Salat Ashar Yang Tak Damai


Sore tadi, aku menyempatkan diri salat berjamaah di musala kantor, jamaah lumayan ramai sore itu. Sejak musala kantor kami di renovasi: diperluas dan dipasangi pendingin udara, jumlah jamaah kian bertambah. Suatu hal yang patut disyukuri, ada peningkatan kesadaran menjalankan kewajiban keagamaan.

Namun, bukan soal itu yang ingin aku ceritakan di sini, tapi soal kejadian sore tadi. Tepatnya kejadian lucu, menurutku. Kisahnya begini, tepat ketika ikamah sudah didirikan, saf sudah teratur rapi, dan imam sudah berdiri di posisi sempurna. Sebuah kejadian yang menggelikanku, berlangsung.

Memang, imam lumayan lama mengangkat tangan untuk takbiratulihram, ada sekira setengah menit kami menanti. Tiba-tiba, lamat-lamat aku mendengar seorang jamaah di belakang saya, mengangkat tangan dan takbiratulihram. Sekilas kulirik, matanya terpejam dan tangannya bersedekap, sepertinya lumayan khusyuk dan tak menyadari kalau imam belum lagi memulai salat.

Dengan perut bergolak menahan tawa, kucoba fokus menatap ke tempat sujud, mulut kukunci agar gelak tak meledak. Namun rupanya, pertahanan yang kubangun akhirnya lekang. Begitu imam takbiratulihram, jamaah yang sudah takbir duluan tadi, kaget dan mengeluarkan seru tertahan, “Heh!?”

Mendengar itu, mulutku terbuka, perlahan cekikikan bergulir keluar. Ditambah dengan jamaah yang di sebelah kiri saya, ikut menoleh ke belakang ke sumber suara dengan mulut yang tersenyum lebar. Alhasil, tawaku melesat dari sela gigi yang setengah mati kukatup.

Tapi untung, sebagian besar jamaah mampu menjaga konsentrasi. Sementara aku, baru bisa menghalau tawa ketika salat sudah berlangsung sekira satu menit. Sebelumnya, aku berusaha sekuat tenaga meredakan badai di perutku yang seperti dikocok dengan blender.

Namun rupanya, kejadian di awal salat bukanlah satu-satunya hal yang membuat salat asarku tidak damai. Perihal berikutnya bermula ketika salat memasuki fase sujud. Sebenarnya ini bukan pertama kalinya aku alami, soal ini sudah berulang sejak beberapa hari sebelumnya. Inilah yang menjadi alasanku kadang ikut jamaah di tempat lain.

Perkara itu adalah: parfum. Ya, parfum. Begitu mukaku menyentuh sajadah, aroma menyengat dari sat pewangi, menyerang indra penciumanku. Bau parfum jenis ini sungguh musuh bagiku sejak dulu, aku tak tahan mencium parfum ‘Mekkah’ –sejenis parfum non-alkohol yang sering dipakai jamaah haji.

Aku sih bisa memaklumi alasan bagi sesiapa yang mengoleskan minyak wanginya ke sajadah, sebab memakai wewangian,terutama di dalam salat adalah salah satu sunah yang utama. Bahkan ada bagian dari umat Islam yang memiliki kebiasaan mengoleskan minyak wangi bahkan ke helai-helai janggutnya sekalipun.

Parfum dan berbagai macam wewangian adalah musuh utama bagi kesehatanku, selain pendingin ruangan. Soal pendingin ruangan, bisa aku toleransi sampai pada derajat tertentu, tapi kalau parfum, aku benar-benar minta ampun. Tubuhku tak bisa menoleransi baik yang beralkohol maupun yang tidak.

Maka sore tadi, aku menjalani salat ashar dalam situasi tersiksa. Setiap sujud, yang seharusnya menjadi fase yang paling sublim dalam proses salat, dan merupakan waktu yang tepat berdoa, aku malah harus menahan nafas sambil membayangkan diri berada dalam kamp konsentrasi Nazi yang dialiri gas beracun.

Ini mungkin bisa menjadi bahan refleksi bagi kita semua bahwa tidak semua yang kita anggap baik, karena itu adalah sunah, juga baik bagi semua orang. Sebab terkadang, beberapa orang tertentu mengalami perkara dengan berbagai jenis sunah dan hal baik tadi, seperti diriku dan parfum. Semangat menjalankan sunah memang patut diacungi jempol, tapi sepatutnya harus dipertimbangkan agar tidak merugikan sesama.

Aku menulis ini bukan sebagai sebentuk kritik pada mereka yang bersemangat menjalankan sunah, tapi lebih sebagai refleksi bagi diriku sendiri agar mencari siyasah mengatasi hal itu dan menyesuaikan diri dengan keadaan. Termasuk berlatih pernafasan agar bisa berada di saf pertama yang terkadang berisi jamaah yang dari ujung kaki sampai ujung rambut melumuri diri dengan wewangian.

Oh ya, ini juga sebentuk apologia atas pertanyaan beberapa teman kantor, "Kenapa jarang saya lihat salat berjamaah di musala kantor?" atau, "Kenapa tak pernah lagi terdengar azan di belakang?". Sederhananya, aku tak tahan dengan bau parfum, yang berpadu dengan aroma karpet yang apek. Lengkap baunya, kan?

sumber ilustrasi: dakwatuna.com

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama