[15.02.2017] Aroma coto menguar dari sebuah pondok
sederhana di pertigaan Palleko, Takalar. Untuk menikmati makanan khas Makassar
tersebut di Takalar, pondok itu merupakan pilihan tempat yang tepat. Di atas
pintu depan, terpasang plang kusam bertuliskan ‘Coto Palleko’. Kesederhanaan
tempat itu tak mengurangi animo masyarakat untuk berkunjung, tempat itu memang
menjanjikan citarasa khas Coto Makassar yang tak ditemukan di tempat lain.
Pada salah satu meja kayu panjang dengan enam kursi,
nampak duduk lima orang pemuda yang menyampaikan pesanannya masing-masing pada
seorang perempuan paruh baya.
“Saya pesan janda.” Seru yang memakai
baju kemeja merah dengan lengan pendek berwarna putih, di punggungnya terdapat
sulaman bertuliskan ‘Pemuda Muslimin Indonesia’.
“Saya campur.” Pesan si gondrong.
“Saya juga campur.”
“Campur tanpa limpa.”
“Jahat.”
“Kalau begitu saya ulang ya, 1 janda, 2
campur, 1 campur tanpa limpa, dan 1 jahat.” Seru perempuan paruh baya itu
sambil berlalu. Beberapa varian menu coto yang mereka pesan adalah janda
(jantung dan daging), campur (jantung, hati, limpa, daging, lidah dan usus),
campur tanpa limpa, dan jahat (jantung dan hati).
Sambil menunggu pesanannya, mereka terlibat dalam obrolan yang nampaknya
serius. Nampak sipemakai baju merah yang bernama Daeng Kulle mencoba meyakinkan
si gondrong yang duduk pas di hadapannya.
“Menurutmu bagaimana?” Daeng Rowa menanggapi.
“Kita bisa belajar bersama dari buku-buku, di perpustakaan
masjid kan ada.”
“Tapi koleksi buku di sana kan terbatas Kulle.”
“Nanti saya usahakan agar sepupuku yang kuliah di Makassar
membantu kita mencari tambahan koleksi.”
“Apa kau yakin dengan keputusanmu?”
“Insya Allah, bukankah nenek moyang kita dulu juga bisa
berlayar sampai ke mancanegara padahal mereka tidak mengenal sekolah? Mereka
gigih menuntut ilmu dari berbagai kesempatan hidup yang mereka jalani dan
pengalaman yang mereka alami.”
”Nah,
pesanan kita tiba, ayo dinikmati.” Seru Daeng Kulle.
“Wah, saya kagum dengan semangat adik! Maaf kalau saya
tiba-tiba menyela”, seorang pria yang sudah berumur sekitar limapuluhan tahun,
tampaknya juga sedang menikmani enaknya Coto Palleko.
Belum sempat Daeng Kulle dan teman-temannya menjawab,
bapak itu melanjutkan kata-katanya.
“Saya sangat suka dengan anak muda seperti kalian ini,
punya semangat hidup dan daya juang. Boleh saya berkenalan dengan kalian?”
“Bi...bisa pak”, Daeng Kulle tergeragap menjawab.
“Saya Syamsu, panggil saja Kak Syam, jangan Pak”, Lelaki
itu tersenyum sambil memandangi mereka satu persatu.
“Saya Kulle Kak, ini teman-teman saya Lallo, Taba, Sarro,
dan Rowa.” Daeng Kulle juga memperkenalkan teman-temannya satu persatu.
“Kalian mengingatkanku pada pemimpin besar revolusi kita,
Soekarno”, Syamsu menepuk pundak Daeng Kulle yang duduk pas di sampingnya
dengan lembut.
Mendengar kalimat dari lelaki yang mengaku bernama Syamsu
itu, mereka terperangah.
“Kalian tahu apa kata Soekarno tentang pemuda yang penuh
daya juang seperti kalian?” Syamsu menatap mereka satu persatu, mereka hanya
bisa menggeleng.
