[15.08.2018] Aku masih di sini
malam ini, di Kota Sengkang, ibu kota Kabupaten Wajo, salah satu daerah otonom
di Provinsi Sulawesi Selatan yang terkenal sebagai penghasil kain sutera dengan
tenun tradional. Aku bersama rombongan kecil rekan kerja, hadir di sini atas
perintah pimpinan untuk melakukan tugas tertentu.
Kemarin malam, atas kebaikan hati seorang kawan, kami menikmati awal malam dengan mengisi perut di sebuah kedai kopi di jantung kota. Malam ini, kami memilih makan di sebuah gerai makanan cepat saji di Sallo Mall Sengkang.
Kami tiba setelah menyusur jalan-jalan alternatif dalam kota yang jalan
protokolnya banyak ditutup sementara untuk kegiatan karnaval.
Tapi, tulisan ini bukan kubuat untuk menceritakan soal gerai makanan cepat saji tempat kami megenyangkan
diri. Aku lebih tertarik untuk mengisahkan
perihal kunjungan semalam. Entah
mengapa, suasana kedai kopi di bilangan jalan A.P Pettarani itu lebih menarik
untuk diudar. Seperti ada panggilan yang begitu arkais.
Aku memilih duduk dulu pojok sebelah
selatan - timur, tepat menghadap ke utara. Setelah memesan seporsi nasi goreng
merah, kuedarkan pandang menyapu segala arah. Pengunjung kedai kopi lumayan
ramai, beberapa keluarga, juga berpasang-pasang remaja. Mereka larut dalam
perbincangan masing-masing, sesekali tawa mereka menghampiri meja kami.
Begitu mataku tepat lurus menatap ke
arah utara, pandanganku terantuk pada sebentang tembok di taman. Di sana,
terpampang tulisan dari cat yang dipatri dengan kuas secara serampangan. Kedai
Kopi Rumah Tua 1908. Demikian nama kedai kopi ini tertulis dengan cat warna kelabu.
Rumah Tua, nama yang pas untuk
interior yang memang didesain dengan ornament berbau masa lalu. Ada sepeda ontel tergantung di atas mini bar, di bawahnya
seorang lelaki tanggung bertopi pet, memetik lirih dawai gitar di
pangkuannya, sambil menyanyikan lagu-lagu romantis yang digandrungi remaja
era 80-an.
Beberapa kutipan kalimat cadas, diimbuhi dengan wajah sang tokoh
dalam format gambar kubis, menghiasi dinding sebelah timur dalam figura-figura
mungil. Juga hadir beberapa figura besar yang memuat gambar muram iklan-iklan yang
tayang pada media cetak dari masa silam. Sepertinya sengaja dipasang untuk
menegaskan bahwa kedai ini menjadi kanal perjumpaan antara hari ini dengan masa
lalu.
Penambahan angka tahun 1908 di belakang nama Rumah Tua kian
menegaskan hasrat dan kerinduan akan kesilaman di kedai ini. Angka itu
menautkan ingatan pada sebuah peristiwa yang senantiasa didengungkan kembali
saban tahun. 1908 ditetapkan sebagai tonggak kemunculan kesadaran nasional
kebangsaan Indonesia, tepatnya 20 Mei yang ditetapkan sebagai Hari Kebangkitan
Nasional.
Pilihan itu dijatuhkan dengan mengingat momentum berdirinya
sebuah organisasi yang bernama Boedi Oetomo (BO) pada tanggal 20 Mei 1908. Meski
sesungguhnya, sebelumnya, tepatnya 16 Oktober 1905 telah hadir Sarekat Dagang
Islam (SDI, cikal bakal Sarekat Islam Indoensia), sebagai organisasi kaum
bumiputera pertama di nusantara. Kedua organisasi ini memiliki karakter yang
lumayan berbeda.
Perbedaan antara BO dan SDI ini menjadi alasan penetapan 20 Mei
1908 sebagai Hari Kebangkitan Nasional selalu disoal oleh berbagai kalangan,
termasuk oleh sejarawan. Betapa tidak, berikut ini beberapa pasal yang
menunjukkan bahwa kelahiran SDI lebih layak dikenang sebagai tonggak
kebangkitan nasional (diolah dari berbagai sumber).
TUJUAN
BO: Memajukan Jawa - Madura
SDI: Memajukan Islam – Indonesia
SIFAT
BO: Kesukuan – Jawa dan Madura
SDI: Nasional – Seluruh Indonesia
SIKAP
BO: Bekerjasama dengan Belanda
SDI: Menuntut zelf bestuuur dari Belanda
KARAKTER
BO: Feodal dan keningratan
SDI: Kerakyatan dan kebangsaan
BAHASA
BO: Belanda
SDI: Indonesia
Tapi tunggu, kok tulisan ini menjadi serius begini? Mungkin ini pengaruh
suasana, sejak 1 Agustus seluruh ruas jalan meriah dengan kibaran umbul-umbul
dan bendera merah putih. Bulan ini Indonesia merdeka. Beragam cara
menyambutnya. Kedai ini juga penuh dengan nuansa merah putih.
Sudahlah, cukup menjadi pelajaran bahwa sebelum Budi Utomo, ada
organisasi anak bangsa yang juga berperan besar dalam menumbuhkan kesadaran
nasional anak bangsa, yakni Sarekat Dagang Islam. Bahwa kemerdekaan bukan
raihan prestasi satu kelompok, tapi hasil perjuangan bahu membahu dari seluruh
anak bangsa.
Saatnya kita kembali ke soal kedai kopi ini. Saat membaca angka
1908, aku sempat berseloroh ke seorang kawan, “Sepertinya kedai ini didirikan
sejak 1908, atau kalau tidak, mungkin didirikan oleh kader Budi Utomo.” Kami
lalu terbahak bersama. Setelahnya, kami sibuk menghabiskan pesanan
masing-masing.
Ingatanku tentang semalam, buyar oleh aroma ayam goreng yang
terhidang di meja gerai makan cepat saji di hadapanku. Saatnya kembali ke sini.
Kami lalu berlomba menghabiskan berpotong-potong ayam yang dipadu dengan nasi
putih berkepal-kepal yang dibungkus dengan kertas khusus, sepiring besar saus
menjadi pemancing selera yang pas. Mari makan.
Tags:
Catatan Hati