku, Tetta tidak meminta kita membuat atap sepanjang jalan, beliau menginginkan kita bekerja keras.” Penjelasan Daeng Bani, membuat Daeng Tompo terdiam.
     “Terus, soal ikan yang seribu ekor, saya juga beli seribu ekor tiap pagi, tapi ikan mairo yang saya beli. Menurutku, melalui permintaan itu, Tetta menghendaki kita menghemat.” Daeng Bani melanjutkan.
     ‘Terakhir Daeng, larang Tetta untuk menagih sesama manusia. Karena kita dilarang menagih, maka yang saya pahami, Tetta melarang kita memberi piutang. Tabe’ Daeng, kita berbeda dalam memahami pesan itu.”
     Mendengar penjelasan adiknya, Daeng Tompo hanya bisa tertunduk pekur[1], perlahan kepalanya menggeleng pelan, airmata merembes di pipinya yang cekung.

Cerita ini disadur secara bebas dari 'Cerita Rakyat Dalam Sastra Makassar', dikumpulkan oleh Sahabuddin Nappu, terbitan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia bersama Balai Pustaka, 1984.




[1]     pekur= ta·fa·kur n 1 renungan; perenungan; 2 perihal merenung, memikirkan, atau menimbang-nimbang dng sungguh-sungguh; 3 pengheningan cipta;

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama