Lelaki Pemanggul Mesin Tik dan Perempuan Berjilbab Hijau Tosca

[27.02.2017] Perawakan tinggi dengan volume tubuh minim, kami sering menyebutnya tikus: tinggi-kurus. Kulit sawo matang, warna kulit khas mahasiswa baru yang berasal dari daerah pertanian di pesisir timur jazirah Sulawesi Selatan. Wajahnya tirus dengan kening yang tebal, lengkungannya seperti gambar arit pada lambang Partai Komunis Indonesia. Aku sering membayangkan bila alisnya sebagai arit, maka hidungnya adalah manifestasi palu.

Tak ada yang menarik dari Mehdi, nama lelaki itu. Sebagai sesama mahasiswa baru Fakultas Sastra Unhas, hanya sebagian kecil dari kami yang benar-benar mengenal dan menjadi temannya. Bahkan, Mehdi cenderung penyendiri dan kutu buku, ya dia hanya berteman dengan buku-buku. Tapi tunggu, ternyata ada juga yang menarik dari dia, giginya. Ya, giginya begitu indah, tersusun rapi, putih bersih, dengan bibir tebal tanpa noda nikotin.

Satu lagi, tapi ini bukan hal menarik sebenarnya, malah aneh. Mehdi selalu membawa tas ransel besar di punggungnya. Sampai kami berpikir kalau dia itu tidak mempunyai tempat tinggal tetap, sehingga seluruh barang miliknya dia jejalkan pada tas di punggungnya itu, dan dia tidur di manapun tempat yang memungkinkan ketika malam tiba dan kantuk membelai matanya. Mungkin dia suka tidur di masjid, sebab kelihatan kalau dia lumayan tawadu. Entahlah.

*     *     *

Suatu sore yang lembayung, kususur setapak pinggiran danau kampus dari arah fakultas. Di antara ilalang yang merambat menutup sebagian badan setapak, kakiku melangkah pelan memangkas jarak menuju gazebo di belakang gedung alumni yang dari jauh nampak seperti rumah berhantu. Sudah lama gedung itu tak terurus, hanya sesekali digunakan oleh kelompok mahasiswa minim anggaran untuk berkegiatan sejenis pelatihan dasar.

Gazebo kelihatan tak jauh beda dengan gedung alumni. Dikelilingi ilalang yang mungkin hanya dipangkas saat penerimaan mahasiswa baru, pilar dan atapnya yang dicat dengan dominasi warna coklat tanah, membuat tampilannya kian angker. Jarakku kian dekat, namun kakiku berhenti melangkah, telingaku mendengar suara di kejauhan, dari gazebo itu. Tik.....tik.....tik tik tik.....tik tik.....tik.... Itu suara mesin tik, batinku, menguatkan diri dan menghalau pikiran tentang hantu.

Langkah kuayun perlahan, tubuhku bergerak maju, masjid kampus yang menjadi tujuanku, berdiri megah di sisi selatan danau kampus. Aku berencana salah magrib di sana, sebelum pulang ke kos. Begitu dekat gazebo, suara mesin tik kian santer, nampak sebuah punggung yang sedikit melengkung dengan kedua lengan sibuk terayun. Rupanya dari sinilah suara itu berasal, dari lelaki yang sedang mengetik di bangku gazebo.

Dia tak peduli dengan hadirku yang sekira berjarak kurang dari tigapuluh langkah di belakangnya. Mentari kian rendah, suara mesin tiknya terus menggema. Aku terus melangkah memangkas jarak, kutilik di lantai gazebo, dekat sepasang sepatu, sebuah tas teronggok. Tunggu, kembali kutatap tas itu dengan saksama, bukankah tas itu milik Mehdi? Ya, itu punya dia. Berarti, yang mengetik itu?

Kakiku belum tiba di pelataran gazebo ketika dengan tergesa, Mehdi melepas kertas dari mesin tik di depannya. Kertas dan mesin tik lalu berdesakan ke dalam tas ransel warna hijau kusam. Mehdi beranjak cepat, tak sempat menoleh ke arahku walau sejenak.  Mungkin dia tak melihatku? Mehdi melangkah cepat, bahkan setengah berlari, saat azan magrib mulai bersahutan dari satu menara ke menara masjid yang lain.

*     *     *

Sejak memergokinya mengetik di gazebo belakang gedung alumni,  rasa penasaranku akan isi tasnya yang selalu menggembung tak lagi menggangguku, apalagi tugas kuliah membuat teman-temanku sesama mahasiswa baru tak lagi punya waktu untuk mencari tahu isi tas Mehdi.  Aku pun merasa tak punya kewajiban untuk membeberkan hasil temuanku.

Namun secara pribadi, rasa penasaranku pada sosok lelaki tikus itu bukan hilang, tapi berganti objek semata. Aku sudah mengetahui bahwa mesin tik-lah yang menjadi penghuni isi tas ranselnya,  tapi dia mengetik apa, itu yang menumbuhkan rasa penasaran baru. Ternyata, bukan cuma di gazebo itu dia mengetik, aku juga pernah melihatnya mengetik di bangku kayu di sela kendaraan yang parkir di sebelah gedung rektorat,  pun di bangku taman belakang fakultas ilmu sosial dan ilmu politik.

Pernah terbetik niat untuk mencoba mencuri lihat ke tumpukan kertas hasil ketikannya yang selalu hadir di samping mesin tik bututnya. Tapi aku tak punya alasan untuk mendekat, selain karena aku seorang gadis canggung rasanya mendahului untuk menyapa seorang pemuda, kami pun tak cukup akrab untuk saling menyapa, meski kuliah di kampus, fakultas, jurusan, bahkan kelas yang sama.
Mehdi terlihat lebih sering bergaul dengan mahasiswa angkatan yang lebih senior atau mahasiswa dari fakultas lain. Setiap mereka berkumpul, perbincangannya seputar buku.  Aku berkesimpulan demikian, karena saban hari bila mereka berkumpul, buku menjadi pemanis pertemuan di antara mereka, hampir semua membawa dan memamerkan buku yang mereka tenteng atau keluarkan dari tas. Apa enaknya membincang perkara buku, apa mereka tak bosan dengan kata-kata?

*     *     *

Kelas filologi yang diampu Prof. Abdi Mahesa sudah berakhir, dosen yang usianya mendekati 70an tahun itu beranjak meninggalkan ruang kelas, disusul rombongan teman-temanku. Saat aku membereskan bahan kuliah, seseorang menghampiriku dengan canggung, tas ransel yang sesak sudah tersampir di punggungnya.

"Mauka' traktirki' makan coto, mau jaki'?" Suara bariton meluncur deras dari mulut Mehdi yang berdiri tepat di samping kiri mejaku.

Aku kehilangan kata untuk menjawab pintanya, alasan apa gerangan yang kupunya untuk menolaknya? Tak ada.
Maka di sinilah kami, di Pondok Bambu antara fakultas Ekonomi dan fakultas Hukum. Duduk menghadap ke meja bambu berlapis tikar plastik. Di atas meja,  tepat di depan kami masing-masing terletak mangkuk mungil berisi coto yang masih mengepul. Sebelum aku menyentuh sendok aluminium yang pendek dan gendut itu, aku bertanya pada Mehdi, tanya yang serupa berondongan peluru,
"Traktiran dalam rangka apa ini? Kamu ulang tahun? Syukuran dapat nilai A? Atau jangan-jangan kamu kerasukan?" Tak ada jawab dari mulutnya, Mehdi terus saja mengunyah, sudah dua ketupat yang jadi tumbal.

"Kau mencoba menggodaku? Kau tertarik padaku? Kau ingin aku jadi pacarmu?" Masih tak ada jawab. Maka sekalian saja kutuntaskan penasaranku.
"Apa sih yang selalu kau ketik? Kau seorang penulis? Kau menulis apa, atau tentang siapa?" Tanyaku usai tepat ketika cotonya juga tandas. Sementara cotoku belum sempat kusentuh.

Dengan santai dia mengeluarkan sebuah koran dari tas ranselnya, edisi minggu kemarin. Dia buka halaman budaya lalu diletakkan di depanku. Kulihat sebuah cerpen dengan judul 'Perempuan Berjilbab Hijau Tosca yang Penasaran Padaku, Juga Pada Tulisanku’, terang tertera nama penulisnya: Mehdi Mehrazar. Saat kualihkan pandanganku, dia sudah di depan kasir dan tersenyum ke arahku, lalu berlalu. Tinggal aku sendiri mematut-matut jilbab hijau tosca yang saban hari kukenakan.

Dimuat di Harian Amanah edisi 25 Februari 2017

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama