Kusangka Batute', Ternyata Sotta'

[12.02.2017] Sambil membetulkan letak pecinya yang mengkilap, La Supu' mendehem berat lalu menatap semua yang hadir.
“Bisami dimulai rapatnya, Pudding?"
"Tabe, belumpi datang Pak Kepala Seksi Pemerintahan..., Pak Lurah." Jawab lelaki muda dengan kumis tipis yang duduk di sisi kanan La Supu.
"Sudahmi ko hubungi?"
"Iyye, sudahmi kutelpong, barusan, menuju ke sinimi bede nabilang.” Terang lelaki itu, Syarifuddin, S.S. nama lengkapnya, seorang sarjana sastra yang nyasar jadi Sekretaris Lurah.
"Tunggumi pale dulu, sambil minum-minum kopi." Saran La Supu.

Tak lama, La Rahing datang tergopoh-gopoh dan langsung duduk di kursinya.  Badannya yang tambun nampak berkeringat. Tapi penampilannya berbeda dari hari-hari biasa, kali ini lebih modis dan trendi.
"Maaf Pak Lurah, dari salonka dulu bela, kebetulan ada janjianku jam sepuluh." Terang La Rahing sambil mengatur nafas.
"Kalau begitu, harus pale dimulai segera ini rapat, biar agendanya La Rahing juga bisa jalan." Ujar La Supu sambil menatap ke La Pudding.

Tapi belum sempat La Pudding bersuara,  tiba-tiba Bendahara Kelurahan berkicau,
“Harumna tawwa parfumna Pak RW Tiga, nakala-kala harumna anak mudayya..." Sambil tersenyum genit.
"Ah biasaji kodong ini Bu Fate, parfum murahanji." La Rahing tersenyum malu-malu.
"Aih, curigaka saya, orang spesial ini mau natemui La Rahing.” Kepala Seksi Kepegawaian, La Mire, mengeluarkan jurus usilnya.
“Edede, larimi seng ceritayya, cepat mako Pudding, sudahpi rapat baruki carita bebas." Tegas La Supu.
“Baiklah, kita mulai saja Bapak dan Ibu pejabat yang terhormat, dengan membaca basmalah.” La Pudding membuka rapat dengan muka serius.

Saat pembahasan soal retribusi pasar berlangsung alot,  tiba-tiba La Rahing menginterupsi.
“Ada apa, Pak?" Tanya La Supu yang sementara menjelaskan tentang urgensi retribusi bagi pembangunan.
"Tabe’ Pak Lurah, mauka minta izin. Menunggumi kodong itu orang yang saya ajak janjian.” Pinta La Rahing denga senyum simpul.
"Tapi setuju jaki dengan apapun keputusan rapat nanti toh?" Tanya La Supu.
"Iyye, saya setuju. Pergima pale dulu.” Setengah berlari, La Rahing menuju ke motornya, lalu dia pacu menuju lokasi janjiannya, warung kopi Panyingkulu di sudut pantai Losari.
*     *     *
Dengan dada bergetar dan hidung yang mengembang, La Rahing memarkir motornya tepat di depan pintu masuk warung kopi.  Tak ada yang berani menegurnya,  maklum berpakaian Dinas. Dari saku belakang celana sebelah kiri, La Rahing mengeluarkan sisir kecil, dia merapikan rambutnya yang mulai menipis, setelah itu dia tutup kepalanya dengan peci hitam mengkilap yang dia keluarkan dari bawah sadel motor matik keluaran terbaru.

Kakinya yang berbalut sepatu kulit berujung lancip melangkah pasti memasuki warung kopi paling ramai di pantai itu. Dia mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru warung,  menatap satu persatu pengunjung yang ada.
“Nampaknya dia belum tiba." Gumamnya sambil mendaratkan tubuh tambunnya pada kursi warung.
"Mauki pesan apa, Pak?" Tanya gadis pelayan warung dengan mata mengerjap-ngerjap.
"Edede... Bertanyako lagi,  kayak tong tidak kau tahu selera kopiku. Kopi manis panas tanpa gula."
“Haa.... Kopi yang bagaimana itu Pak?
"Tanyako bosmu,  natauji itu." Maka si gadis pelayan pun berlalu.

La Rahing membuka telepon pintarnya, melongok ke aplikasi WhatsApp, pesan terbaru dari seseorang bernama Stella dia baca ulang, Kita kopi darat di Panyingkulu besok pagi jam 10 ya, Om. Sekali lagi La Rahing mengedarkan pandang ke seluruh penjuru warung, menerka dan mengira siapa gerangan pengunjung perempuan yang pantas menyandang nama Stella. Ada lebih sepuluh orang di warung yang interiornya seperti kafe ini.

Setidaknya ada tiga pengunjung yang pantas dalam pikiran La Rahing. Seorang ibu setengah baya dengan rambut dipotong pendek serupa lelaki, sudah disepuh pula dengan warna keperakan. Mengenakan blazer warna pekat, dengan dada sekira 34 b. Dia memilih duduk di pojok meja barista,  memungkinkan dia bisa memandang seluruh isi warung. Di sela jemarinya yang lentik, terselip sebatang rokok putih mungil sisa setengah. Sebelah tangannya tak henti berselancar di atas monitor telepon pintarnya.

Yang kedua adalah seorang gadis semampai, bercelana jeans ketat warna bitu tua. Dadanya serupa sepasang melon mungil yang dibungkus bra merah menyala, kelihatan menantang di balik oblong tipis warna putih, bagian perutnya dia simpul, sehingga memperlihatkan lubang pusarnya yang bertindik. Gadis itu duduk di meja dekat pintu masuk warung, minumnya, blue sea ice tea masih tersisa setengah gelas. Sesekali dia memerhatikan pengunjung yang masuk.

Orang ketiga adalah perempuan akhir 50an, dengan rambut panjang tergerai. Bulu matanya lentik dengan bibir yang menyala, senyum tak pernah beranjak dari mukanya, dia tersenyum pada semua pengunjung warung yang kebetulan bersitatap dengannya. Badannya padat berisi, agak gemuk namun sepertinya rajin ke fitness. Mengenakan blazer warna merah menyala, membuat hadirnya kian dominan. Dia duduk di belakang La Rahing,  agak ke kiri.

La Rahing belum memutuskan dia akan menyapa siapa, jam sudah meninggalkan pukul sepuluh, waktu yang mereka sepakati untuk berjumpa kali pertama. Dia coba menelepon nomor WhatsApp Stella, aktif, namun tak dianggap.
“Saya sapa saja mereka satu persatu." Gumam La Rahing sambil berdiri lalu menatap ketiganya secara bergantian sambil menimbang-nimbang dia akan menyapa siapa dan kalimat apa yang akan dia gunakan pertama kali.

Dia melangkah ke perempuan pengguna blazer merah, duduk di depannya dengan senyum mengembang,  lalu menyapa ramah.
"Sendiriki?"
"Iyye, sendirika."
"Menungguki'?"
"Iyye..."
“Menunggu siapa? Bukan Stella namata?”
“Saya menunggu kabar baik atas meninggalnya istri kedua suami saya yang lagi dioperasi di rumah sakit Stella Maris.”
Tanpa banyak kata,  La Rahing menjauh dengan bulu roma meremang.

La Rahing lalu berpindah ke meja gadis yang bra merahnya terus membayang dan menggoda.
"Sendiriki?"
"Iyye, sendirika."
"Menungguki'?"
"Iyye..."
“Menunggu siapa? Bukan Stella namata?”
“Saya menunggu kabar baik dari ibuku yang lagi dioperasi dengan ditunggui bapakku di rumah sakit Stella Maris."
La Rahing tertunduk lesu,  dalam diam dia beranjak.

Dia berjalan menuju perempuan terakhir, pengguna blazer warna pekat dengan dada ukuran 34 b.
"Sendiriki?"
"Iyye, sendirika."
"Menungguki'?"
"Iyye..."
“Menunggu siapa? Bukan Stella namata?”
“Saya menunggu suami saya yang dokter, dia lagi mengoperasi seorang lelaki tua yang ditunggui istri keduanya di rumah sakit Stella Maris."
La Rahing bingung, apa hubungan saya dengan semua ini? Apa mungkin rumah sakit yang telah menghubungiku? Dia memilih kembali duduk di kursinya, lalu menandaskan isi gelasnya,  kopi manis panas tanpa gula.

Dengan masygul, dia keluarkan rokok dari saku, lalu dinyalakannya. Peci hitam mengkilap dilepas dan diletakkannya di samping gelas kopi yang telah sisa ampas. Dia mengelap kepalanya yang basah oleh keringat dengan setangan merah jambu. Kembali dia melotot ke arah telepon pintarnya, pesan di WhatsApp dia lafalkan berulang-ulang. Apa maksud pesan ini? Apa Stella mempermainkanku? Memang dia belum pernah bertemu dengannya,  nomor Stella dia dapat dari seorang Sales Promotion Girl (SPG) yang pernah dekat dengannya.