“Soekarno pernah berkata, berikan kepada saya sepuluh
orang pemuda, maka akan saya ubah dunia.” Syamsu mengucapkan kalimat itu dengan
intonasi yang tegas.
“Kamma injo nakana
Soekarno, Daeng? Soekarno bilang begitu, Kak?” Tanya Daeng Palallo, sangsi.
“Iya, Soekarno sangat menghargai pemuda yang punya visi
dan tidak manja. Dengan kepercayaan itulah Soekarno berani memproklamirkan
kemerdekaan Indonesia. Atas dukungan para pemuda!”
“Mmm...” guman mereka hampir bersamaan.
“Kualitas pemuda yang dipuji-puji Soekarno tersebut,
sebenarnya sama dengan apa yang disebut oleh orang tua kita dulu sebagai boto.”
“Apa nikana boto,
Daeng? Apa itu boto, Kak?” Daeng
Taba bertanya, yang lain mengiyakan.
“Boto itu adalah
model intelektual mandiri dan independen yang pernah dimiliki oleh masyarakat
Makassar. Mereka adalah orang-orang yang memiliki kepekaan pada kondisi
masyarakatnya, mempunyai integritas pribadi yang kukuh pada pendirian. Bahkan
pada masanya, boto diposisikan
sebagai penasehat utama karaeng
tumapparentayya karena nasehat-nasehatnya senantiasa mengedepankan
kepentingan bangsa, negara, dan masyarakat serta tetap berpijak pada
nilai-nilai kearifan dan kebijaksanaan.”
“Wah luar biasa boto
itu ternyata, ya?” Gumam Daeng Rowa.
“Sayang sekali, hari ini kehadiran mereka telah hilang di
telan zaman.”
“Apakah tidak ada lagi peninggalan mereka, Kak?” Tanya
Daeng Palallo.
“Ada sih, seperti situs peninggalan Botoa Ri Lassang. Tapi ini belum dikelola dengan baik, sehingga
perlahan namun pasti dilupakan oleh generasi muda.”
“Cerita Kak Syam membuat penasaran nih, kapan-kapan kami
pasti ke Lassang. Iya kan teman-teman?” Komentar Daeng Kulle.
“Insya Allah”, jawab temannya bersamaan.
“Setelah melihat kalian, saya merasa bahwa spirit para boto itu tidak pernah hilang, bahkan
terus menyala di dada para pemuda seperti kalian ini. Semangat kalian tak
ubahnya dengan semangat para boto
dalam menuntut ilmu dan memperjuangkan kebenaran pada masa lampau”, Syamsu
mengungkapkan optimismenya.
“Wah sudah siang nih, kami pamit pulang duluan Kak, kami
sudah terlalu lama di sini.” Pinta Daeng Kulle dengan sopan.
“Maaf ya, mungkin saya telah mengambil waktu kalian.
Ngomong-ngomong kalian tinggal di mana?” Tanya Syamsu.
“Kami dari Lantang, Kak.”
“Daerah yang terkenal dengan lammangnya itu ya? Wah itu salah satu tradisi yang sepatutnya
dilestarikan.”
“Kalau sempat, jalan-jalanlah ke kampung kami, Kak.”
“Insya Allah kalau ada kesempatan. Oh ya, cotonya nanti
saya yang bayar.” Ujar Syamsu.
“Tea maki’ Daeng.
Jangan Kak.... Takutnya merepotkan.”
“Tidak apa-apa, anggap saja sebagia hadiah perkenalan
kita.”
“Wah, terima kasih Kak, kalau begitu.” Daeng Rowa mewakili
teman-temannya.
“Ini kartu nama saya, jangan segan-segan menghubungi saya
ya”.
“Iya Kak, kami duluan.” Daeng Kulle berpamitan.
Setelah mengucap salam dan bergantian menyalami lelaki
paruh baya yang mengaku bernama Syamsu itu, mereka berlalu.