[06.11.2017]
Mungkin tak banyak publik yang tahu, Syarikat Islam Indonesia –salah satu ormas Islam yang menjadi pelopor
nasionalisme Indonesia sejak sebelum kemerdekaan– menggelar Majelis Tahkim
ke-XXXVIII pada tanggal 7 s.d 9 Safar 1439 H (bertepatan dengan 27 s.d. 29
Oktober 2017 M) di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta. Bahkan pemberitaan media
pun ikut senyap terkait dengan organisasi yang pernah berhadapan dengan Orde Baru
ini.
Sebagai forum tertinggi organisasi, Majlis Tahkim
atau Kongres Nasional, selain meminta pertanggungjawaban Dewan Pusat dan Lajnah
Tanfidziyah yang lama, juga memilih serta menetapkan anggota Dewan Pusat dan
Lajnah Tanfidziyah yang baru.Majlis Tahkim juga menetapkan sikap politik (garis siyasah) dan program kerja yang
urgen (program van actie) untuk satu
masa jihad selama lima tahun ke depan.
Tulisan ini tidak berpretensi untuk mengulas lebih
jauh perihal dinamika Majlis Tahkim yang menetapkan kembali Muflich Chalif
Ibrahim sebagai Presiden Lanjah Tafidziyah, melainkan lebih pada upaya mengulas
garis siyasah dan masa depan politik organisasi yang pernah menjadi lokomotif
pergerakan kemerdekaan nasional Indonesia di bawah kepemimpinan H.O.S. Tjokroaminoto
yang legendaris.
Hal ini menarik untuk dibincang sebab organisasi
yang pertama kali didirikan oleh H. Samanhudi dengan nama Sarekat Dagang Islam
(SDI) pada 16 Oktober 1905 telah melintasi zaman dari era perjuangan
kemerdekaan hingga era reformasi dewasa ini. Pada tahun 1906 organisasi ini
secara de facto menggunakan nama
Sarekat Islam, meski baru mendapatkan pengakuan secara de jure dari pemerintahan kolonial pada tahun 1912.
Sepintas
Syarikat Islam Indonesia
Sebagai sebentuk siyasah menghadapi tekanan
pemerintah kolonial, di bawah kendali Tjokroaminoto, organsiasi ini mengubah
diri menjadi berbentuk federal dengan satu badan nasional bernama Central
Sarekat Islam (CSI) pada tahun 1916.
Memasuki tahun 1920, saat perjuangan kepartaian
dirasa perlu, CSI bermetamorfosis menjadi Partai Sarekat Islam, yang kemudian
menjadi Partai Sarekat Islam Hindia
Timur (PSIHT) pada 1923, dan Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) pada 1929.
Setelah menghentikan seluruh gerak usaha organisasi
semasa penjajahan Jepang pada tahun 1942, dan kembali aktif pada tahun 1946
hingga 1972 saat PSII harus berbenturan dengan kekuasaan orde baru yang mencoba
merepresi dan mengintervensi hasil Majlis Tahkim ke-XXXIII di Majalaya. Kondisi
ini memaksa aktivis PSII mengubah nama organisasi menjadi Syarikat Islam (PSII)
pada tahun 1973.
Pasca reformasi 1998, kaum Syarikat Islam (PSII)
kembali mencoba membangkitkan Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) yang
lagi-lagi harus bersalin nama menjadi Partai Syarikat Islam Indonesia 1905
(PSII-1905) pada tahun 1999 karena kebijakan politik masa itu. Barulah pada
tahun 2003 di Garut, melalui Majlis Tahkim ke-XXXV (Luar Biasa), organisasi ini
kembali menjadi ormas dengan nama Syarikat Islam Indonesia (SI Indonesia).
Hari ini, santer terdengar perihal keinginan kaum
SI Indonesia untuk membangkitkan kembali Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII).
Hasrat untuk memperjuangkan aspirasi dalam berbagai aktivitas berbangsa dan
bernegara melalui partai tetap menjadi kerinduan bagi kader organisasi. Meski
tak lagi berharap untuk ikut ambil bagian dalam perhelatan politik nasional
pada tahun 2019 mendatang, saran ini patut diperhatikan oleh pemangku kebijakan
organisasi, mengingat dalam sejarahnya, ormas ini memang pernah jadi partai.
Sepintas Politik
Identitas
Salah satu hal yang sering menjadi problem
tersendiri bagi partai politik yang berbasis agama dalam negara demokrasi
seperti Indonesia adalah jebakan politik identitas. Mengapa? Sebab hal ini bisa
menjadi pemicu keresahan publik dan sumber kerawanan bila dikapitalisasi untuk
kepentingan elektoral. Itulah sebab, Bawaslu akan memasukkan politik identitas
ini sebagi salah satu indikator dalam menetukan indeks kerawanan pemilu 2019
mendatang.
Reza A.A Wattimena dalam laman pribadinya
(http://rumahfilsafat.com) mengulas bahwa, “Dalam wacana kajian budaya, politik
identitas adalah bentuk politik yang menggunakan identitas-identitas kuno,
seperti suku, ras, dan agama, di dalam gerak pembuatan sekaligus penerapan
kebijakan-kebijakan publiknya.”, sementara “Dalam filsafat politik, politik
identitas menyatukan yang serupa, dan memisahkan yang berbeda.”
Memang, menurut Reza, politik identitas bisa
menjadi pilihan politik yang baik untuk menata hidup bersama dalam masyarakat
homogen, “Namun di dalam masyarakat demokratis, di mana perbedaan suku, ras,
dan agama adalah bagian dari keseharian setiap orang, politik identitas justru
memecah, dan menciptakan konflik-konflik sosial yang tidak perlu.” Demikian
ulas Reza.
Mengacu ke definisi yang dipaparkan oleh Reza, maka
PSII –jika benar-benar dibangkitkan
kembali– harus dikelola dengan cerdas untuk menghindarkan diri dari jebakan
politik identitas, sebab bila tidak, kehadirannya bukannya menjadi harapan,
malah menjadi racun bagi proses penyehatan demokrasi negeri ini. Bila ini
terjadi, maka PSII tentu mengkhianati cita-cita politik yang telah digariskan
oleh Tjokroaminoto sebagai bapak ideologi organisasi ini.
Melampau
Politik identitas
Soal politik identitas ini, jauh hari Tjokroaminoto
telah menghalaunya, tak boleh ada diskriminasi di internal PSII. “Semua anggota Sarekat Islam itu
bersaudara, terlepas dari umur, pangkat, dan statusnya.” Tegasnya. Bahkan dalam
salah satu pidatonya, dengan lantang Tjokroaminoto berseru bahwa negara merdeka
yang diperjuangkan oleh PSII adalah negara untuk semua anak negeri, tanpa
memperhatikan perbedaan suku, ras, dan agama.
“Bila tanah air kita
kelak menjadi suatu negara dengan pemerintahan sendiri, maka seluruh lapisan
masyarakat dan semuanya akan menuju ke arah dan bersama-sama memelihara
kepentingan kita bersama, dengan tidak pandang bulu, baik bahasa, bangsa,
maupun agama.” Suara Tjokroaminoto menggema di sanubari para kader Sarekat
Islam yang menyesaki Gedung Pertemuan Concordia (sekarang Gedung
Merdeka), Kota Bandung, 17 Juni 1916 saat menuntut zelfbestuur.
Tjokroaminoto menyadari betul pentingnya membangun kesadaran
kebangsaan yang tidak sektarian dan bergerak dengan cara-cara demokratis untuk
mewujudkan keadilan dan kemakmuran bersama. Islam bagi Tjokroaminoto bukanlah
sebentuk identitas politik yang pantas dikapitalisasi untuk kepentingan
pragmatis. Islam jauh
lebih mulia dari itu, dia harus jadi perekat dan
pemersatu bangsa. Inilah praktik melampaui politik identitas ala Tjokroaminoto.
Dengan bahasa Belanda
yang fasih, Tjokroaminoto menegaskan hal ini, “Wij hebben ons ras lief en met
de kracht van de leer van onzen godsdienst (Islam) doen wij ons best om allen
of het grootste gedeelte van onze bangsa een te maken. (Kita mencintai bangsa
kita, dan dengan ajaran agama kita (Islam), kita berusaha sepenuhnya untuk
mempersatukan seluruh atau sebagian terbesar bangsa kita).”
Maka menjadi tugas
generasi baru Syarikat Islam Indonesia untuk melanjutkan perjuangan
Tjokroaminoto yang telah digariskan dalam Program Azas dan Program Tandhim
Partai. Bukan berarti bahwa partai ini harus menanggalkan identitas
keislamannya, melainkan menggunakan penghayatan keislaman untuk mewujudkan
persatuan umat, kemerdekaan nasional, serta meneguhkan pemerintahan yang
demokratis demi terwujudnya keadilan dan kesejahteraan bersama. Mampukah?
Tulisan ini dimuat di:
Edunews pada 04 November 2017
Tags:
Sosial Politik