"Cari siapaki, Om?" Tiba-tiba selarik kalimat dengan nada merdu menyapanya. Perlahan dia angkat kepala, menatap sosok yang masih berdiri di depannya. Dilihatnya sepasang bibir mungil dengan lipstik tipis. Alis yang melengkung sempurna dengan bulu mata lentik menaungi bola mata yang jernih dan penuh percaya diri, La Rahing terpana beberapa jenak. Wah, kenapa pengunjung ini bisa lolos dari amatanku? Atau dia baru saja masuk? Ah, tak penting, tak ada Stella dia pun jadilah. Tanya itu menggema di batin La Rahing.

“Saya baku janji, mau ketemu dengan Stella di warung ini, tapi belumpa ketemu." Jawab La Rahing sambil menyilakan sosok itu duduk di hadapannya dengan isyarat tangan.
“Saya mi ini Stella, Om Rahing, sayang." Stella langsung meraih tangan La Rahing dan menciumnya, menyusul dia mencium pipinya tanpa malu.
“Deh, ternyata aslinya lebih cantik dari fotonya tawwa. La Rahing sumringah, tak henti menatap Stella dengan mata berbinar.
Iyye, Om. Semoga puaski dengan layananku nanti." Stella tersenyum manja, La Rahing dilanda renjana.

“Apa nupesang Sila? Edede jammoko dulu bermesraan kalau belum pako pesan.” Sela pelayan warung yang telah berdiri di samping mereka.
“Es krim rasa vanila syayam, kasiki hiasan syantip juga naaah...." Seru Stella manja sambil mencubit genit pelayan warung.
“Oke Sila... Eh,  Stella syantip... Hehehe..." Pelayan warung berlalu dengan tertawa geli.
"Tunggu dulu...!" La Rahing berdiri, melepaskan genggaman tangan Stella mengejar pelayan.
“Siapa kobilang tadi? Sila? Siapa itu Sila?" Cecar La Rahing, pelayan itu hanya berdiri melongo menatap ke Stella, tak ada suara.

“Belum paki tahuki, Pak?" Jawab pelayan kemudian.
“Tahu apa?" La Rahing terdengar marah.
“Jadi begini Om sayang, saya jelaskanki, jangki marah na, sayang. Namaku memang Stella, kalau malam. Kalau siang saya jadi tukang becak di depannya rumah sakit Stella Maris, Daeng Sila namaku. Tapi karena ki-booking-ka siang, Stella namaku sekarang, sayang." Stella menggelayut manja di bahu La Rahing.
“Apa kau bilang!? Jangko pegangka, ternyata kau bencong sialan!!!" La Rahing mendorong Stella menjauh.
“Kembalikan semua itu uang pulsa yang kukirimkanko, bencong penipu!" La Rahing menuding Stella. Suasana jadi ramai,  pengunjung warung pada tertawa, bahkan ada yang mengabadikan kejadian itu dengan kamera telepon pintar, meski sembunyi-sembunyi.

“Dasar Om gendut, jelek, dan peot. Tua bangka otak ngeres, justru kau yang harus bayarka. Sudahma kau booking, nupegang-pegang tanganku, masa tidak bayarko." Stella tak kalah beringas, balik menuding La Rahing. Merasa malu, La Rahing berlalu dengan bersungut-sungut.
"Tidak mauka bayarko, kau yang bayarka bencong." La Rahing menjangkau motornya, lalu beranjak pergi. Stella mengejar sampai di pintu.
“Ooeee lelaki jadi-jadiang, bertanggunjawab memangko kalau hamilka." Stella melempar La Rahing dengan selopnya, tak kena. La Rahing menggeber motornya kembali ke kantor kelurahan.
*     *     *
“Bagaimanaji urusanmu Rahing, suksesji?" La Supu’ langsung menegur La Rahing yang baru saja menghempaskan pantatnya di kursi ruang rapat.
"Alhamdulillah, berkat doata semua." La Rahing berusaha tersenyum manis.
“Iyyo tawwa, jadi kapan makan-makannya ini urusan?" Goda Bu Fate'. Sementara peserta rapat yang lain terdengar menahan tawa sambil menatap telepon pintar masing-masing. Mereka pada membaca berita hangat pada sebuah portal dengan judul, Perang Tanding Pegawai Kelurahan versus Waria Stella Maris.
“Insya Allah kalau cairmi honor." Jawab La Rahing sekenanya. Sambil berdiri meninggalkan ruang rapat, dia berguman, Kusangka Batute’, ternyata Sotta'.

Catatan: 
Batute' adalah singkatan dari Baru tumbuh tete. Istilah ini digunakan untuk menamai gadis ABG, yang payudaranya baru mulai mekar.
Sotta'a adalah singkatan dari sombong (= vagina) tarattu (kentut), yang bermakna pantat. Istilah ini mengacu ke waria atau bencong yang tidak punya lubang vagina, cuma punya lubang pantat.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama